Menunggu Pasangan Presiden yang Adil - MuhammadiyahNews.com

Sedang Trending 1 tahun yang lalu
Ace Somantri, pengajar Universitas Muhammadiyah Bandung. personil PWM Jawa Barat Periode 2022-2027. (Dok pribadi)

Oleh: Ace Somantri

KLIKMU.CO

Berseliweran beragam ragam berita, mulai dari promosi dan sosialisasi sosok tokoh bangsa. Perhelatan suksesi kepemimpinan sudah ditabuh sejak satu tahun nan lalu. Masuk di tahun 2023 semakin terbuka beragam koalisi partai politik menjelang tahun 2024.

Sudah jelas secara de facto kandidat pemimpin bangsa Indonesia sudah bersafari keliling provinsi dan wilayah di Indonesia. Elektoral tokoh tetap terus dipermainkan demi untuk tiket masuk tahun 2024. Saling dukung dan deklarasi pendukung makin gencar digelar diberbagai daerah. Tokoh-tokoh nyaris setiap saat berkonsolidasi mematangkan koalisi, mengalkulasi pemenangan jika begini dan begitu. Ketokohan terus diuji dan divalidasi sesuai kriteria dan parameter nan disepakati para pemegang saham di partai politik. Tidak ketinggalan para pelaksana negara memanfaatkan kendaraan lembaga negara untuk mencari simpati dan empati publik, meski hanya untuk berselfie ria.

Virus selebrasi para tokoh merebak hingga ke pelosok desa dan perkampungan. Pasang kuda-kuda beragam entitas sosial kemasyarakatan untuk menyambut kehadiran pasangan calon presiden dan wakil presiden. Banyak rakyat meletakkan angan dan asa agar Indonesia lebih baik dan maju dari sebelumnya.

Menjelang akhir kekuasaan, presiden terlihat ikut terbawa arus selebrasi tokoh-tokoh nan bakal maju dipilpres mendatang, seperti nan latah seolah bakal maju lagi ikut kontestasi. Lempar sana dan lempar sini sebuah tshirt nan dibagikan pada rakyat, berebut pun tak terhindarkan apalagi tidak sedikit nan jatuh tersungkur dijalanan hanya untuk mengambil lemparan

Tshirt nan dilemparkan dari dalam mobil penguasa negeri ini. Apakah seperti itu memberi dan melayani rakyat? Padahal mereka adalah pemilik saham sah bangsa dan negara ini.

Hiruk pikuk menjelang Pilpres tahun 2024, pasangan Anies Baswedan belum muncul di permukaan, pasangan Puan Maharani pun sama, dan pasangan Prabowo Subianto tetap pilih-pilih, apalagi pasangan nan tidak dipasang partai politik namalain jomblo. Itu bakal semakin memperburuk elektoral, gambaran dan reputasi. Koalisi sudah jauh-jauh hari bersinergi, antarpartai politik membangun visi dan misi nan sama.

Hingga pada akhirmya, pilihan bakal memberi status koalisi, baik mendorong atas dasar sesuai hati dan nurani alias memberi sesuatu atas dasar subjektifitas terikat bakal nilai materi. Mahalnya kerakyatan di Indonesia, high cost pada momentum suksesi kerap kali menghiasi wajah-wajah ketua nan mencari dan membeli bunyi tidak peduli berapapun harganya nan krusial jadi.

Negeriku kian hari semakin mengerikan, walaupun sekedar buletin dan info perihal ihwal mahalnya menjadi pemimpin di Indonesia. High cost politik suksesi dengan model kerakyatan memeras energi, basah kuyup keringat rakyat Indonesia untuk membeli karpet merah nan disediakan untuk bangsa lain, benarkah itu?

kiranya krusial ditelusuri keabsahannya dan keshohihanya. Sekalipun tidak betul faktanya lantaran info menunjukkan tidak ada, namun susah dipercaya kondisi realitas bangsa dan negara ini rentan manakala menghadapi tekanan pihak luar. Di sisi lain sangat beringas ketika menekan rakyat sendiri nan terindikasi melawan dan dianggap berhadapan dengan kekuasaan.

Semoga itu hanya dugaan semata. Jikalau memang dirasa nyata dan ada sebaiknya untuk segera meminta pembebasan dari pemilik alam semesta ini sebelum ada akibat dari perbuatan kepemimpinan bangsa ini.

