Literatur KHGT (3) : Review Buku “al-Qamar al-Thāli’” karya Fauzi bin Abdillah al-Atsari - MuhammadiyahNews.com

Sedang Trending 2 minggu yang lalu

Literatur KHGT (3) : Review Buku “al-Qamar al-Thāli’” karya Fauzi bin Abdillah al-Atsari

Oleh: Arwin Juli Rakhmadi Butar-Butar – Dosen FAI UMSU dan Kepala OIF UMSU

Judul komplit kitab ini adalah “al-Qamar al-Thāli’ fī Anna in Tsabata Ru’yah al-Hilāl fī Ayyi Balad Wajaba ‘alā Baqiyyah al-Buldān al-Islāmiyyah an Tashūma wa Tufthira bi Hādzihi al-Ru’yah walā ‘Ibrah bi Ikhtilāf al-Mathāli’” karya Fauzi bin Abdillah bin Muhammad al-Hamidi al-Atsari. Dari titel kitab ini tampak secara gamblang menegaskan tentang makna krusial almanak yangg berkarakter global. Judul kitab ini andaikan diterjemahkan sebagai berikut, “Bulan Terbit tentang bahwa andaikan keterlihatan bulansabit telah definitif dimana saja maka wajib atas semua negara Islam berpuasa dan berhari raya dengan rukyat tersebut, dan tidak ada perbedaan matlak”.

Kitab “al-Qamar al-Thali’” karya Fauzi b. Abdillah b. Muhammad al-Hamidi al-Atsari

(Bahrain: Maktabah Ahl al-Hadits, cet. I, 1438/2017)

Secara umum kitab ini berisi 5 pembahasan. Pembahasan pertama berupa penjelasan tentang bahwa Islam bakal menjadi asing di dunia, kegoblokan bakal merajalela, beragama menyalahi syariat, mengingakri hukum-hukum hukum yangg sahih, sedikitnya orang yangg menjalankan syariat, dan lain-lain.

Pembahasan kedua berupa mukadimah, yangg menjelaskan maksud dan tujuan kitab ini ditulis. Dijelaskan bahwa puasa Ramadan dan hari raya untuk semua umat Islam di permukaan bumi adalah wajib andaikan rukyat (keterlihatan hilal) telah definitif di suatu negeri di negeri-negeri umat Islam (hlm. 16). Menurut penulis buku, ini adalah pendapat (mazhab) ahlusunah dan para ustadz yangg mana kita diperintah untuk mengikutinya. Ia menegaskan tatkala suatu masyarakat memandang bulansabit maka perihal itu memestikan semua manusia (umat Islam) melaksanakan puasa Ramadan dan tidak boleh menyalahinya. Ini menurtnya lebih dekat kepada penyatuan umat Islam (hlm. 16). Maka andaikan umat Islam telah puasa dan hari raya secara berbareng maka itu lebih utama dan lebih kuat untuk persatuan umat Islam. Karena itu
wajib atas suatu masyarakat menggunakan rukyat negeri Islam lain lantaran keumuman dalil tentangnya. Hal ini sekali lagi menurutnya tidak lain untuk tujuan kesatuan Islam (al-wahdah al-islamiyyah) itu sendiri.

Berikutnya Fauzi bin Abdillah bin Muhammad al-Hamidi al-Atsari dalam karyanya ini mengemukakan dalil dari al-Qur’an, antara lain firman Allah QS. Al-Baqarah ayat 185. Atas ayat ini dia menerjemahkan dengan andaikan bulansabit terlihat oleh suatu masyarakat maka perihal itu memestikan semua manusia di negeri mana saja untuk berpuasa, karena mereka telah menyaksikan bulan Ramadan. Dalam perihal ini terlarang bagi sebuah negeri menyalahi (berbeda) negeri Islam lain. Lalu firman Allah, QS. Al-Baqarah ayat 184, “wa an tashumu khairan lakum” (dan berpuasa adalah lebih baik bagi kalian). Melalui ayat ini Fauzi bin Abdillah bin Muhammad al-Hamidi al-Atsari menjelaskan bahwa tidak diragukan bahwa Nabi Saw memerintahkan umatnya berpuasa dan hari raya lantaran memandang hilal, lampau dikuatkan dengan hadis-hadis sahih, dan kembali menegaskan tatkala bulansabit telah terlihat secara syar’i di suatu negeri maka wajib untuk seluruh negeri menggunakan rukyat tersebut (hlm. 18).

