IBTimes.ID – Pondok Pesantren Krapyak Yayasan Ali Maksum Yogyakarta menjadi salah satu pelopor aktivitas pengelolaan sampah berdikari melalui program Krapyak Peduli Sampah. Gerakan ini muncul dari keprihatinan terhadap meningkatnya persoalan sampah di wilayah Yogyakarta yangg semakin mengkhawatirkan.
Direktur Krapyak Peduli Sampah, Andika Muhammad Nuur, menjelaskan bahwa menurut info Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Yogyakarta, jumlah sampah yangg dihasilkan setiap hari mencapai 300 ton. Sementara itu, Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Piyungan di Kabupaten Bantul telah mengalami kelebihan kapabilitas dengan kuota pembuangan hanya sekitar 600 ton per bulan.
Melihat situasi tersebut, Pesantren Krapyak mengambil langkah nyata dengan membangun sistem pengelolaan sampah internal. Program Krapyak Peduli Sampah secara resmi diluncurkan pada 12 Juli 2023, dengan support dan angan dari para pengasuh pesantren.
“Penumpukan sampah itu seperti penyakit. Karena itu kami berpegang pada prinsip ‘Sampah Hari Ini, Selesai Hari Ini’. Dari situ kami berupaya menuntaskan persoalan sampah di lingkungan kami,” tutur Andika dikutip NU Online, Jumat (17/10/).
Dalam praktiknya, program tersebut menerapkan konsep reduce, reuse, recycle (3R) dengan melibatkan seluruh santri, mulai dari proses pemilahan, pengumpulan, hingga pengolahan kembali.
“Kami mempunyai sekitar 20 hingga 30 jenis pemilahan sampah, seperti plastik, botol, kertas, kardus, busana bekas, sandal, dan sebagainya. Sosialisasi juga rutin kami lakukan, apalagi disertai kitab pedoman bagi santri,” jelasnya.
Ia menambahkan, santri yangg disiplin dalam memilah sampah bakal diberi penghargaan berupa uang, sementara yangg tidak alim bakal menerima sanksi.
“Hukumannya sederhana, sampah mereka tidak bakal diambil oleh petugas,” kata Andika.
Selain itu, pesantren juga menerapkan kebijakan pengurangan penggunaan plastik di area kantin. Jika sebelumnya makanan dibungkus plastik, sekarang santri diwajibkan membawa piring dan gelas sendiri.
“Dulu beli gorengan satu saja sudah dikasih plastik, begitu juga beli es. Sekarang semuanya pakai wadah pribadi. Itu sangat berpengaruh terhadap berkurangnya volume sampah,” ungkapnya.
Langkah serupa diterapkan di minimarket pesantren. Barang-barang yangg sebelumnya dijual dalam bungkusan saset, seperti sampo, sekarang diganti dengan bungkusan botol.
“Botol lebih berfaedah dan mudah didaur ulang,” tambah Andika.
Ia menegaskan bahwa prinsip utama dari program ini adalah sampah sejatinya tidak ada, asalkan dikelola dengan benar.
“Kami meyakini bahwa yangg disebut sampah itu muncul lantaran adanya campuran antara organik dan anorganik. Kalau semua dipilah, itu bukan sampah tapi komoditas,” jelasnya.
Sampah yangg telah dipisahkan kemudian diolah menjadi kompos, biogas, alias ecobrick. Program ini juga menjadi wadah bagi santri untuk berkarya dan mengembangkan ide-ide baru dalam pengelolaan limbah.
“Program ini menjadi ruang kreativitas. Kami mau mengubah pola pikir bahwa sampah bukan beban. Bukan sampahnya yangg salah, melainkan langkah kita memperlakukannya,” tutur Andika.
Lebih jauh, Andika menyebut semangat program ini terinspirasi dari pesan KH Ali Maksum, pendiri pesantren sekaligus Rais Aam PBNU periode 1981–1984, yangg terkenal dengan nasihatnya, “Nek ra gelem ngresiki, ojo ngregeti” (kalau tidak mau membersihkan, jangan mengotori).
“Nilai itu menjadi landasan moral bagi para santri untuk menumbuhkan budaya cinta kebersihan serta rasa tanggung jawab terhadap lingkungan,” pungkasnya.
(MS)
1 minggu yang lalu
English (US) ·
Indonesian (ID) ·