Terlepas ya alias tidak, perhelatan suksesi kepemimpinan negara dan bangsa Indonesia menghitung hari. Pertimbangan kepada para kandidat dikaji dengan matang, kemashlahatan umat menjadi prioritas untuk mengurangi kemadlaratan umat. Beda pandangan satu kandidat dengan kadidat lain menjadi khazanah sebagai pertimbangan, kebaikan dan ketulusan untuk kontestasi dalam suksesi bagian dari tanggung jawab moral sebagai anak bangsa, siapa pun berkuasa untuk dipilih dan memilih.

Namun ada catatan keras dalam ajaran, bahwa memilih pemimpin kudu mengedepankan kriteria nan lebih mendekati kepatutan dan kepantasan nan memenuhi tuntutan kebutuhan bangsa dan negara. Terlebih negara dalam kondisi sakit parah secara ekonomi, politik, pendidikan, ketahanan pangan, dan banyak lagi jenis sakit nan diderita bangsa dan negara ini.

Dibutuhkan sosok pemimpin tangan besi nan bisa membumihanguskan kekuatan oligarki hingga ke akar-akarnya, tidak boleh disisakan sedikitpun. Walaupun dalam realitanya relatif mustahil membersihkan sayap-sayap syaiton, perihal itu sudah menjadi bagian tantangan utama nan tidak bakal pernah musnah selama bumi ini ada, lantaran kebenaran bakal berhadapan dengan kebathilan dan kebaikan berhadapan dengan keburukan, hanya pertolongan dan atas kehendak Sang Pencipta Alam Semesta Allah Ta’ala, lantaran Dzat nan sebaik-baiknya penolong. Artinya, dalam konteks saat ini berupaya untuk melahirkan pemimpin nan setara dan berpihak pada keadilan menjadi tanggungjawab setiap orang, apalagi merasa diri beriman.

Sudah tidak sabar rakyat Indonesia menunggu pasangan presiden dan wakilnya. Mereka berdua berambisi memberikan jalan kebaikan dan kebenaran nan penuh keadilan. Keberpihakan kepada pelayanan rakyat menjadi keniscayaan, memihak kebenaran nan setara bagi masyarakat sebuah tuntutan, dan memberi angan pada rakyat untuk hidup lebih lama dan optimistik. Berganti rezim selalu menyisakan masalah, kebenaran dan realita hak-hak rakyat banyak dirampas, penegakan norma tumpul keatas tajam ke bawah, pemerataan kesejahteraan sangat mencolok tidak seimbang, rasa kondusif dan nyaman untuk hidup masa depan penuh kecemasan, serta perlindungan kewenangan asasi ekonomi, politik, dan keagamaan condong abai dan diabaikan.

Menimbang beragam sosok calon presiden nan beredar, nyaris dipastikan tetap terjebak lingkaran partai politik dan indikasi terpapar kepentingan segelintir kru oligarki. Apapun kondisi bangsa hari ini, sistem kerakyatan tetap tetap menjadi rujukan sistem politik kenegaran Indonesia. Suka tidak suka, diterima alias tidak, Indonesia adalah rumah kita dan rumah kita bersama. Harus dijaga dan dipelihara tetap menjadi surga rakyatnya sendiri, bukan malah sebaliknya menjadi neraka penuh nestapa dirumah sendiri, sementara bangsa asing menikmati penuh bahagia. Indonesia terkenal tanah surga lantaran ditanami apapun dapat tumbuh, cuacanya membikin penunggu nyaman, aman, tentram dan damai.

Semoga tahun 2024 lahir Presiden nan bisa mengembalikan surga Indonesia kepada rakyatnya, sudah terlalu lama menuggu kenestapaan. Hidup dinegeri sendiri namun seperti hidup asing dirumah sendiri, semestinya menjadi tuan dan majikan bangsa asing, malah sebaliknya menjadi pembantu dirumah sendiri.

Hanya dengan kekuasan dan kekuatan-Mu bumi alam semesta ini memberi keadilan. Fakta dan nyatanya manusia banyak khianat dan dzalim. Kekuasaan dan kekayaan hanya menjadi simbol keangkuhan, kesombongan, kepongahan, dan ketakaburan seolah paling dahsyat dan berkuasa. Kadang sangat asing dan tidak masuk akal, manusia nan diberi kedudukan seperti segalanya berkuasa. Padahal mereka diberi amanah tiada lain hanya untuk melayani dan memberi keadilan. Wallahu’alam. (*)

-->
Sumber Klikmu.co
Klikmu.co