Literatur KHGT (2) : Review Disertasi “Perspektif Hadis Nabi Saw Terhadap Penetapan Awal Bulan Qamariyah” Karya Ambo Asse - MuhammadiyahNews.com

Sedang Trending 3 minggu yang lalu

Literatur KHGT (2) : Review Disertasi “Perspektif Hadis Nabi Saw Terhadap Penetapan Awal Bulan Qamariyah” Karya Ambo Asse

Oleh : Arwin Juli Rakhmadi Butar-Butar – Dosen FAI UMSU dan Kepala OIF UMSU

Buku (disertasi) “Perspektif Hadis Nabi Saw Terhadap Penetapan Awal Bulan Qamariyah” ini merupakan karya disertasi yangg ditulis oleh Prof. Dr. Ambo Asse, saat ini beliau adalah Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Sulawesi Selatan, dan mantan Rektor Universitas Islam Muhammadiyah (Unismuh) Makassar, dan personil ketua Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah.

Secara umum disertasi ini mengkaji hadis-hadis Nabi Saw mengenai penetapan awal bulan hijriah. Beberapa pembahasan dalam disertasi ini menitikberatkan pada kualitas hadis-hadis rukyat dan penggunaan metode dalam penetapan awal bulan hijriah. Menurut Ambo Asse, penetapan awal bulan hijriah merupakan problema aktual di kalangan umat muslim, terutama ketika menghadapi awal bulan Ramadan, idul fitri, dan idul adha. Di sisi lain Allah memerintahkan kepada umat muslim agar mengikuti petunjuk Nabi Saw yangg diberi kewenangan dan tanggungjawab untuk menyampaikan wahyu dan memberi penjelasan tentang bebagai hal, termasuk penetapan awal bulan kamariah.

 

Prof. Dr. Ambo Asse

Kajian dalam disertasi ini menggunakan metode penelitian pustaka (library research). Disertasi ini menemukan setidaknya ada 85 buah sabda Nabi Saw tentang penetapan awal bulan yangg dapat diklasifikasikan dalam tiga kategori, yaitu: (1) hadis-hadis tentang pengakuan Nabi Saw bahwa dirinya dan umatnya ummi, (2) hadis-hadis tentang bulansabit sebagai tanda awal bulan hijriah, dan (3) hadis-hadis tentang pengucapan syahadat (kesaksian) sebelum menyatakan kesaksian. Dalam kesimpulannya Ambo Asse menyatakan bahwa hadis-hadis pada kategori pertama dan kedua berbobot sahih, sedangkan sabda pada kategori ketiga berbobot hasan. Dengan demikian hadis-hadis ini dapat dijadikan hujah yangg membenarkan penggunaan metode hisab, disamping metode rukyat dan istikmal, dalam penetapan awal bulan hijriah.

Ambo Asse juga menyimpulkan bahwa penetapan awal bulan secara umum berasas petunjuk Nabi Saw adalah menggunakan metode urfi (hisab yangg menggunakan standar 29 alias 30 hari secara bergantian) tanpa observasi hilal. Sedangkan dalam konteks penentuan awal bulan Ramadan dan Syawal, Nabi Saw hanya menganjurkan para sahabat agar melakukan rukyatul bulansabit (melihat hilal), dimana rukyat yangg dimaksud dapat berarti memandang dengan mata alias memandang dengan ilmu.

Pembahasan krusial dan menarik dalam disertasi ini yangg berangkaian dengan konsepsi almanak dunia adalah pembahasan tentang matlak. Menurut Ambo Asse, penggunaan matlak di era Nabi Saw sejatinya tetap sangat terbatas, sehingga yangg relevan pada masa itu adalah matlak lokal, bukan matlak global. Namun menurutnya hari ini umat Islam sudah menyebar di beragam bagian bumi dan telah maju dalam beragam bagian sains dan teknologi sehingga membuka ruang penggunaan matlak yangg lebih luas, dalam perihal ini matlak global.

Selain itu disertasi ini juga mengulas persoalan-persoalan krusial dalam penentuan awal bulan dimana yangg paling utama ialah pembahasan bulansabit dan hadis-hadis rukyat. Kedua perihal ini diulas secara perincian dan komprehensif, mulai aspek bahasa, sains, dan sosial. Tak lupa juga dibahas persoalan hisab yangg tampak mendapat perhatian sangat intens. Pembahasan-pembahasan lainnya ialah mendedah konteks dan konsep “faqduru lahu”, “syahr”, “qamar”, “yaum asy-syak”, “ummy”, “ikmal”, “syahida”, dan lain-lain. Segenap pembahasan ini dikaji secara komprehensif dengan merujuk kepada pendapat-penadapat para ulama. Selain itu juga dibahas ayat-ayat hisab terutama QS. Yunus ayat 5, QS. Al-Anbiya’ ayat 33, QS. At-Taubah ayat 36, QS. Al-Baqrah ayat 189, dan lain-lain.

