Literatur KHGT (4) : Review Buku “Awal & Akhir Ramadhan Mengapa Harus Berbeda?” Karya Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqiy (w. 1395 H/1975 M) - MuhammadiyahNews.com

Sedang Trending 2 minggu yang lalu

Literatur KHGT (4) : Review Buku “Awal & Akhir Ramadhan Mengapa Harus Berbeda?” Karya Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqiy (w. 1395 H/1975 M)

Oleh : Arwin Juli Rakhmadi Butar-Butar – Dosen FAI UMSU dan Kepala OIF UMSU

Buku berjudul “Awal & Akhir Ramadhan Mengapa Harus Berbeda?” karya Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqiy ini terdiri dari x + 51 halaman, diterbitkan PT. Pustaka Rizki Putra, Semarang, cetakan ke-2, tahun 2002 M. Buku ini merupakan kumpulan tulisan yangg dimuat di Suara Muhammadiyah tahun 1393 H/1973 M. Dalam kitab yangg banget ringkas ini Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqiy setidaknya merumuskan tiga perihal mengenai Kalender Islam Global, yaitu: pertama, bumi berada dalam satu matlak. Kedua, keberlakuan
rukyat berkarakter global. Ketiga, titik referensi adalah kota Makkah. Dalam konteks ini Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqiy menyatakan sebagai berikut,

“Lantaran itu andaikan telah terjadi ru’yah di suatu negara, dapatlah kita menyatakan bahwa seluruh wilayah Islam telah wajib memulai puasa, lantaran semua mereka berserikat dalam menghadapi sebagian malam dari bulan baru” (hlm. 25) “Apabila telah diyakini adanya ru’yah di sesuatu negara maka perihal ini tidaklah terbatas pada memulai puasa saja, tetapi bertindak juga pada memulai bulan yangg berpautan erat
dengan haji dan wuquf di Arafah” (hlm. 26)

“Dengan demikian, seremoni hari Arafah, hari nahar, hari tasyrik, haruslah didasarkan kepada mathla’ Mekkah. Mathla’nyalah yangg kudu menjadi satu-satunya mathla’ untuk menetapkan hari-hari ibadat yangg berpautan dengan bulan dan mathla’nya” (hlm. 29).

“Awal & Akhir Ramadhan Mengapa Harus Berbeda?”

karya Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqiy (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, cet. Ii, 2002 M)

Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqiy

Tulisan Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqiy yangg berjudul “Perbedaan Mathla’ Tidak Mengharuskan Berlainan Hari Memulai Puasa” yangg dterbitkan di Suara Muhammadiyah nomor 9 tahun ke-53 (Rabiulakhir 1393 H/ Mei 1973 M).

Secara umum kitab ini berisi 7 pembahasan yaitu:

Pertama, mukadimah. Di bagian ini Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqiy menyatakan ada tiga langkah dalam menetapkan awal dan akhir Ramadan, ialah : (1) berasas rukyat, (2) menyempurnakan Syakban dan Ramadan 30 hari, dan (3) mengikuti penetapan para mahir hisab (hlm. 1). Ia menyatakan ada banyak ustadz yangg tidak lagi menggunakan perbedaan matlak. Dalam perihal ini tatkala bulansabit telah terlihat di suatu negeri maka wajib bagi masyarakat negeri lain memegangi realita itu (hlm. 5).

Kedua, perbedaan Mathla’ Tidak Mengharuskan Berlainan Hari Memulai Puasa. Disini Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqiy mengemukakan dua pendapat besar tentang matlak. Pertama pendapat yangg menyatakan adanya perbedaan matalak, dalam perihal ini tiap-tiap daerah/negeri berpegang pada matlaknya masing-masing. Tatkala umat Islam Indonesia telah memandang bulan, maka wajiblah berpuasa. Sementara itu tidak wajib puasa atas masyarakat wilayah yangg tidak memandang hilal. Dalilnya adalah hadis-hadis Nabi Saw, diantaranya “shumu li ru'yatihi wa af-thiru li ru'yatihi” (berpuasalah kalian lantaran memandang bulansabit dan berbukalah kalian lantaran memandang hilal), berikutya lagi diperkuat dengan sabda yangg diriwayatkan dari Kuraib. Pendapat kedua, sebagian ustadz menurut Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqiy beranggapan bahwa waktu-waktu ibadah berpautan dengan bulan, walaupun berbeda matlak. Apabila ada yangg memandang bulan di salah satu benua (negeri) Islam, maka wajiblah seluruh umat Islam berpuasa, meskipun mereka berjauhan di selangi oleh laut-laut yangg luas. Argumen pendapat ini adalah rukyat (keterlihatan hilal) dan lantaran semua umat Islam sesungguhnya sama-sama berpuasa dan mereka seluruhnya adalah umat yangg satu.

