Di era digital yangg serba terhubung, generasi muda khususnya Generasi Z, menghadapi tantangan psikologis yangg kian kompleks. Laporan Indonesia Gen Z Report 2024 yangg disusun oleh IDN Research Institute berbareng Populix mencatat bahwa jumlah Gen Z di Indonesia mencapai 74,93 juta jiwa, alias 27,9 persen dari total penduduk. Mereka adaptif terhadap teknologi, imajinatif secara digital, namun juga paling rentan terhadap tekanan sosial dan emosional.
Riset Arsyad, Kurniawan, & Setiawan (2023) dalam Clinical Practice and Epidemiology in Mental Health menunjukkan bahwa prevalensi gangguan emosional meningkat dari 6 persen pada 2013 menjadi 9,8 persen pada 2018, lebih dari 19 juta masyarakat Indonesia terdampak. Survei Jakpat (2022) yangg dikutip The Jakarta Post juga melaporkan 59 persen anak muda mengalami stres alias kekhawatiran akibat tekanan akademik dan sosial.
Fenomena ini memperlihatkan paradoks bumi digital: semakin banyak “teman” di layar, semakin sedikit ruang untuk merasa tenang. Generasi ini hidup dalam hubungan tanpa batas, tetapi kehilangan kedekatan jiwa yangg menenteramkan.
Dunia yangg Terhubung, Tapi Kehilangan Makna
Kondisi ini sejalan dengan istilah hyperconnected society yang mulai dikenal luas sejak laporan World Economic Forum (2009) dan kemudian dipopulerkan oleh Klaus Schwab dalam bukunya The Fourth Industrial Revolution (2016). Schwab menggambarkan bumi yangg memasuki fase “hiperkoneksi,” di mana manusia, mesin, dan sistem digital saling terhubung tanpa jarak dan tanpa batas.
Namun, bumi yangg semakin terhubung rupanya tidak selalu menghadirkan pertemuan yangg bermakna. Di kembali riuh notifikasi, manusia modern menghadapi krisis kemanusiaan, kehilangan arah, empati, dan makna.
Dalam konteks ini, pendidikan tidak boleh hanya menjadi ruang transfer pengetahuan, melainkan juga ruang penumbuhan nilai-nilai kemanusiaan. Peneliti pendidikan C.H. Sam (2021) menegaskan bahwa safe space atau ruang kondusif dalam pembelajaran krusial untuk kesehatan emosional siswa, agar mereka dapat belajar dan berbagi tanpa takut dihakimi.
Peran Pendidik: Menguatkan Jiwa, Bukan Sekadar Mengajar
Sekolah dan kampus perlu menjadi ruang kondusif bagi tumbuhnya empati dan keseimbangan jiwa. Pendidik tidak cukup menjadi pengajar, tetapi juga pendengar yangg peka dan pembimbing penuh kasih.
Langkah pertama adalah menciptakan perbincangan reflektif di kelas, agar siswa berani mengekspresikan emosi dan mengelola tekanan sosial. Kedua, menghadirkan momen hening dan perenungan diri, memberi jarak di tengah rutinitas belajar yangg padat. Ketiga, mengintegrasikan nilai spiritual dan moral dalam proses belajar, tidak dengan dogma, tetapi melalui keteladanan dan angan yangg hidup.
Penelitian The Dynamics of Prayer in Daily Life and Implications for Well-Being menunjukkan bahwa angan menurunkan stres dan memperkuat ketahanan psikologis. Aktivitas spiritual termasuk shalat berkedudukan besar meningkatkan mindfulness atau kesadaran penuh. Pendidikan yangg menumbuhkan kesadaran spiritual bukan sekadar mencerdaskan pikiran, tetapi juga menyehatkan jiwa.
Shalat: Menenangkan Batin, Mendidik Kesadaran
Dalam pendidikan Islam, shalat bukan hanya tanggungjawab ritual, melainkan sarana pembelajaran spiritual yangg menenangkan jiwa dan membentuk kesadaran diri. Ia adalah ruang kondusif yangg disediakan Allah agar manusia belajar berakhir dari kesibukan dunia, menundukkan ego, dan kembali kepada sumber ketenangan sejati.
