Perlukah Ustadz Pengajian Diboikot Karena Perbedaan Pendapat? - MuhammadiyahNews.com

Sedang Trending 1 tahun yang lalu

Ancaman pemboikotan ustadz apalagi pembubaran pengajian tetap terjadi di sekeliling kita. Walaupun kasusnya sangat sedikit, namun kasus ini sigap tersebar di media sosial sehingga menimbulkan keriuhan.

Pernah suatu Ketika seorang ustadz muda diancam untuk diboikot mengisi aktivitas di lingkungan Muhammadiyah. Hal ini disinyalir lantaran latar belakang beliau nan berpaham Syiah.

Di tempat lain, seorang ustadz gaul nan digemari anak muda juga diboikot oleh GP Anshor. Sang ustadz disinyalir mempunyai mengerti Hizbut Tahrir nan sudah dilarang pemerintah.

Kasus terbaru muncul saat ada berita seorang ustadz Salafi bakal mengisi pengajian di Masjid Al Jabbar Bandung. Beberapa warganet dari golongan Banser NU seketika kebakaran jenggot dan menyatakan pemboikotannya terhadap sang ustadz.

Pemboikotan Ustadz Pengajian Melanggar Hukum

Melihat kejadian tersebut, muncul pertanyaan, perlukah pemboikotan dilakukan terhadap ustadz alias agamawan nan dinilai berbeda pemahaman?

Guna menjawab pertanyaan tersebut, tentu kita perlu mengingat kembali sebuah frase nan sering digunakan oleh mahasiswa S1 Fakultas Hukum. Yakni Indonesia adalah negara hukum. Sebuah frase nan sangat klise dan sering digunakan. Namun maknanya tetap relevan dalam kasus ini.

Hukum tertinggi di Indonesia adalah UUD 1945 hasil amandemen. Dalam pasal 28 disebutkan bahwa setiap penduduk negara bebas untuk berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat baik dengan lisan maupun tulisan. Jika merujuk pada pasal ini, maka pemboikotan jelas menyalahi UUD 1945.

Namun orang-orang nan kegemaran memboikot ini tidak kehabisan logika untuk memihak pendapatnya. Mereka berdasar bahwa boikot nan mereka lakukan bukan tanpa alasan, namun bermaksud baik. Orang nan memboikot Syiah dan Wahabi serta HTI berdasar bahwa mereka sedang menyelamatkan iktikad umat dari kesesatan.

Mereka juga berdasar bahwa penceramah nan mereka boikot menyebarkan radikalisme dan intoleransi. Sehingga nan mereka lakukan adalah menyelamatkan NKRI dari golongan intoleran. Terkadang mereka mengutip Karl R. Popper nan mengatakan tidak ada toleransi bagi intoleransi.

Tentu saja argumen-argumen nan diajukan golongan pemboikot itu ada benarnya. Namun persoalannya adalah sejauh mana pemisah kebebasan beranggapan nan ditetapkan oleh UUD 1945 tersebut?

Jawabannya bisa kita baca dalam KUHP pasal 156 nan berbunyi:
Barang siapa di muka umum menyatakan permusuhan, kebencian alias meremehkan (minacthing) terhadap suatu alias beberapa golongan rakyat Indonesia, diancam dengan pidana penjara maksimum empat (4) tahun alias pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

Kebebasan Berpendapat Bukan Tanpa Batas

Artinya jika sebuah pidato berisi permusuhan, kebencian alias meremehkan suatu alias beberapa golongan rakyat Indonesia, maka pidato tersebut berpotensi melanggar hukum. Namun bukan berfaedah bisa diboikot juga. nan bisa dilakukan masyarakat adalah melaporkannya kepada abdi negara untuk ditindaklanjuti. Main pengadil sendiri tetap tidak dibenarkan.