Argumennya juga adalah sabda Nabis Saw “shumu li ru'yatihi wa af-thiru li ru'yatihi” yangg menjadi dasar pegangan. Dalam perihal ini tatkala bulansabit terlihat di salah satu wilayah Islam, ialah matlaknya lebih dulu, maka dia dianggap telah terlihat oleh semua umat. Lebih tegas Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqiy menyatakan, “…tidaklah diterima logika bahwa tuntunan memandang bulan dihadapkan kepada setiap orang. Ru'yah itu cukup dengan penglihatan sebagian mereka dan dengan ru'yah salah satu negeri” (hlm. 15). Menurutnya lagi ini adalah pendapat ajaran Malikiyah dan pendapat yangg rajih (kuat) menurut ustadz Hanafiyah dan Syafi'iyah (hlm. 15).

Ketiga, Permulaan Timbul Paham Perlainan Mathla’. Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqiy menegaskan bahwa pada dasarnya di masa Rasul Saw tidak pernah terjadi perbedaan pendapat dalam memulai puasa dan hari raya. Demikian lagi di masa khulafaur rasyidin, betapapun wilyah-wilayah Islam waktu itu telah begitu luas. Perbedaan baru muncul di era Muawiyah dan Ibn Abbas yangg menurutnya lebih lantaran persoalan politik. Perbedaan yangg terjadi sesungguhnya bukan perbedaan dalam bagian iktikad alias dalam bagian dasar-dasar hukum, tetapi sebenarnya lantaran hilangnya kesatuan di antara umat Islam akibat pengaruh-pengaruh penjajah. Karenanya merupakan keharusan mewujudkan kembali ikatan yangg teguh di antara umat Islam sedunia. Salah satu indikasi yangg membawa umat Islam kepada persatuan adalah kesatuan pendapat dalam memulai puasa, hari raya, musim haji, dan hari-hari besar yangg lain. Menurutnya ini tidak bakal terealisasi selain dengan memegangi prinsip matlak dunia sebagaimana dikemukakan oleh jumhur ustadz ialah tidak menjadikan perbedaan matlak dasar menetapkan awal Ramadan, awal Syawal, dan awal Zulhijah. Menurutnya prinsip ini tidak menyalahi usul fikih dan tidak menyalahi para ulama. Semua mereka ini berpendapat, bahwa masyarakat timur kudu memulai puasa dengan rukyat masyarakat barat, walaupun berbeda matlak (hlm. 18).

Keempat, Jalan yangg Harus Kita Tempuh untuk Mewujudkan Kesatuan Umat dalam Melaksanakan Ibadat. Di bagian ini kembali Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqiy menegaskan pentingnya unifikasi sistem waktu di bumi Islam, diantaranya dia mengatakan sebagai berikut,

“Akan tetapi, perbedaan tempat letaknya negeri dan benua tidak menimbulkan pengaruh yangg berfaedah dalam masalah menetapkan permulaan bulan, lantaran tidak ada diantara negara-negara Islam, baik di Timur ataupun di Barat yangg berbeda mathla'nya sampai sehari penuh. Lantaran itu dapat memungkinkan masyarakat bumi Islam menyatukan permulaan puasanya, ialah dengan berpegang kepada ru'yah bulansabit yangg dilihat oleh masyarakat sesuatu negeri dari negeri-negeri Islam itu” (hlm. 21).

Lebih lanjut Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqiy mengatakan bahwa persatuan umat Islam dalam penanggalan bakal menguatkan hubungan keagamaan yangg baik antar negara, yangg mana perihal itu tidak bertentangan dengan hadis-hadis Nabi Saw tentang rukyatul hilal. Kembali dalam perihal ini dia menegaskan bahwa cukuplah kiranya masyarakat suatu negeri untuk memulai puasa dengan rukyat di negeri (benua) lain.

Berikut pernyataan komplit Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqiy,

“Oleh lantaran itu kebanyakan ustadz tidak memakai prinsip ikhtilaf mathali’  dalam menetapkan awal bulan, inilah pendapat yangg kudu kita hargai. Lebih-lebih lagi bersatunya umat Islam dalam memulai puasa, adalah salah satu dari karena yangg menumbuhkan hubungan keagamaan antara satu benua dengan benua yangg lain, dan membawakan kepada satu kata dan satu jalan. Pendapat alias tanggapan ustadz ini, tidaklah berlawanan dengan “shumu li ru'yatihi wa af-thiru li ru’yatihi”, lantaran khitab ini, Nabi menegakkan syiar kepercayaan dan dalam mewajibkan puasa atas segala mukallaf andaikan telah pasti adanya hilal. Karenanya cukuplah untuk masyarakat sesuatu negeri untuk memulai puasa, andaikan telah ada ru’yah di suatu negeri alias benua yangg lain. Hadits ini tidak mengatakan: “tidak wajib puasa melainkan atas orang yangg memandang sendiri bulansabit Ramadhan”. Kalau demikian tidak ada perbedaan antara suatu benua dengan benua yangg lain. Tidak ada perbedaan antara negara-negara Timur dan negara-negara sebelah Barat dalam masalah mengawali bulan Ramadhan” (hlm. 23).

