Penulis sebagai narasumber yangg berada di tengah foto berbareng dengan kepala sekolah dan peserta WorkshopOleh: Agusliadi Massere*
KHITTAH. CO – Puluhan tahun yangg lalu, seseorang pernah bertanya ke saya sebagai respons atas ketidakpuasan yangg ditemukan dan dirasakannya dari beberapa lembaga/institusi pemerintah yangg memberikan jasa publik dan penentu masa depan suatu bangsa. Substansi pertanyaannya mau mengetahui aspek utama kurang maksimalnya jasa dan capaian kualitas yangg ada. Saya pun memberikan jawaban yangg pada intinya menjelaskan bahwa mereka menjadi bagian di lembaga/institusi tersebut bukan atas dasar “Panggilan jiwa” (Personal calling).
Beberapa bulan yangg lalu, Suarni Dewi—saya berkawan menyapanya Indah—seorang adik kader, meng-share video yangg sangat singkat yangg pada intinya berbincang “Personal calling”. Merespons video tersebut di akun Instagram-nya, saya berjanji jika waktu sudah terasa longgar, saya bakal membikin tulisan.
Tiga hari yangg lalu, Kepala SMK Darul Ulum Layoa, H. Zulkarnain Manaf—saya berkawan menyapanya Kak Zul— mengundang saya untuk kembali datang keesokan harinya—karena hari itu pada saat membahas ini, saya sedang datang di sekolahnya menjadi narasumber dari pagi sampai sore, di aktivitas Latihan Dasar Kepemimpinan (LDK)-nya—untuk selanjutnya menjadi narasumber di aktivitas Workshop Perencanaan Pembelajaran Mendalam Dalam Rangka Peningkatan Kompetensi Guru—pesertanya semua pembimbing di sekolah yangg dinakhodainya. Kak Zul menceritakan harapannya tentang materi yangg bakal saya bawakan, yangg pada substansinya tidak konsentrasi pada aspek teknis, normatif, administratif, tetapi sesuatu yangg banget dalam pada diri manusia dan mempunyai pengaruh besar bagi guru, siswa, dan pendidikan secara umum.
Kak Zul memang terbiasa dan mempunyai pikiran-pikiran serta harapan-harapan yangg sifatnya out the box (di luar dari kebiasaan dan jauh dari jangkauan individual biasa). Saya pun menangkap angan tersebut, sehingga pada saat saya datang sebagai narasumber di aktivitas workshop tersebut, saya mengulas dan memberikan penamaan pada materi tersebut dengan “Personal Calling dan Algoritma Guru Ideal”.
Sambil membaca banyak referensi sebagai persiapan termasuk sembari menikmati sesi berbagi pengetahuan dalam aktivitas workshop tersebut, saya sangat merasakan bahwa idealnya materi ini memang krusial untuk dipahami oleh semua pembimbing tanpa selain tenaga kependidikan sebagai satu bagian krusial dalam bumi pendidikan, terutama dalam perihal ini di lingkungan sekolah. Tentu saja bukan hanya dipahami, tetapi diupayakan untuk kemudian diimplementasikan.
Membaca kitab karya Agus Suwignyo, Dasar-Dasar Intelektualitas (2007), saya menemukan pandangan dari pedagog Paulo Freire dan Mangun Wijaya, serta dari pendiri Mazhab Frankfurt, Herbert Marcuse, sebagai injakan yangg sangat kuat. Freire dan Wijaya, sebagaimana yangg dikutip oleh Suwignyo menegaskan “Pendidikan dapat menjadi suatu proses penyadaran dan pemerdekaan hanya jika para guru, dosen, dan pengelola lembaga pendidikan telah mengalami penyadaran dan pemerdekaan itu lebih dahulu”.
Senada dengan Freire dan Wijaya di atas, Marcuse pun menegaskan—meskipun konteksnya lebih umum—“Agenda-agenda perubahan sosial hanya mungkin terlaksana jika agen-agen perubahan sosial telah mengalami perubahan radikal di dalam diri mereka”. Dari Freire, Wijaya, dan Marcuse ini, saya menemukan satu injakan kuat bahwa sejatinya segala sesuatunya—dan untuk dalam konteks bumi pendidikan ini—dimulai dari diri seorang guru. Guru kudu menjadi titik sentral dari harapan, perubahan, dan kemajuan yangg diimpikan.