Bagi pendidik, shalat juga menjadi inspirasi pedagogis. Melalui ritme rukuk dan sujud, seorang pembimbing belajar tentang disiplin, ketundukan, dan keseimbangan, nilai yangg dibutuhkan dalam mendidik dan membimbing.
Rasulullah SAW berfirman kepada Bilal bin Rabah, “Wahai Bilal, istirahatkanlah kami dengan shalat.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud). Hadis ini menunjukkan bahwa shalat adalah sumber rehat dan penyejuk jiwa bagi Nabi dan para sahabatnya. Dalam konteks pendidikan, shalat mengajarkan bahwa belajar pun memerlukan jeda, refleksi, dan ketenangan hati.
Al-Qur’an menegaskan, “Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.” (QS. Ar-Ra’d: 28). Dalam pendidikan modern yangg condong sigap dan berorientasi hasil, ayat ini mengingatkan bahwa ketenangan adalah bagian dari kecerdasan. Pendidik yangg tenang bakal menenangkan; pembimbing yangg sadar bakal mengajarkan kesadaran.
***
Penelitian oleh Mohd Nasir Abdullah dkk. dalam Journal of Religion and Health (2017), berjudul “Mindfulness in Salah Prayer and Its Association with Mental Health,” menemukan bahwa perseorangan yangg melaksanakan shalat dengan penuh kesadaran (mindfulness) condong mempunyai tingkat kekhawatiran lebih rendah dan kesejahteraan psikologis lebih tinggi. Shalat, dengan demikian, bukan sekadar ibadah ritual, melainkan sarana pembelajaran jiwa yangg menumbuhkan ketenangan, fokus, dan daya tahan psikologis, bagi peserta didik maupun pendidik.
Dalam pandangan Risalah Islam Berkemajuan, manusia adalah ‘abdullah (hamba Allah) sekaligus khalifah di bumi yangg bekerja menebar rahmat bagi semesta alam. Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir menegaskan bahwa kemajuan dalam Islam tidak semata-mata berkarakter bentuk dan material, tetapi menyentuh seluruh dimensi kehidupan menuju kebahagiaan sejati, bumi dan akhirat.
Pendidikan berdasarkan Islam Berkemajuan berfaedah menyeimbangkan kerasionalan dengan spiritualitas, teknologi dengan moralitas. Guru dan pengajar bukan hanya penyampai ilmu, tetapi penyalur tanwir, pencerahan yangg menuntun generasi agar tidak tersesat di tengah gemerlap bumi digital, melainkan tetap terhubung dengan nilai-nilai Ilahi.
Menyalakan Cahaya di Tengah Dunia Hiperkoneksi
Mendidik di era hiperkoneksi bukan hanya soal menyiapkan generasi agar mahir menggunakan teknologi, tetapi juga menuntun mereka agar tetap utuh sebagai manusia. Pendidikan sejati adalah yangg bisa menyalakan sinar dalam diri peserta didik, sinar pengetahuan yangg mencerahkan logika dan sinar ketaatan yangg menuntun hati.
Di tengah bumi yangg kian bising oleh notifikasi digital, pendidik dipanggil untuk menjadi peneduh: menghadirkan ketenangan, menumbuhkan empati, dan menanamkan nilai-nilai kemanusiaan yangg berakar pada keimanan.
Sebagaimana Rasulullah SAW yangg tidak hanya mengajar dengan kecerdasan, tetapi juga mendidik dengan kasih dan doa, pendidik masa sekarang pun perlu mendoakan murid-muridnya. Rasulullah pernah bermohon untuk Ibnu Abbas, “Ya Allah, berilah dia pemahaman dalam kepercayaan dan ajarkanlah tafsir kepadanya.” Doa itu adalah bentuk cinta dan kepercayaan bahwa keberhasilan pendidikan bukan semata hasil upaya manusia, melainkan juga pertolongan Tuhan.
Semoga setiap pendidik bisa menyalakan sinar itu, agar di tengah arus hiperkoneksi, tumbuh generasi yangg tercerahkan: pandai nalar, cerah hati, dan teguh dalam ketaatan serta kemanusiaan.
Editor: Soleh
1 minggu yang lalu
English (US) ·
Indonesian (ID) ·