Sementara itu argumen dari sunah ialah hadis-hadis rukyat, yangg menunjukkan bahwa andaikan bulansabit terlihat di suatu negeri, misalnya di Haramain, maka memestikan semua umat Islam, baik berbeda matlak alias sama. Ini merupakan pendapat jumhur ustadz dan merupakan
pendapat yangg trajih, apalagi sangat kuat untuk penyatuan umat Islam dalam ibadah berasas syariat. Berikut pernyataan Fauzi bin Abdillah bin Muhammad al-Hamidi al-Atsari,

وَهَذِهِ الأَحَادِيثُ تَدُلُّ عَلَى أَنَّ إِذَا رَبَّيَ الهِلَالَ بِبَلَدٍ – كَبَلَدِ الحَرَمَيْنِ – لَزِمَ الصَّوْمُ جَمِيعَ بُلْدَانِ
المُسْلِمِينَ، سَواءِ اخْتَلَفَتِ المَطَالِعُ فِيهَا، أَوْ اتَّفَقَتْ، وَهُوَ قَوْلُ جُمْهُورِ عُلَمَاءِ الأُمَّةِ
الإِسْلامِيَّةِ، وَهُوَ الرَّاجِحِ، بَلْ هُوَ الْأَنْسَبُ لَتَوْحِيدِ الأُمَّةِ الإِسْلَامِيَّةِ فِي عِبَادَتِهَا كُلِّهَا عَلَى نَهْجِ
الشَّرِيعَةِ المُطَهَّرَةِ!. وَهَذَا هُوَ الأَقْرَبُ إِلَى اتِّحَادِ المُسلِمِينَ، وَاجْتِمَاعِ كَلِمَتِهِمْ فِي العِبَادَاتِ،
وَعَدَمِ التَّفَرُّقِ بَيْنِهِمْ، بِحَيثُ لا يَكُونُ هُؤلاءِ مُفْطَرِينَ، وَهؤُلاءِ صَائِمِينَ، فَإِذَا اجْتَمَعُوا وَكَانَ
يَوْمُ صَوْمِهِمْ، وَيَوْمُ فِطْرِهِمْ وَاحِداً كَانَ ذَلِكَ أَفْضَلُ، وَأَقْوَى لِلمُسْلِمِينَ فِي الْحَادِهِمْ، واجْتِمَاعِ
كَلِمَتِهِمْ، وَهَذَا مُرَادُ الشَّرِيعَةِ المُطَهَّرَة .

“Hadis-hadis ini menunjukkan bahwa ketika bulansabit terlihat di suatu negara, seperti di Haramain, maka puasa wajib bagi seluruh negeri Muslim, terlepas apakah berbeda matlak alias sama. Ini adalah pendapat kebanyakan ustadz umat Islam, dan ini yangg paling rajih, apalagi yangg paling tepat untuk mempersatukan umat Islam dalam ibadah sesuai dengan hukum yangg murni. Ini adalah yangg paling mendekatkan umat Islam kepada persatuan, penyatuan kalimat mereka dalam ibadah, yangg mana tidak ada perpecahan di antara mereka, sehingga tidak ada yangg berbuka puasa dan yangg lainnya tidak berpuasa. Oleh lantaran itu, jika mereka berkumpul dan hari puasa dan hari berbuka mereka jatuh pada hari yangg sama, ini lebih baik dan lebih efektif bagi umat Islam dalam persatuan mereka dan penyatuan kalimat mereka. Inilah maksud hukum yangg murni” (hlm. 20).

Pembahasan berikutnya adalah berangkaian peringatan bagi para pendahulu (as-salaf) terhadap kekeliruan dan kesalahan dalam bertaklid. Pembahasan berikutnya tetap berangkaian dengan taklid ialah kepada orang besar (berpengaruh) maupun orang mini (tidak punya pengaruh).
Adapun pembahasan paling krusial dalam kitab ini ialah tentang argumen almanak dan matlak global, dengan sub titel yangg cukup panjang, yaitu:

ذِكْرُ الدَّلِيلِ عَلَى أَنَّ إِذَا ثَبَتَتْ رُؤْيَةِ الهِلَالِ لَدُخُولِ شَهْرٍ رَمَضَانَ، وَخُرُوجِهِ فِي بَلَدٍ مِن بُلْدَانِ
المُسْلِمِينَ، فَوَجَبَ عَلَى بَقِيَّةِ البُلْدَانِ الإِسْلامِيَّةِ أَنْ تَصُومَ، وتُفْطِرَ بِهَذِهِ الرُّؤيَة ولا عِبْرَةً
بِاخْتِلافِ المَطَالِعِ؛ لتَوْحِيدِ الأُمَّةِ الإِسْلامِيَّةِ فِي عِبَادَتِهَا كُلِّهَا عَلَى نَهْجِ الشَّرِيعَةِ الْمُطَهَّرَةِ

“Menyebutkan argumen bahwa andaikan bulansabit awal dan akhir bulan Ramadan telah definitif di suatu negara Muslim, maka wajib bagi negara-negara Muslim lainnya untuk berpuasa dan berbuka berasas penampakan tersebut. Perbedaan matlak tidak diperhitungkan, demi
mempersatukan umat Islam dalam beragama secara keseluruhan, sesuai dengan pendekatan syariat yangg murni”.