Guru sebagai titik sentral yangg dimaksud bukan hanya dalam makna menuntut keahlian teknis, administratif, dan normatif. Tetapi, sekali lagi, saya menegaskan bahwa yangg utama adalah perubahan radikal yangg menyentuh dimensi terdalam dalam diri seorang pembimbing kudu diperbaiki terlebih dahulu. Dimensi psikologis dan spiritualitas seorang pembimbing menjadi titik berangkat menuju pada harapan, perubahan, dan kemajuan yangg diimpikan dalam bumi pendidikan. Narasi singkat dan substansial dari inilah yangg sejenak disebut alias minimal berada dan menjadi bagian dari “Personal calling” dan “algoritma pembimbing ideal”.
Secara psikologis pun telah dipahami dan disepakati berbareng oleh para psikolog bahwa dimensi psikologis pengaruhnya lebih kuat daripada dimensi fisik-biologis alias dimensi fisik-biologis itu bisa dipengaruhi oleh dorongan dari dimensi psikologis-spiritualitas. Ada banyak pandangan otoritatif yangg memperkuat perihal ini, di antaranya dari William James (dalam Jamaluddin El-Banjary, 2013) “Penemuan terbesar dalam generasi saya adalah konklusi bahwa manusia dapat mengubah hidupnya hanya dengan mengubah sikap pikirannya”. Pernyataan James ini pun bisa ditemukan pedoman teologisnya dalam ayat Al-Qur’an, QS. Ar-Ra’d ayat 11. Jamaluddin menambahkan, “Bahwa pada hakikatnya pikiran itu merupakan sumber perilaku alias titik tolak segala aktivitas dalam hidup keseharian (2013: 30-31).
Yang lebih menarik daripada pandangan James dan Jamaluddin di atas, itu dari Dr. Joe Dispenza (2013) yangg secara substansial menggambarkan kedahsyatan pengaruh gelombang elektromagnetik—yang berasal dari keselaran dan sinergi antara sinyal listrik (elektrik) yangg berasal dari pikiran dan daya magnetis yangg berasal dari perasaan. Gelombang elektromagnetik yangg terpancar dari diri manusia ini, bukan hanya bisa memengaruhi dimensi fisik-biologis dalam diri seseorang, tetapi juga bisa memengaruhi perihal material di luar dari diri seseorang.
Dalam makna yangg lebih sederhana dan lazim kita dengar dan pahami yangg senada dengan pandangan Dispenza di atas, bahwa diri kita mempunyai gelombang yangg bisa memengaruhi orang lain. Selain itu, gelombang yangg sama bakal saling bertautan dan menyatu membentuk gelombang gelombang yangg dahsyat, sehingga jika gelombang pembimbing sudah seiring/sinergi/menyatu dengan gelombang siswa ke arah tujuan substansial pendidikan maka ini menghasilkan ledakan perubahan dan kemajuan yangg dahsyat.
Di dalam forum workshop yangg dilaksanakan oleh SMK Darul Ulum Layoa dan dihadiri oleh semua pembimbing dan tenaga kependidikannya ini, saya mengawali materi, setelah menegaskan pandangan Freire, Wijaya, dan Marcuse di atas dengan memberikan tujuh pertanyaan/instruksi yangg kudu segera alias langsung dijawab secara keseluruhan oleh peserta workshop.
Tujuh pertanyaan/instruksi adalah: Pertama, apa niatnya yangg mendasari untuk menjadi pembimbing dan niat yangg mendasari ketika mengajar di dalam kelas; Kedua, bagaimana pandangan bapak/ibu tentang guru; Ketiga, gambarkan diri bapak/ibu sebagai manusia; Keempat, gambarkan diri bapak/ibu sebagai guru; Kelima, tuliskan satu nilai, pandangan, dan/atau aliran yangg bisa menjadi spirit bagi seorang guru; Keenam, bagaimana gambaran pembimbing ideal menurut bapak/ibu; dan Ketujuh, sebutkan tiga perilaku yangg paling diharapkan untuk dilakukan setiap hari.
Jawaban-jawaban yangg terkumpul dari guru-guru dan tenaga kependidikan yangg menjadi peserta workshop tersebut, bisa diidentifikasi seperti apa personal calling mereka sebagai guru. Selain itu, dari jawaban-jawaban tersebut, saya dan kita semua bisa mengindentifikasi nilai, pandangan, dan/atau apa saja yangg menjadi bagian dari algoritma mereka sebagai pembimbing dan tenaga kependidikan. Sebab, proses algoritmik itu bukan hanya dalam bumi teknologi, tetapi dalam diri manusia pun ada proses algoritmik, hasilnya pun sangat dipengaruhi oleh apa saja yangg tersusun—yang dalam bahasa teknologi disebut langkah metodis—di dalamnya.
