Pada paruh abad ke-19 muncul seorang ustadz ternama kelahiran Banten nan berjulukan Syekh Nawawi al-Bantani. Ia menulis kitab tafsir dengan judul Marah Labid. Penamaan ini sebenarnya tidak diutarakan langsung oleh Syekh Nawawi. Akan tetapi jika ditelisik dari perspektif semantik, Marah berasal dari kata nan berfaedah datang dan pergi di sore hari untuk berkemas dan mempersiapkan kembali berangkat. Marah juga menunjukkan tempat (ism makan) dari kata tersebut bermakna, tempat rehat bagi sekelompok orang nan darinya mereka pergi dan kepadanya mereka kembali.
Sedangkan Labid mempunyai makna berkumpul dan mengitari sesuatu. Dalam makna lain, Labid semakna dengan al-Libadi (sejenis burung nan doyan berada di daratan dan hanya terbang jika diterbangkan). Jadi, secara harfiah “Marah Labid” bemakna Sarang Burung alias istilah lainnya “tempat rehat nan nyaman bagi orang-orang nan datang dan pergi”.
Syekh Nawawi dalam perihal ini mau menjadikan kitab tafsirnya sebagai rujukan nan menyenangkan bagi umat, dengan begitu mereka enggan untuk meninggalkan al-Quran. Beliau menulis kitab tafsir tersebut atas permintaan beberapa siswa dan kawan teman dekatnya sewaktu di Mekkah nan menghendakinya menyusun sebuah kitab tafsir.
Kendati awalnya ragu untuk menulisnya lantaran cemas termasuk golongan nan disabdakan Nabi Saw, “Siapa nan menafsirkan al-Quran (hanya) dengan akalnya maka dia telah melakukan kesalahan sekalipun betul tafsirannya.” Namun setelah menimbang-nimbang dengan seksama, berpikir bahwa setiap era memerlukan pembaruan dalam ilmu, dnegan penuh ketawadhu’an beliau memutuskan untuk menulis kitab tafsir ini tanpa tendensi apapun, lebih-lebih berambisi untuk perihal nan tidak baik.
Itulah kenapa dia hanya melakukan langkah baru dalam menyampaikan pengetahuan dan tidak menambah apapun kepadanya. Dengan merujuk ustadz tafsir terdahulu seperti, Imam ar-Razi, Sulaiman al-Jamal, Abu Su’ud, Fairuzabadi, ath-Thabari, al-Qurtubi, dan as-Suyuthi, dan Ibnu Katsir, lahirlah sebuah tafsir nan dinamainya Marah Labid Li Kasyf Ma’na Alquran Al Majid.
Biografi Syekh Nawawi al-Bantani
Bernama komplit Abu Abdul Mu’thi Muhammad Nawawi bin Umar bin Arabi, ayahnya Syekh Umar al-Bantani merupakan sosok ustadz nan mempunyai nasab dengan Maulana Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati). Beliau lahir di Tanara, Serang, Banten, tahun 1230 H/1813 M. Sejak mini Syekh Nawawi sudah belajar pengetahuan dasar bahasa Arab, Tauhid, Fiqh, al-Quran, dan tafsir, berbareng kerabat kandungnya dan langsung dibimbing oleh ayahnya.
Barulah kemudian saat usia delapan tahun dia berbareng kedua adiknya, Tamim dan Ahmad belajar kepada seorang ustadz terkenal di Banten saat itu, ialah KH. Sahal. Setelah lulus dia kemudian melanjutkan belajar kepada Syekh Baing Yusuf Purwakarta.
Hingga usianya belum genap 15 tahun, banyak orang berdatangan belajar kepada Syekh Nawawi muda, sampai mengharuskan beliau untuk mencari tempat di pinggir pantai agar dapat lebih leluasa mengajar murid-muridnya nan kian hari bertambah banyak.
Menuntut Ilmu ke Tanah Suci
Saat usianya genap 15 tahun, beliau menunaikan haji dan disamping itu beliau niatkan untuk menimba pengetahuan kepada sejumlah ustadz masyhur di Mekkah saat itu. Setelah tiga tahun bermukim di Mekkah, pada tahun tahun 1828 M, Syekh Nawawi akhirnya kembali pulang ke Banten.
Sampai di tanah air, beliau menyaksikan tetap banyak praktik-praktik ketidakadilan, kesewenang-wenangan, dan penindasan nan dilakukan pemerintah Hindia Belanda terhadap rakyat. Dengan memandang realita begitu zalimnya, gelora jihad pun berkobar.
