Ramadan Kareem (5): Menjaga Durabilitas Spiritual
Oleh: Adrian Al-fatih
Sebagai mahasiswa dengan latar akademik pendidikan kepercayaan islam memberikan semacam beban moril nan lebih berat, terlebih ditengah masyarakat kita ‘dinggap serba tahu’ mengenai perkara-perkara agama. Ini seperti ujian terbuka dalam universitas kehidupan nan semakin menggugah kesadaran bahwa bertanggung jawab secara kompetensi gelar akademik adalah keharusan. Meski tentu dalam beberapa perihal saya sering disclaimer dan terbuka untuk sesuatu nan memang saya belum ketahui. Nda tau juga saya pak/bu… hahaha
Menjelang waktu isya diberanda masjid saya dibisikilah oleh sepupu nan kebetulan panitia meminta kesediaan mengisi pidato taraweh, refleks saya senyum dan ketawa tipis-tipis sambal berfikir gimana caranya agar nan lain saja bukannya menyiapkan apa kira-kira poin subtantif nan krusial untuk disampaikan sebagai materi ceramah.
Dan akhirnya dengan segala keterbatasan saya mengisi pidato taraweh nan beberapa poinnya bakal ditulis disini. Fyi, ini cukup traumatik lantaran pernah beberapa tahun silam di interupsi oleh salah satu jamaah (ibu saya sendiri) dan diminta berhenti. Sudami dulu nak, lain kalipi lagi… (kurang lebih bahasanya begitu), kejadiannya sekitar tahun 2013 alias 2014. Sangat memorable hahaha
Membuka dengan Do’a Malaikat Jibril as.
Diriwayatkan dari sahabat Abu Hurairah ra. Kurang lebihnya begini, pernah suatu waktu Malaikat Jibril datang dan menyampaikan tiga do’a dan langsung disambut oleh Rasulullah Saw. dengan Amiin…Amiin…Amiin. Lalu para sahabat bertanya apakah nan sedang diaminkan oleh Rasulullah. Salah satu do’a nan diaminkan itu adalah “Celakalah, celakalah ummatmu Muhammad nan berkempatan berjumpa dengan bulan Ramadhan tapi dia sama sekali tidak mendapatkan pembebasan dari Allah Swt.” Dalam Riwayat nan lain (HR.Muslim) Rasululullah Saw. Bersabda “Barangsiapa nan berjumpa bulan Ramadhan kemudian berlalu begitu saja dan dia tidak mendapat pembebasan dari Allah Swt. Maka celaka dia, celakalah dia!”
Ramadhan adalah lautan magfirah (ampunan) nan sungguh merupakan kerugian banget besar ketika tidak memaksimalkan diri untuk memperoleh magfirah-Nya. Tempaan Ramadhan harusnya menjadikan kita pribadi nan semakin mendekatkan diri kepada Allah Swt. (taqarrub ilallah) dengan amalan-amalan nan meperkokoh fitrah kita sebagai hamba –abdillah- (QS.51:56).
Ketika ramadhan dalam makna etimologisnya adalah membakar (ramida, ar-ramad), sedang perintah puasa sebagai ibadah spesial didalamnya dalam makna etimologinya adalah menahan (shiyam, shaum) maka api Spririt Ramadhan nan kudu senatiasa kita kobar dan rawat-aktualkan adalah dengan menjadikannya madrasah ruhani sebagai sarana dalam mendidik diri mengeliminir dan menundukan syahwat biologis kita (bashariyun) dan segala corak penguasan nan jelek (fujur) menuju fitrah kemanusian kita nan otentik (insaniyah-taqwa).
Semangat amaliyah Ramadhan adalah fastabiq al-khaerat (berlomba-lomba dalam kebajikan), mengupayakan dengan daya optimal kebajikan-kebajikan (‘amalun shalihah) dengan kualitas yang ahsanu ‘amala. Kiranya nan mau kita capai bukan sebatas kenikmatan spiritual individualistik saja tetapi spritualitas nan mengkristal menjadi kebermanfaatan dan berorientasi kepada kemaslahatan sosial. Boleh jadi kata ‘celaka’ nan dimaksud Jibri as. Dalam Riwayat diatas adalah mereka nan hanya tenggelam dalam ritus individual tetapi abai menangkap nilai pembebasan Ramadhan dalam melatih empati social kita sebagai corak holistic dari spritualitas nan kudu kita gali kedalamannya sehingga mengalir-deraskan magfirah (ampunan) dalam balutan Rahman-Rahim-Nya.
Dari ibadah ritual ke ibadah social
Kita mengimani bahwa setiap hukum nan diperintahkan -utamanya nan pokok dalam agama- tidak hanya berdiri sebagai sesuatu yang vertical-ilahiyah atau semerta corak hubungan kepada Tuhan semata (habluminallah) tetapi secara berbarengan bentuk relasi ilahiyah itu mengandung nilai nan seimbang (balance) dengan hubungan mendatar kita kepada sesama makhluk (habluminannas, habluminal ‘alamin).
Perintah puasa misalnya, secara umum adalah aktifitas menahan diri dari perbuatan nan berupa syahwat perut dan kemaluan serta hal-hal nan membatalkannya sesuai nan ditetapkan hukum sampai waktu nan telah ditentukan (QS.02:187). Disaat nan sama kita seperti diperintahkan untuk membaca perintah puasa ini melampaui teksnya (bayani), pesan pastinya tentu saja gimana puasa ini melatih sensitivitas social kepada nan berkekurangan, puasa adalah ritus nan mengarahkan keberpihakan kita secara moril kepada sesama nan memerlukan (dhuafa).