Disini kembali penulis kitab menegaskan unifikasi penanggalan ialah manakala bulansabit terlihat di suatu tempat (negeri) maka memestikan untuk negeri-negeri lainnya, dan kembali beliau mengemukakan dalil (argumen)nya berasas hadis-hadis Nabi Saw tentang rukyatul hilal. Secara lebih tegas penulis kitab ini menyatakan bahwa perbedaan waktu (jam) lantaran perbedaan matlak sama sekali tidak ada masalah. Tatkala umat Islam telah sepakat bahwa hari itu adalah hari berpuasa alias hari berhari raya maka perihal itu sangat baik, lebih
menguatkan umat Islam dalam kesatuan yangg mana ini adalah yangg dikehendaki syariat.

Dalam konteks ini perkembangan pengetahuan pengetahuan dan telekomunikasi memungkinkan dan memudahkan perihal itu semua. Mudahnya sampai info ke beragam negara bumi meniscayakan menerima pendapat ini. Bahkan di negara-negara minoritas muslim informasi
rukyat dapat diterima dengan mudah lantaran itu pula mereka wajib menerima info tersebut, dalam perihal ini mereka mengikuti negara yangg telah mengumumkan masuknya bulan Ramadan, ini sesuatu yangg teramat mudah [81-82].

Hal yangg menarik dan menguatkan konsep dunia kalendernya, penulis kitab ini merujuk dan mengutip pendapat-pendapat para ustadz dalam karya-karya mereka antara lain Syaikh Abdul bin Baz dalam “al-Fatwa”, Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albany dalam “Tamam al-Minnah”, Syaikul Islam Ibn Taimiyah dalam “Haqiqah ash-Shiyam”, dan Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin dalam “at-Ta’liq”.

Selain itu juga dikutip dan dirujuk pendapat-pendapat mazhab, ialah Hanafiyah dengan mengutip At-Turmutasyi, Asy-Syarabnaly, Ibn ‘Abidin, Ath-Thahthawy, dan al-Hashkafy. Lalu Malikiyah, dengan mengutip Ibn Rusyd dalam “Bidayah al-Mujtahid” dan Ibn Juzay dalam “al-Qawanin al-Fiqhiyyah”. Lalu Hanabilah, dengan mengutip Al-Buhuty dalam “Kassyaf al-Qina’”. Semua sumber yangg dia kutip ini seluruhnya menegaskan dan menekankan unifikasi awal puasa dan hari raya
(hlm. 84-86).

Selain itu, penulis kitab ini juga mengkritisi negara-negara bumi hari ini yangg semata mendasarkan ketetapan kalendernya berasas ketetapan otoritas di negara masing-masing. Secara spesifik apalagi dia menyebut lembaga keislaman (syu’un al-islamiyyah) di suatu negara. Hal ini menurutnya lantaran besarnya pengaruh dan kekuasaan lembaga keagamaan (keislaman) itu. Berikut pernyataan beliau mengenai perihal ini,

لَكِنْ أَكْثَرَ النَّاسِ اليَوْمَ يَظُنُّونَ أَنَّ المَسْأَلَةَ مَبْنِيَّةٌ عَلَى اخْتِلَافِ المَطَالِعِ، أَوْ عَلَى اخْتِلافِ
الدُّولِ الإِسْلامِيَّةِ، فالكُلُّ يُقرِّرُ عَلَى مَا يُفْتَى فِي دَوْلَتِهِمْ مِنْ قِبَلِ مَا يُسَمَّى بالشؤون
الإِسْلامِيَّةِ، وذَلِكَ بِسَبَبِ تَغَلْغُلِ عَلَى المُفْتِينَ عِنْدَهُمُ الْأَفْكَارُ الْاعْتِقَادِيَّةِ المُخالفة للكِتَابِ
والسُّنَّةِ.

“Namun, kebanyakan orang saat ini menduga bahwa masalah ini berdasarkan pada perbedaan matlak, alias perbedaan antarnegara Islam. Setiap orang memutuskan berasas fatwa yangg dikeluarkan di negara mereka oleh apa yangg disebut “Urusan Islam”. Hal ini disebabkan oleh kekuasaan mufti mereka, pemikiran dan kepercayaan yangg bertentangan dengan al-Qur’an dan Sunah” (hlm. 87). Wallahu a’lam[]

-->
Sumber infomu.co medan
infomu.co medan