Menyoal Kredibilitas Komunikasi Pejabat Publik - MuhammadiyahNews.com

Sedang Trending 1 bulan yang lalu

Oleh: Andi Muhammad Abdi*

KHITTAH. CO – Komunikasi publik pejabat selalu berada dalam sorotan. Setiap ucapan, sikap, apalagi candaan tidak bisa dilepaskan dari tanggung jawab etis dan kepatutan. Seorang pejabat publik tidak lagi berkomunikasi sebagai pribadi semata, melainkan sebagai representasi lembaga dan simbol legitimasi negara. Karena itu, standar komunikasi mereka tentu berbeda dari penduduk biasa. Satu kalimat keliru dapat menimbulkan kegaduhan, merusak citra, apalagi menamatkan pekerjaan politik.

Kasus personil DPRD Gorontalo, Wahyudin Moridu, merupakan contoh terbaru. Video candaan tentang “merampok duit negara” yangg dia lontarkan beredar luas dan segera ditafsirkan publik bukan sebagai humor, melainkan simbol pengakuan atas praktik koruptif. Partainya pun memecatnya. Kata-kata berubah menjadi petaka.

Sepanjang tahun ini, banyak blunder serupa mencoreng kredibilitas pejabat publik. Hasan Nasbi, kala itu menjabat Kepala Kantor Komunikasi Presiden, menyulut publik lewat komentar “kepala babi dimasak saja”. Gus Miftah, saat menjabat Utusan Khusus Presiden, dinilai melecehkan pedagang es teh dengan ucapan tak pantas.

Di parlemen, sederet legislator juga pernah tergelincir dalam komunikasi nir etik. Seperti Ahmad Dhani yangg memelintir nama penyanyi Rayen Pono menjadi “Rayen Porno”. Ahmad Sahroni menyebut “orang demo adalah orang tolol sedunia”. Eko Patrio, Uya Kuya, hingga Nafa Urbach pun menuai kritik lantaran mengeluarkan pernyataan yangg dinilai tidak berempati.

Kepala wilayah pun tak luput. Bupati Pati misalnya, justru menantang kembali warganya yangg protes kebijakan dalam forum publik, menunjukkan style komunikasi konfrontatif alih-alih membuka ruang dialog. Sikap tersebut akhirnya memicu perlawanan penduduk terhadap Bupati yangg dinilai lebih memilih mengobral arogansi daripada terbuka mendengarkan aspirasi.

Rangkaian peristiwa tersebut menjadi penanda, bahwa tetap banyak pejabat di Indonesia yangg susah membedakan antara komunikasi privat dan komunikasi publik. Mereka kerap menganggap bisa berbincang sembarangan. Padahal di era digital, setiap ucapan terekam, tersebar, dan ditafsirkan oleh jutaan orang. Sekali terucap, kata-kata menjadi arsip yangg dapat mengukuhkan alias justru meruntuhkan reputasi.

Teori komunikasi Aristoteles tentang ethos mengingatkan bahwa kredibilitas komunikator ditentukan oleh integritas, kompetensi, dan goodwill terhadap audiens. Jika ucapan pejabat penuh arogansi, candaan tak pantas, alias pelecehan simbolik, maka ethos runtuh. Tanpa ethos, pesan apa pun bakal kehilangan daya pengaruh.

Di sinilah letak persoalannya. Komunikasi tidak pernah terjadi dalam ruang hampa. Pesan selalu dipengaruhi audiens, medium, dan situasi sosial. Candaan tentang duit rakyat mungkin terdengar ringan di lingkar pertemanan, tetapi diucapkan oleh pejabat, direkam, lampau viral, pesan tersebut berubah menjadi penghinaan terhadap etika politik dan pengkhianatan terhadap kepercayaan publik.

Dalam komunikasi politik, setiap pesan pejabat bakal selalu dimaknai secara politis. Publik tidak lagi menilai sebuah pernyataan dari niat, melainkan dari posisi pengucap dan akibat yangg ditimbulkan. Karena itu, lawakyang menggunakan rumor sensitif seperti korupsi, kemiskinan, alias penderitaan rakyat bukan hanya tidak lucu, tetapi menimbulkan kemarahan.