Muncul persoalan berikutnya, misalnya ada seorang ustadz ceramah, lampau dia mengatakan bahwa tahlilan itu bid’ah. Di tempat lain ada juga seorang ustadz, dia mengatakan Wahabi itu bukanlah Ahlu Sunnah, tapi mujassimah. Apakah perihal tersebut masuk kepada ujaran kebencian?

Sebagai pengamal tahlilan tentu saja kita tersinggung saat dikatakan bahwa tahlilan itu bid’ah. Sebagai penganut manhaj salaf kita pasti tersinggung juga dikatakan Wahabi itu bukan Ahlu Sunnah. Namun irit saya, perihal tersebut bukanlah ujaran kebencian.

Artinya jika kita menemukan pidato nan menyerang kita, maka nan perlu kita lakukan adalah sesuai dengan apa nan dituntunkan oleh Al Qur’an. Wa Jaadilhum billatii hiya ahsan. Debatlah mereka dengan langkah nan lebih baik. Sampaikan saja sanggahan alias penolakan kita kepada pendapat tersebut.

Lantas nan disebut ujaran kebencian itu seperti apa? Misalnya seorang ustadz bilang begini, ‘tahlilan itu bid’ah, pelakunya kudu kita pukulin biar sadar’! Contoh lain seorang ustadz bilang begini, ‘Wahabi itu bukan Ahlu Sunnah, semua orang Wahabi kudu kita usir dari rumah mereka’.

Nah, jika Anda menemukan ustadz model begini, segera tinggalkan ceramahnya lampau laporkan ke Polsek terdekat. Kenapa? Karena ceramahnya berisi ancaman kekerasan kepada orang lain. Hal ini tidak dibenarkan baik menurut norma positif maupun norma syariat.

Ancaman kekerasan jika disampaikan dalam forum apapun tidak bisa dibenarkan. Aparat boleh merepresi pelakunya. Pelakunya tidak lagi dilindungi oleh kebebasan berpendapat. Karena nan dia lakukan menakut-nakuti kebebasan orang lain.

Bersikap Bijak Terhadap nan Berbeda Pendapat

Dari uraian di atas, penulis menawarkan bahwa hendaknya kita tidak gegabah dalam memboikot siapapun. Jika memang ada indikasi kuat nan diboikot bakal melakukan perbuatan melanggar norma seperti ujaran kebencian, maka nan dilakukan adalah melaporkannya kepada penegak hukum, bukan main pengadil sendiri alias show of force.

Namun jika tetap dalam ranah perbedaan pendapat tanpa ada ujaran kebencian, mari kita kedepankan perbincangan alias perdebatan nan sehat sesuai tuntunan hukum Islam. Kita juga perlu jeli membedakan mana nan merupakan ujaran kebencian dan mana nan merupakan pernyataan sikap nan patut dihargai alias dikritisi.

Dalam cuitan terbarunya di twitter, Ulil Abshar Abdalla intelektual NU membujuk kita meneladani Imam Al Ghazali nan menulis kitab Fayshal Tafriqah Bainal Islam Wa Zandaqah. Dalam kitab tersebut, Imam Al Ghazali membujuk agar sesama Muslim tidak saling mengkafirkan satu sama lain apalagi dalam persoalan nan disebabkan oleh Ilmu Kalam. Imam Al Ghazali juga mengingatkan jangan sampai kemauan kita untuk melawan golongan takfiri, malah membikin kita bertindak sama dengan golongan nan kita lawan.

Jangan sampai kita menjadi golongan nan “gampang baper”, disenggol dikit langsung mau membacok. Kalau kita dikatakan kafir oleh orang lain, tinggal balas saja dengan perkataan nan sama. Sepahit apapun omongan orang soal kita, selama gak ada unsur ancaman, maka balaslah dengan omongan juga. Namun jika sudah ada ancaman kekerasan, sekali lagi, segera lapor ke Polsek terdekat!

Editor: Soleh

-->
Sumber ibtimes.id
ibtimes.id