Khusus mengenai hisab, setelah menjabarkan secara cukup luas, Ambo Asse menyatakan kebolehan dan ketiadaan halangan menggunakan hisab. Ia menyatakan sebagai berikut, “Dengan demikian, diantara umat muslim sudah banyak yangg bisa dan mahir menulis data-data astronomi dan menghitung posisi bulansabit awal bulan Qamariyah, sehingga tidak ada halangan bagi umat muslim untuk memanfaatkan perangkat teknologi tersebut dalam menentukan dan menetapkan awal bulan Qamariyah, awal bulan Ramadan, Syawal, dan Z|ulhijjah” (hlm. 251).

Sementara itu mengenai konsep rukyatul hilal, Ambo Asse menegaskan memandang bulansabit dengan kasat mata patut diimprovisasi, dalam pengertian memandang yangg dimaksud adalah memandang dengan ilmu, teknologi, penelitian, dan kalkulasi yangg jeli (hlm. 268). Berikutnya pernyataan Ambo Asse,

“Karena itu, ru’yah al-hilal dalam makna memandang bulansabit dengan mata kepala menjadi makna yangg perlu dikembangkan. Hadis ini tidak dapat dipahami alias diterjemahkan secara tekstual saja, sehingga sabda itu dapat dimaknai juga dengan memandang melalui pengetahuan (رؤية بالعلم أو بالعقل) ialah mengetahui awal bulan melalui penelitian dan kalkulasi yangg cermat” (hlm. 268).

Pembahasan krusial dan menarik dalam disertasi ini tidak lain adalah soal matlak. Dalam perihal ini Ambo Asse menguraikan setidaknya ada tiga konsep matlak yangg berkembang di kalangan umat Islam, yaitu:  pertama, matlak negara-negara (baik dekat alias jauh), dimana yangg dimaksud adalah matlak internasional, ialah tatkala sudah ada orang yangg memandang bulansabit di suatu negara, maka umat muslim di negara-negara muslim lainnya wajib mengikuti hasil penglihatan di negara tersebut, yangg mana ini merupakan pendapat jumhur ulama. Dalam perihal ini Ambo Asse mengutip Imam Ahmad bin Hanbal yangg menyatakan bahwa kesamaan tanggal kudu belaku seluruh bumi di bagian bumi yangg berada pada malam dan siang yangg sama.

Kedua, matlak wilayatul hukumi, ialah penetapan awal bulan berasas sebuah wilayah pemerintahan, ialah andaikan ada orang yangg memandang bulansabit pada salah satu wilayah dalam wilayah kekuasaan seorang presiden, maka semua orang Islam dalam walayah norma itu sudah wajib berpuasa, maka hasil penglihatan tersebut wajib diikuti di negeri itu, yangg mana ini merupakan pendapat ustadz Syafi’iyah. Ketiga, matlak wilayah setempat, ialah tatkala suatu wilayah sudah ada yangg memandang hilal, maka semua orang muslim di wilayah itu wajib berpuasa, adapun orang muslim diluar wilayah tersebut tidak wajib mengikutinya selain dia kudu mengikuti rukyah yangg dilakukan di negerinya alias di daerahnya, jika tidak ada yangg melihat, maka mereka kudu menyempurnakan 30 hari bulan yangg berjalan.

Setelah menguraikan cukup panjang soal matlak ini akhirnya Ambo Asse menyimpulkan sebagai berikut,

“Dengan demikian, penulis lebih condong menggunakan matlak internasional yangg dipusatkan di Saudi Arabiyah (Timur Tengah), di sanalah dibangun observatorium dan pusat info informasi bumi Islam yangg bisa diakses oleh negara-negara muslim se dunia. menjadi sebuah solusi terhadap perbedaan pendapat tentang penetapan awal bulan Qamariyah, terutama dalam menetapkan awal bulan Ramadan, Syawal, dan Z|ulhijjah” (hlm. 303).

Disini tampak Ambo Asse menempatkan matlak alias rukyatul bulansabit di Arab Saudi menjadi pedoman dan standar dengan beragam aspek dan alasan. Tentu pilihan dan konsep ini mempunyai kelebihan dan kekurangan, namun yangg pasti substansinya adalah bahwa almanak alias penanggalan yangg berkarakter dunia (internasional) merupakan sebuah kebutuhan umat yangg mesti direalisasikan. Wallahu a’lam[]

-->
Sumber infomu.co medan
infomu.co medan