Punggahan
Oleh : Adam Chairivo, Jurnalis infoMu.co
Dari kejauhan rumah nan penuh dengan kenangan sudah tampak begitu meneduhkan, meski Utam hanya tinggal berdua saja dengan neneknya, tapi rasanya selalu ramai dan diselimuti oleh kehangatan. Ia mengetuk pintu rumahnya tapi tak ada nan menjawab panggilannya.
“Nek, Utam pulang.” Kata Utam lembut.
Utam langsung masuk ke rumah, tak ada saut dari Neneknya. Ia lihat ke dapur, rupanya Nenek sedang memasak sembari sesekali meniup api menggunakan semprong. Nenek Utam agak sedikit kurang pendengarannya lantaran aspek usia. Jadi Utam sudah memahami jika sapa nan diucapnya tak begitu di dengar oleh Neneknya.
“Nek!” Kata Utam lembut sembari menepuk pundak ringkih Neneknya.
Nenek Utam menoleh dan kaget lantaran cucunya satu – satunya nan lama tak pulang tiba – tiba ada
di depan matanya. Sontak semprong nan dipegang Nenek dilayangkan ke kepala Utam.
Cetakk!!
“Kenapa ga bilang jika pulang kampung Tam!.” Kata Nenek dengan nada tinggi seolah sedang kesal
dengan cucunya itu.
“Utam mau ngasih kejutan sama Nenek, biar kayak nan di movie – film.”
“Ga usah banyak tingkah Tam, jika kembali itu ngabari. Apalagi gak pulang bertahun – tahun.” Kata
Nenek tegas kepada Utam
Utam hanya tak bersuara saja, dia merasa bersalah lantaran sebelumnya tak mengabari Neneknya atas
kepulangannya. Ia lampau disuruh bersih – bersih dan membantu Nenek untuk mempersiapkan
“Punggahan”.
Tradisi menyambut datangnya bulan suci Ramadan di setiap wilayah berbeda – beda. Di wilayah Sumatera Utara saja ada dua jenis tradisi penyambutannya, ialah Punggahan dan Balimo – limo. Utam tak begitu mengerti dari mana bersal tradisi ini, namun sepengetahunnya dari Neneknya nan bersuku Jawa, Pungguhan berasal dari kata “Munggah” nan artinya Naik nan dimaksudkan untuk menaikan drajat diri manusia sebelum datangnya bulan suci Ramadan. Sedangkan Balimo – limo sama dengan aktivitas Punggahan nan dilakukan di akhir bulan Sya’ban, namun nan membedakannya adalah caranya jika Punggahan dilakukan dengan melakukan makan berbareng penduduk di desa setempat Balimo – limo justru malah mandi berbareng di sungai untuk membersihkan
diri sebelum masuk bulan suci Ramadan.
Bagi Utam tradisi seperti ini jarang sekali di perkotaan. Selama 4 tahun Utam tinggal di kota, dia tak pernah melakukan tradisi menyambut bulan suci Ramadan itu lagi. Tapi di kampungnya budaya seperti itu tetap dijaga. Utam menghormati tradisi turun temurun tersebut tanpa meninggalkan ke-Taqwaan dirinya kepada Allah SWT. Walau baginya rangkaian tradisi untuk menyambut puasa haruslah datang dari hati, memberi makan hati dengan siraman rohani seperti ikut pengajian alias bersedekah. Lalu membersikan diri dengan meninggalkan nan dilarang untuk menjaga diri agar tetap bersih selama Ramadan.
Apapun itu, pasti orang – orang punya caranya sendiri untuk berbahagia menyambut bulan
yang penuh berkah dengan caranya masing – masing. Sama seperti Utam nan antusias menyambut
bulan nan penuh berkah dengan pulang ke rumah untuk melakukan ibadah berkhidmat kepada orang
yang sudah membesarkannya. (***)
2 tahun yang lalu
English (US) ·
Indonesian (ID) ·