Muhammadiyah: Gerakan Islam Bukan Sekadar Fikih - MuhammadiyahNews.com

Sedang Trending 2 minggu yang lalu

Muhammadiyah: Gerakan Islam Bukan Sekadar Fikih

INFOMU.CO |  Di banyak pengajian dan ruang publik, nama Muhammadiyah kerap diasosiasikan dengan tafsir fikih: soal salat tanpa qunut, penetapan awal Ramadan, alias tata langkah kurban. Pandangan semacam itu memang tidak keliru. Tapi jika berakhir di sana, kita bakal kehilangan separuh wajah Muhammadiyah, aktivitas sosial Islam yangg sejak awal berdiri bukan semata untuk menafsir hukum, melainkan mengubah kehidupan.

“Fikih bagi Muhammadiyah bukan tujuan, melainkan jalan menuju kemaslahatan,” kata Majelis Tarjih dan Tajdid dalam situs resminya. Karena itu, istilah seperti Fikih Kebencanaan atau Fikih Tata Kelola muncul bukan untuk menambah daftar norma baru, tapi untuk memperluas cakupan aliran Islam agar relevan dengan tantangan zaman.

Dari Surau ke Sekolah

Sejak berdiri di Yogyakarta pada 1912, Kiai Ahmad Dahlan menegakkan fondasi Muhammadiyah sebagai aktivitas pembaruan (tajdid). Ia memadukan semangat dakwah dengan kerasionalan pendidikan modern. Naskah Ma Huwa Asasul Jamiatul Muhammadiyah menegaskan perihal itu: ideologi organisasi dibangun di atas dakwah, pendidikan, dan modernisasi Islam. Bukan sekadar quote fikih alias perdebatan hukum.

Dari sekolah rakyat hingga rumah sakit, Muhammadiyah menjadikan kebaikan upaya sebagai medium dakwah. Di sinilah perbedaan paling nyata antara Muhammadiyah dan golongan Islam lain di awal abad ke-20: organisasi ini menganggap pendidikan dan kesehatan bukan urusan duniawi yangg terpisah dari agama, melainkan bagian dari ibadah sosial.

“Gerakan tajdid Muhammadiyah adalah modernisasi nilai-nilai Islam dalam corak institusi,” tulis Majelis Pendidikan Kader Muhammadiyah dalam peluncuran buku Retajdid Organisasi Muhammadiyah di Era Perubahan (2022).

Antara Fikih dan Modernitas

Dalam perihal fikih, Muhammadiyah tidak menolak tradisi, tetapi berupaya memodernkannya. Peneliti UIN Alauddin Makassar, Wahyuding dan Hamzah Hasan, dalam risetnya tentang komparasi fikih politik NU dan Muhammadiyah, menyimpulkan bahwa Muhammadiyah lebih menekankan kerasionalan norma dan tujuan hukum (maqāṣid al-syarīʿah) daripada fatwa berbasis lokalitas.

Artinya, fikih bagi Muhammadiyah adalah perangkat metodologis, bukan kerangka ideologis. Ia digunakan untuk menuntun perilaku sosial, tapi tidak membatasi ruang mobilitas organisasi. Itu sebabnya, keputusan-keputusan keagamaan Muhammadiyah kerap muncul dalam corak pedoman tematik—Fikih Air, Fikih Zakat Produktif, Fikih Lingkungan—yang lebih mengedepankan faedah sosial daripada formalisme hukum.

“Fikih dalam Muhammadiyah bukan kitab hukum, tapi etika sosial,” ujar Haedar Nashir dalam beragam kesempatan.

Gerakan yangg Melampaui Masjid

Sejak awal 1970-an, Muhammadiyah mulai menyebut dirinya sebagai “gerakan Islam modernis berkemajuan”. Konsep Islam Berkemajuan menandai transisi: dari dakwah ritual ke dakwah sosial. Majelis Tarjih kemudian menegaskan bahwa Islam tidak hanya berbincang tentang ibadah mahdhah, tetapi juga tatakelola, ilmu, dan kebudayaan.

Karena itu, pada 2006, Muhammadiyah menetapkan keputusan penting: organisasi ini tidak boleh terlibat dalam politik praktis. “Dakwah kudu bebas dari kepentingan partai,” demikian bunyi keputusan dalam Surat Keputusan Pimpinan Pusat Muhammadiyah tentang Politik dan Dakwah.

Langkah itu mempertegas posisi Muhammadiyah sebagai kekuatan moral, bukan kekuatan politik. Ia berdiri di tengah masyarakat, mendampingi korban bencana, membangun sekolah di pelosok, dan menjadi rujukan dalam rumor sosial—dari perubahan suasana hingga perlindungan anak.

Misi Sosial dan Spirit Peradaban

“Islam bagi Muhammadiyah adalah din al-hadlarah—agama yangg membangun peradaban,” tulis Suara Muhammadiyah (2021). Pandangan ini menegaskan arah besar organisasi: menjadikan kepercayaan bukan sekadar urusan ritual, tapi sistem nilai yangg mendorong ilmu, keadilan, dan kemajuan.

Dalam beragam muktamar, Muhammadiyah menolak label “puritan” alias “skripturalis”. Mereka lebih suka disebut rasionalis religius: menjunjung wahyu, tetapi menggerakkannya lewat kebaikan sosial. Itulah sebabnya, dalam banyak kesempatan, Muhammadiyah lebih sibuk membangun universitas daripada memperdebatkan norma seremoni Maulid.

Warisan yangg Terus Bergerak

Lebih dari seabad setelah berdiri, Muhammadiyah sekarang menjadi salah satu organisasi Islam terbesar di dunia, dengan jaringan lebih dari 170 perguruan tinggi dan ribuan rumah sakit serta sekolah. Tapi fondasi gerakannya tetap sama: pembaruan.

Memahami Muhammadiyah sebagai organisasi fikih berfaedah kehilangan esensinya: bahwa Islam bagi mereka bukan sekadar hukum, melainkan aktivitas peradaban.

Ahmad Dahlan pernah berbicara kepada muridnya: “Mengaji itu baik, tapi jangan berakhir di kitab.” Sebab kitab hanya alat, bukan tujuan.

Dan di tangan Muhammadiyah, fikih pun berubah: dari sekadar teks norma menjadi daya sosial yangg menghidupkan masyarakat. (jakartamu)

-->
Sumber infomu.co medan
infomu.co medan