Kita juga memandang bahwa adapun orang-orang nan dalam kondisi tertentu memenuhi persyaratan tidak berpuasa (sakit, uzur dan lainnya) maka selalu ada pengecualian dan punishment yang diberikan pun adalah sanksi-sanksi nan punya kebermanfaatan social secara langsung seperti membayar fidyah keorang miskin alias memberi makan orang-orang lapar. Itulah mungkin nan dimaksud oleh Ali Syariati dalam bukunya islam dan sosialisme bahwa ritus puasa adalah gimana belajar menjadi orang miskin dan belajar kelaparan. Belajar setara dan merasakan saat tak punya.
seperti halnya puasa, ibadah primer nan lain tentu mengandung dimensi social (habluminannas) nan tak kalah kuat. Ketika Allah Swt. memerintahkan shalat maka sesungguhnya itu adalah perisai nan idealnya menjadi tameng untuk kita terhindar dari hal-hal nan merusak -diri dan kehidupan social- (tan-haa ‘anil-fahsyaai wal-mungkar) dan segala corak penyebab patologi social nan lain (QS.29:45). Zakat pun demikian, sebuah konsep pemeratan dan pengedaran keadilan nan islam tawarkan untuk menjawab ketimpangan social dan ekonomi. Satu dari kompleksnya problem kemanusiaan nan kita hadapi.
Pengamalan nilai-nilai ‘ubudiyah harus mulai dinaik kelaskan dari sesuatu nan sifatnya ritus-formil menjadi praksis-sosial dimana pancaran sinar dimensi esoteric (batiniah) dari ibadah nan dilakukan menjadi navigator sekaligus stimulator segala tindakan eksoterik (lahiriah) kita sehingga menghasilkan kehidupan nan saling mengasihi, menebar kedamaian, kebermanfaatan, membantu sesama nan membutuhkan, dan tidak memberi ruang sedikitpun kepada apapun nan merusak keselarasan social kemanusian.
Dengan ini derajat kehambaan kita pacu untuk selalu bergerak maju menuju kesempurnaan kemanusiaan (insan kamil) sebagai fitrah dari kesempurnaan pembuatan (ahsanu taqwin) dan menghidarkan diri dari segala corak nan menjerumuskan kita kepada kerendahan dan kehinaan kehidupan (asfala safilin). Khairunnas anfauhum linnas, Sebaik-baik manusia adalah mereka nan paling berfaedah kepada nan lain (HR.Ahmad).
Merebut mahkota Taqwa
Seringkali kita mendengar pengandaian bulan Ramadhan sebagai bulan kejuaraan untuk mengejar predikat taqwa. Lewat mimbar-mimbar masjid provokasi kabaikan itu tersampaikan sehingga gairah beramal semakin terpacu demi mendapatkan predikat muttaqien (QS.02:183). Dalam banyak perihal Ramadhan memang kadang menyuguhkan kejadian kekagetan spiritual, tentu saja ini perihal nan positif tetapi problem selanjutnya kadang menyisakan durabilitas spiritual nan lemah. Boleh jadi penyebabnya ada pada kualitas pengayaan amaliyah kita nan rendah sehingga nafas konsistensi pengamalan Ramadhan kita juga tidak berkepanjangan (sustainable).
Dalam kamus keagamaannya, Prof. Quraish shihab menerjemahkan taqwa sebagai upaya menjaga diri dari segala nan membahayakan (bentuk Masdar dari ittaqa-yattaqi). Beliau melanjutkan bahwa taqwa mengandung pengertian menjaga diri dari segala perbuatan dosa dengan meninggalkan segala nan dilarang Allah Swt. dan melaksanakan segala nan diperintahkan-Nya. Taqwa dalam afinitas al-qur’an disebut sebagai busana (libaasut-taqwaa, QS.07:26). Sementara dalam salah satu kajian, Prof. sukidi (intelektual muda Muhammadiyah) menyebut taqwa sebagai upaya pendayagunaan logika secara optimal.
Ramadhan adalah momentum nan paling tepat untuk merajut Kembali fitrah taqwa dalam diri melalui amaliyah-amaliyah (‘amalun shaliha) dengan kualitas paling terbaik (ahsanu ‘amala) dari nan kita miliki sebagai upaya totalitas (kaffah) dalam mengaktualkan kehambaan kita kepada Allah Swt. Sehingga nilai Ramadhan ini menjadi busana ketaqwaan nan memproteksi kita dari apapun nan menjerumuskan kita keluar dari fitrah pembuatan sebagai khalifatullah (QS.02:30) dan Abdullah (QS.51:56).
Karena sesungguhnya mental ibadah dari madrasah ruhani Bernama Ramadhan ini tidak hanya berhujung dalam hitungan hari saja tetapi mempunyai kontiniuitas (istiqamah), menjadi habitus dan kita sama-sama mengharap Ridha-Nya untuk menjadi bagian dari hamba-Nya yang muttaqien. Amiin…
Adrian Al-fatih, Kader IMM
2 tahun yang lalu
English (US) ·
Indonesian (ID) ·