Ada banyak jawaban yangg muncul dan sangat beragam. Ada pula yangg sudah menggambarkan personal calling, meskipun ada juga yangg belum menggambarkannya. Jawaban-jawaban itu pun, saya bisa mengindentifikasi dan memprediksi seperti apa hasil dari proses mengajar yangg dilakukannya dengan membaca potensi personal calling dan perihal apa yangg memengaruhi proses algoritmik dalam dirinya.
Jawaban dari pertanyaan tentang seperti apa niat yangg mendasarinya untuk menjadi pembimbing dan mengajar di dalam kelas, bisa menggambarkan personal calling seorang guru. Personal calling secara sederhana bisa dimaknai panggilan jiwa, panggilan ilahi, tugas dan tujuan mulia, orientasi ibadah, bunyi hati, motivasi intrinsik, dan yangg pasti—jika tujuan duniawi tetap ada—orientasi material dan finansial merupakan “urusan” berikutnya.
Niat yangg baik dan berdimensi psikologis, spiritualitas, dan teologis pada dasarnya bisa menjadi personal calling seorang guru. Niat memang penting, karena dalam aliran kepercayaan pun ditegaskan bahwa segala sesuatu ditentukan/dipengaruhi oleh niatnya. Senada dengan ini, John C. Maxwell menegaskan “Sikap awal menentukan lebih dari apa pun juga”. Sikap dalam pandangan Maxwell di sini, itu bisa berupa niat, pikiran, dan perasaan. Kedahsyatan pengaruh niat pun—dan itu terbukti—telah pernah dilakukan riset selama 25 tahun dengan info sebanyak 2,5 juta oleh Robert Jand dari Princeton University dan koleganya Brenda Dunne.
Selain niat yangg berpotensi menjadi personal calling, pandangan tentang guru, gambaran diri sebagai manusia, gambaran diri sebagai guru, nilai alias pandangan yangg dipandang bisa menjadi spirit, gambaran ideal sebagai seorang guru, dan perilaku apa saja yangg paling diharapkan dalam kehidupan kesehariannya, itu bisa menjadi perihal krusial dalam proses algoritmik manusia tanpa selain bagi seorang guru.
Sesuatu yangg memengaruhi proses algoritmik dalam diri manusia—termasuk guru—akan menentukan seperti apa sikap, tindakan/perilaku, langkah membikin kesimpulan, dan pengambilan keputusan. Apalagi, hubungan pembimbing dan siswa, bukan hanya dipengaruhi oleh proses gimana bunyi alias bahasa keluar dari mulut seorang pembimbing dan diterima melalui telinga siswa, tetapi pancaran frekuensi—sebagai hasil pandangan pembimbing tentang pembimbing itu sendiri dan sebagai manusia—akan memengaruhi hasil, proses, perubahan, dan kemajuan sebagaimana yangg diimpikan.
Seorang pembimbing tentu saja kudu memahami dengan baik tentang pandangan dirinya sebagai manusia—dimensi apa saja yangg menyusun diri seorang manusia itu—agar sikap dan perilakunya pun kepada siswa alias anak didiknya bisa menyeluruh dan seutuhnya. Ketidakutuhan atas pandangan dimensi manusia, maka sikap dan tindakan pembimbing atas pendekatan dan orientasi perubahan pada diri anak didik pun itu berpotensi mengalami kepincangan. Seperti, bisa saja ada pembimbing hanya konsentrasi pada intelektualitas siswa semata tanpa pernah peduli bahwa dimensi emosional dan spiritualitas itu pun sangat krusial mendapatkan porsi perhatian yangg maksimal.
Guru yangg memahami dengan baik tentang manusia, dirinya bakal setuju bahwa pesan krusial yangg sangat direkomendasikan dalam kitab Quantum Teaching, “Bawalah bumi anak terlebih dulu ke dalam bumi kita, kemudian bawalah bumi kita ke dalam bumi anak”, itu kudu diimplementasikan. Sebab, salah satu karakter anak, dirinya bakal menyenangi, menyayangi, dan mencintai seseorang yangg bisa memahami perasaannya. Ini salah satunya saja.
Pemahaman utuh tentang manusia bakal membawa diri seorang pembimbing bahwa deep learning (Pembelajaran mendalam) itu memang penting. Sebab, deep learning itu mensyaratkan tiga hal: berkesadaran (mindful), berarti (meaningful), dan menggembirakan (joyful). Apalagi, deep learning mensyaratkan melalui empat peranti krusial dalam diri manusia: olah pikir (intelektualitas), olah hati (etika), olah rasa (estetika), dan olah raga (kinestetik).