Sebagai intelektual nan mempunyai komitmen tinggi terhadap prinsip-prinsip keadilan dan kebenaran, Syekh Nawawi kemudian berceramah keliling Banten mengobarkan perlawanan terhadap kolonialis sampai pemerintah Belanda membatasi geraknya, seperti dilarang berkhutbah di masjid-masjid.
Bahkan, belakangan beliau dituduh sebagai pengikut Pangeran Diponegoro. Ketika itu sedang sedang terjadi perlawanan terhadap kolonialisme Belanda (1825-1830 M). Hingga akhirnya beliau kembali ke Mekkah setelah ada tekanan pengusiran dari Belanda.
Peristiwa ini tepat ketika puncak terjadinya Perlawanan Pangeran Diponegoro pada tahun 1830. Begitu sampai di Mekkah, beliau segera kembali memperdalam pengetahuan kepercayaan kepada guru-gurunya.
Syekh Nawawi mulai dikenal banyak orang ketika menetap di Syi’ib ‘Ali, Mekkah. Beliau mengajar di laman rumahnya. Mula-mula muridnya hanya puluhan, tetapi semakin lama jumlahnya kian banyak. Mereka datang dari beragam penjuru dunia. Hingga jadilah Syekh Nawawi al-Bantani sebagai ustadz nan dikenal piawai dalam agama, terutama tentang tauhid, fiqih, tafsir, dan tasawwuf.
Nama Syekh Nawawi al-Bantani semakin masyhur ketika dia ditunjuk sebagai Imam Masjidil Haram. Dirinya menggantikan Syaikh Achmad Khotib Al-Syambasi alias Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi. Tidak hanya di kota Mekkah dan Madinah saja, dia dikenal di negeri Suriah, Mesir, Turki, apalagi hingga di Hindustan.
Keistimewaan dan Karakteristik Marah Labid
Tafsir ini sangat spesial lantaran merupakan tafsir Al-Quran pertama nan ditulis secara komplit dengan berkata Arab oleh ustadz asal Nusantara. Selain itu, tafsir ini tercatat sebagai salah satu karya tafsir pada abad ke-19 di bumi Islam.
Karakteristik penafsiran Syekh Nawawi dipengaruhi oleh keluasan ilmunya nan meliputi beragam bagian pengetahuan keislaman. Hal ini terlihat dengan banyaknya karya nan beliau hasilkan dalam beragam bagian pengetahuan tersebut. Karenanya, ketika mengkaji kitab tafsir karyanya, didapati beragam aspek kajian di dalamnya; Ulum Al-Qur’an, Ilmu Balaghah, Fikih, Ushul Fikih, Ilmu Kalam, dan Tasawuf.
Dalam pendekatan fikih, ketika menjelaskan suatu hukum, biasanya dia menjelaskan dengan menggunakan paparan nan jelas menganut kepada ajaran Syafi’i. Sekalipun dalam menafsirkan beberapa ayat tersebut, dia juga pernah mengutip pendapat ajaran lain.
Dalam corak tasawuf dan tadzkiyatun nafs, contohnya beliau terapkan ketika menafsirkan surat al-Anfal ayat 2, nan mana beliau menjelaskan dengan pembahasan khaud nan merupakan pembahasan dalam tasawuf.
Metodologi dan Sistematika Tafsir Marah Labid
Dari segi teknik penafsiran, sebagian peneliti mengkategorikan Marah Labid menggunakan metode ijmali (global). Sebagian peneliti lain menyatakan bahwa kitab tafsir ini memakai metode tahlili (analisis). Tidak sedikit peneliti juga mengatakan Marah Labid menggunakan kombinasi antara keduanya.
Marah Labid ditulis menggunakan sistematika seperti Al-Qur’an. Dimulai dari surat al-Fatihah dan diakhiri dengan an-Nas. Kitab ini terdiri dari dua jilid. Pada jilid pertama dimulai dengan surah al-Fatihah sampai dengan surah al-Kahfi. Pada jilid kedua, dimulai dengan surah Maryam sampai dengan surah an-Nas.
Di setiap pembahasannya, bakal diawali dengan muqadimah, lalu basmalah, hamdalah dan shalawat, seperti kitab tafsir lainnya. Ketika permulaan surat, Syekh Nawawi memulai penafsirannya dengan menuliskan identitas surat, seperti nama surat, status Makkiyah atau Madaniyah-nya, jumlah ayat, kalimat dan hurufnya.
Pola demikian ini beliau lakukan dengan mengikuti langkah kitab tafsirnya Abu Su’ud dan al-Sirah al-Munir, di mana selalu menyebut jumlah ayat, kata, dan huruf setiap surat. Barulah setelah itu beliau menjelaskan penafsiran secara ayat per-ayat dengan bahasa nan ringkas, jelas, dan mudah dimengerti.
Editor: Soleh