Ramadan Karim (2): Jalan Menuju Tuhan Lewat Ramadan - MuhammadiyahNews.com

Sedang Trending 2 tahun yang lalu

Ramadan Karim (2): Jalan Menuju Tuhan Lewat Ramadan

Oleh : Adam Chairivo, Jurnalis InfoMu

Hari menjelang siang dengan terik sudah mengelilingi bumi dan seiisinya. Utam sedari tadi memandang kaca jendela busnya tanpa beralih sedikitpun. Hari ini adalah kali pertama dia pulang ke kampung halamannya setelah menempuh pendidikan di Kota Provinsi. Ia sudah 4 tahun merantau, selama itu juga dia tak pulang lantaran berat di ongkosnya.

Sepanjang jalan dia memandang banyak lahan sawit nan dulunya adalah persawahan. Ia terkenang masa kecilnya nan dulu sering bermain di sawah sembari membantu neneknya. Utam kadang memancing belut  dan mencari ikan-ikan mini di sekitar sawah. Apesnya kadang berjumpa dengan ular lampau dia dengan kawan – temannya lari terbirit – birit seperti dikejar hantu iprit.

Ingatan masa mini nan sudah tak bakal Utam dapatkan lagi. Karena lamunan itu tak terasa bis sudah sampai ke terminal mini nan ada di pinggir jalan. Utam kudu menaiki ojek pangkalan untuk masuk ke dalam kampungnya. Kira – kira 2 jam lagi baru dia sampai ke rumah nan dia sangat rindukan. Jalan berbatu dan berdebu di lewati dengan sabar, kadang matanya kudu memerah dan berair lantaran terkena abu dari ban truk – truk sawit .

“Jalannya kok jadi begini wak?” Kata Utam pada Wak Mat tukang ojek dari kampungnya.

“Loh nan buat beginikan truk – truk dari perkebunan nan ada di dalam. Muatannya kadang berlebihan sampai meninggalkan lubang – lubang. Pas lagi musim penghujan lagi Tam, kayak lumpur jalannya.”

Utam hanya tak bersuara sembari memahami gimana jalan kampung nan dulunya baik tanpa ada kendala, sekarang kudu menjadi seperti ini. Kanan kiri sudah tidak ada pesawahaan seperti saat dia pergi meninggalkan rumah untuk sekolah. Sekarang sudah menjadi perkebunan milik swasta, terpaksa Utam kudu makan abu sepanjang jalan menuju ke rumahnya.

“SELAMAT DATANG DI DESA AEK MENGALIR.” Tulisan pada gapura kampung laman Utam. Gapuranya sudah di hiasi dengan ornamen – ornamen unik Ramadan. Selain kangen dengan kampung halamannya, tujuan Utam pulang juga untuk menemani Ramadan sang nenek nan sudah sepuh.

Sepanjang jalan menuju rumahnya Utam memandang masyarakat desa nan ramai saling bahu membahu membersikan desa lantaran bakal menyambut bulan nan penuh berkah, bulan suci Ramadan nan selalu ditunggu kehadirannya. Bapak – bapak bergotong royong membersihkan masjid, sajadah panjang dikeluarkan dan dipukul – pukul agar debunya hilang. Anak – anak juga membantu dengan mempersiapkan bambu nan bakal dijadikan obor sebagai penerangan di malam hari. Maklum saja, desa Utam termasuk desa nan jauh dari peradaban jadi kadang aliran listrik di desa tersebut dipadamkan dengan argumen nan tak mereka ketahui.

Utam memandang para remaja nan memasang spanduk “Selamat datang bulan Ramadan. Utam lampau berakhir di sana, dia mau menyapa Mbah Riep, seorang pembimbing bagi Utam namun dianggap sedeng bin gila oleh warga.

“Ngapain Mbah?” Tanya Utam sembari menyalam tangan Mbah Riep.

“Ini lagi nunggu orang ini masang spanduk.”

“lah kan udah terpasang Mbah?.” Tanya Utam lagi dengan nada heran kepada Mbah Riep

“Belum, apapulak terpasang!!.”

“Lah itu apa mbah?.” Tunjuk Utam ke arah spanduk nan sudah terpasang rapi.

“Itu tulisan tok. Dari tahun ke tahun juga ada gak pernah berubah.”

Utam bingung dan heran dengan maksud Mbah Riep seperti apa. Dalam hatinya masak iya kudu memahami kata – kata orang seperti Mbah Riep ini.

“Dari tahun ke tahun gak ada perubahan spanduk menyambut selamat datang Ramadan hanya terpasang di masjid.” Kata Mbah Riep tiba – tiba sembari memandang ke spanduk masjid. Ia lampau memandang ke toa masjid dan tak lama setelah itu azan bergema menandakan waktu ashar telah tiba.

Para jamah mulai berdatangan namun tak banyak lantaran nan lain sedang sibuk membersihkan pelataran rumah untuk menyambut Ramadan. Beberapa ibu – ibu tetap sibuk menyiapkan cemilan dan minuman untuk para penduduk nan sedang bergotong royong, bapak – bapak juga tetap ada nan sedang merokok sembari beristirahat dan tak menghiraukan panggilan Tuhan untuk beribadah. Utam lampau masuk ke masjid dan melaksanakan shalat ashar nan hanya di isi oleh 4 orang saja ialah Pak Muis selaku Ketua BKM Masjid, Wak Udin tukang bakso bakar, Utam dan satu anak mini nan Utam tidak mengenalinya.

Selesai shalat Utam tetap memandang Mbah Riep berdiri tak bersuara dengan potongan khasnya sarung kotak – kotak coklat, berjanggut putih dan berkaus singlet. Utam kembali mengampiri Mbah Riep sekaligus mau jalan pamit pulang ke rumahnya namun Mbah Riep kembali nyeletuk aneh.

“Mereka hanya menyambutnya dengan suka ria, tapi tidak dengan hatinya. Tak ada tulisan di spanduk itu di dalam hati mereka. Mereka berpura – pura kok saya nan gila.” Kata Mbah Riep sembari cekikikan dan lari meninggalkan Utam sebelum Utam pamit kepadanya.

Namun Utam terketuk dan sadar dengan apa nan dikatakan Mbah Riep dan perbincangan nan mereka lakukan sebelum dan sesudah shalat. Ia merasa bahwa menyambut Ramadan hanya dilakukan secara tradisi dan seremonial saja. Mempersiapkan untuk euforianya lantaran terbiasa sejak lama. Tapi ketika Allah betul – betul memanggil kita sebelum menyambut bulan nan penuh berkah dengan beragama mereka tak datang dan menyerukan “Selamat datang Ramadan.” Hati Utam terus resah jajangan Ia hanya berburuk sangka kepada para tetangganya nan enggan beragama tapi tetap mau mempersiapkan perihal – perihal untuk menyambut bulan nan suci ini.

Utam lampau melangkah menuju rumahnya nan tak jauh dari masjid sembari terus memikirkan apa nan dikatakan Mbah Riep. Ia mau menyambut Ramadan di hatinya bukan hanya menyambut bulan nan penuh berkah ini dengan seremonial saja. (Adam Chairivo, Jurnalis InfoMu, Alumni FEB UMSU)

-->
Sumber infomu.co medan
infomu.co medan