Sebagai manusia yangg terpenting dalam hidup, selain kesadaran, adalah keahlian menemukan dan memberikan makna atas segala dinamika yangg dijalani dalam kehidupannya. Itulah sebabnya salah satu rekomendasi krusial dalam kitab Quantum Learning karya Bobbi Deporter dan Mike Hernacki, untuk merumuskan AMBak (baca: Apa manfaatnya bagiku) agar diri peserta didik mencintai dan menyenangi pelajaran dan tindakan yangg dilakukannya.
Sama halnya, pemahaman kita tentang manusia, kita bakal sampai pada pemahaman dan kesadaran bahwa perihal krusial yangg bisa mengaktivasi alias membangkitkan kedahsyatan kegunaan otak adalah suasana hati—yang saya menyebutnya senang, tenang, dan senang (TSB). Jadi proses belajar dan pembelajaran yangg menggembirakan (joyful) adalah prasyarat utama, lantaran ini adalah perihal krusial bagi diri manusia. Di sinilah pula, jika kita mencermati dengan baik dan mendalam, ruang relevansi pentingnya doa—sebab angan adalah mengingat Allah, dan janji Allah dengan mengingat diriNya hati bakal tentram.
Dari gambaran-gambaran di atas saja, semestinya kita semua perlu memahami dan menyadari bahwa sejatinya seorang pembimbing itu memang perlu terus belajar, terutama memahami nilai-nilai, pandangan, dan aliran yangg relevan dengan manusia, guru, anak didik, pendidikan, perubahan, kemajuan, moralitas, intelektualitas, spiritualitas, keteladanan, kesabaran, komitmen, dan konsisten. Selain mendalami dan berupaya menemukan jawaban ideal atas tujuh pertanyaan/instruksi yangg saya ajukan dalam forum workshop tersebut. Sebab, pembimbing bukan hanya berupaya memantaskan dirinya, melainkan kudu pula menuntaskan dirinya terlebih dahulu.
Hal terakhir di atas ini sangat krusial agar semua itu bisa menjadi sejenis “langkah metodis”—jika merujuk pada bahasa teknologi—yang bakal memengaruhi segala sikap, tindakan, langkah mengajar, dan orientasi nilai dalam mengajar, termasuk input—yang bisa berupa info dan pengetahuan—yang datang agar bisa terfilter dengan baik dan implementasinya pun sesuai dengan nilai dan orientasi ideal.
Berbagai nilai, pandangan, aliran yangg terserap dan tersimpan baik dalam diri seorang pembimbing bakal memengaruhi bukan hanya langkah dan semangatnya dalam mengajar, termasuk bisa memberikan pengaruh besar terhadap apa yangg bakal dialami, dirasakan, dan dimiliki, serta corak karakter anak didiknya. Secara sederhana—meskipun ini sebenarnya jelek dan tidak relevan dengan angan ideal dari konsep dalam tulisan ini—“Guru kencing berdiri, siswa kencing berlari” bisa mewakili gambaran bahwa sungguh pembimbing itu mempunyai pengaruh besar dan kuat terhadap jati diri dan/atau karakter seorang siswa.
Guru pun tentu saja kudu menjadi teladan dalam banyak hal. Dan, mustahil bisa menjadi teladan jika hal-hal di atas belum tuntas dan melekat dalam dirinya. Guru pun kudu sabar apalagi menghadapi karakter siswa yangg beragam. Guru kudu ikhlas, di mana ini bukan hanya memberikan pengaruh positif pada dirinya sebagai seorang pembimbing tetapi memberikan pula akibat positif dan konstruktif pada diri seorang siswa.
Di ujung tulisan ini, yangg terpaksa kudu saya hentikan lantaran sudah terlalu panjang untuk standard tulisan di media online, mustahil deep learning terutama poin “bermakna” dan “menggembirakannya” bisa tercapai dengan baik dalam setiap suasana belajar dan proses pembelajaran, jika gurunya belum bisa menciptakaan “kebermaknaan” dan “menggembirakan” itu terlebih dulu dalam dirinya. Menuntaskan minimal apa yangg menjadi angan dalam tulisan ini, itu bisa menjadi algoritma agar bisa menjadi pembimbing ideal.
Insya Allah, pada kesempatan lain, saya bakal melanjutkan tulisan ini untuk mengulasnya lebih jauh dan mendalam.
*Pemilik Pustaka “Cahaya Inspirasi”, Wakil Ketua MPI PD. Muhammadiyah Bantaeng, dan Redaktur Opini Khittah.co
2 minggu yang lalu
English (US) ·
Indonesian (ID) ·