Ia menyatakan lagi, “Kesimpulannya dalam masalah ikhtilaf mathali’ (perbedaan letak geografis), masalah ijtihad bukan masalah nash, maka tidak ada salahnya kita memilih alias mentarjihkan pendapat yangg tidak menggunakan ikhtilaf mathali’” (hlm. 24). “Lantaran itu andaikan telah terjadi ru’yah di suatu negara, dapatlah kita menyatakan bahwa seluruh wilayah Islam telah wajib memulai puasa, lantaran semua mereka
berserikat dalam menghadapi sebagian malam dari bulan baru” (hlm. 25).

Kelima, Ru’yah Mekkah yangg Harus Dijadikan Pegangan Bersama. Di bagian ini Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqiy menyatakan bahwa Makkah adalah matlak yangg ideal dalam unifikasi ibadah dan penanggalan. Alasannya tidak lain lantaran kiblat, Kakbah, al-Bait al-Haram, arafah, dan lain-lain. Ia menyatakan, “Dengan demikian, seremoni hari arafah, hari nahar, hari tasyrik, haruslah didasarkan
kepada mathla’ Mekkah. Mathla’nyalah yangg kudu menjadi satu-satunya mathla’ untuk menetapkan hari-hari ibadat yangg berpautan dengan bulan dan mathla’nya” (hlm. 29).

Keenam, Beberapa Kaifiyat Sekitar Ru’yah. Di bagian ini Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqiy menjelaskan jenis metode dan tata langkah (kaifiyat) serta pendapat ustadz tentang rukyat dan hisab. Antara lain dijelaskan kesunahan memandang anak bulan, norma memandang bulansabit dengan teropong, dan pendapat para mahir hisab dan rukyat. Selain itu juga dijelaskan tentang puasa bagi masyarakat di wilayah kutub.

Ketujuh, Mengarahkan Pandangan pada Ru’yah Mekkah Tidak Menimbulkan Problema Negatif (Catatan Tambahan). Di bagian ini berisi obrolan Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqiy dengan Ir. Basit Wahid (tokoh falak Muhammadiyah) tentang matlak Makkah, yangg mana Basit Wahid menolak penggunaan matlak alias rukyat Makkah lantaran dikhawatirkan menimbulkan banyak problem. Alasan penolakan Basit Wahid sendiri seperti dikemukakan Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqiy adalah: pertama, menimbulkan kesulitan bagi umat Islam yangg buletin rukyat tidak sampai kepada mereka di permulaan malam, seperti masyarakat Sydney. Kedua, kemungkinan orang yangg di sebelah barat kota Mekkah memandang bulansabit lebih dahulu. Ketiga, merupakan suatu bid’ah baru lantaran ijtihad seorang mujtahid era sekarang (hlm. 40).

Atas kritik dan penolakan Basit Wahid ini, Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqiy menjawab dengan sejumlah argumen diantaranya bahwa pada dasarnya perihal itu tidaklah menimbulkan kesukaran dan tidak perlu dikeluhkan. Khusus mengenai rukyat yangg telah terjadi dan definitif di sebelah barat Makkah, maka rukyat tersebut ditransfer ke wilayah lain dan termasuk ke Makkah. Artinya kota Makkah tidak serta-merta menjadi sentral pengamatan hilal, namun lebih menjadi pedoman (titik) awal hari dan awal tanggal. Dalam konteks ini Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqiy mencontohkan dan mengilustrasikan keterlihatan bulansabit di beragam tempat dan negara seperti di Dakar, Jakarta, dan Sydney.

Demikian pemikiran Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqiy tentang dinamika perbedaan puasa dan hari raya serta konsepsinya tentang penyatuan penanggalan Islam dunia. Secara substansi, karya Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy ini menawarkan fondasi
fikih yangg kuat untuk Kalender Islam Global dengan satu matlak, rukyat global, dengan Makkah sebagai titik acuan. Namun tidak dipungkiri kelemahannya adalah tetap berkarakter teoretis dan absennya elaborasi teknis implementasi. Namun demikian melalui pemikirannya tentang perihal ini dia dapat dinyatakan sebagai pelopor dan pemikir-teoretik Kalender Internasional (Global) pertama di Indonesia, betapapun sekali lagi belum ditopang dengan konsep teknis-praktik-implementatif. Namun secara historis pemikirannya ini lebih dulu dari Muktamar Istanbul tahun 1398 H/1978 M (yang menginisiasi Muktamar Turki 1438 H/2016 M dan KHGT Muhammadiyah. Wallahu a’lam[]

-->
Sumber infomu.co medan
infomu.co medan