Dalam etika komunikasi, mengajarkan tiga prinsip utama ialah kejelasan, kehat-hatian, dan keberpihakan pada kepentingan publik. Ketika seorang pejabat mengabaikan prinsip tersebut, dia tidak hanya merusak reputasi pribadi, tetapi juga menodai kehormatan lembaga yangg diwakilinya. Itulah sebabnya ketika terjadi potensi krisis akibat ulah  kadernya, partai politik kerap mengambil tindakan tegas seperti penjatuhan hukuman berat alias pemecatan. Langkah tersebut tentu sebagai upaya untuk menyelamatkan gambaran di mata masyarakat.

Era digital memperkuat kerentanan ini. Media sosial menjadikan semua orang “jurnalis” sekaligus “editor”. Sebuah potongan video bisa beredar dalam hitungan detik, lepas dari konteks aslinya. Dalam situasi seperti itu, pejabat tidak bisa lagi berlindung di kembali argumen “sekadar bercanda”. Publik menuntut keseriusan, lantaran kata-kata yangg melukai seringkali lebih rawan dibanding kebijakan yangg kontroversial.

Krisis komunikasi seperti ini menyingkap dua kelemahan mendasar. Pertama, banyak pejabat tetap kandas membedakan komunikasi privat dan komunikasi publik. Apa yangg boleh diucapkan di ruang family belum tentu layak diucapkan di ruang terbuka. Kedua, budaya lawakpolitik di Indonesia kerap abai pada sensitivitas publik. Padahal, menjadikan rumor serius sebagai bahan candaan hanya mempertebal sinisme masyarakat terhadap pejabat.

Namun di lain sisi, rangkaian peristiwa tersebut memperlihatkan meningkatnya daya kritis publik. Reaksi keras menunjukkan bahwa standar etika komunikasi pejabat sekarang lebih diperhatikan. Publik menuntut konsistensi, jika dalam ucapan saja sudah berbahaya, gimana mungkin tindakan dapat dipercaya? Pada prinsipnya, legitimasi junto kepercayaan publik dapat runtuh bukan hanya lantaran kebijakan yangg buruk, tetapi juga lantaran komunikasi yangg salah urus.

Lantas, apa pelajaran yangg bisa dipetik? nan pertama, pejabat kudu menyadari bahwa setiap kata merepresentasikan lembaga, bukan sekadar diri pribadi. nan kedua, partai politik perlu memperkuat pendidikan komunikasi dalam kaderisasi. Bukan hanya strategi kampanye, tetapi juga etika berbincang di ruang publik. nan ketiga, pejabat kudu berpegang pada prinsip komunikasi pubilk yangg jelas, jujur, sensitif terhadap rumor sosial, serta mengutamakan kepentingan rakyat di atas segala corak kelakar.

Publik tidak menuntut pejabat sempurna, tetapi menuntut kearifan dan kehati-hatian. Jangan ada ruang untuk gurauan yangg menyentuh luka kolektif bangsa. Korupsi, kemiskinan, dan penderitaan rakyat adalah rumor serius yangg kudu dikelola dengan empati, bukan sebagai bahan lawakan.

Pada akhirnya, komunikasi publik bukan sekadar kata yangg terucap, melainkan cermin martabat seorang pejabat. Etika menuntun arah, norma menjaga batas, dan komunikasi menjadi jembatan yangg menghubungkan pejabat dengan rakyat. Namun jika jembatan itu retak oleh ucapan serampangan, runtuhlah kepercayaan. Dan sekali kepercayaan runtuh menyisakan jarak yangg kian susah dijembatani.

*Dosen UIN Sultan Aji Muhammad Idris Samarinda dan Mantan Ketua Umum Pemuda Muhammadiyah Makassar

-->
Sumber khittah.co
khittah.co