Oleh PROF HAEDAR NASHIR
Indonesia gempar atas pamer kekayaan para family pejabat pemerintahan di tengah banyak rakyat hidup kesusahan. Publik hanya mengelus dada, dari mana duit para petinggi negeri itu berasal dan kenapa mesti gelimang kemewahan!
Indonesia lebih gempar dengan barita duit Rp 300 triliun di salah satu kementerian nan diduga oleh seorang pejabat senior sebagai terindikasi tindak pencucian duit (TPU). Seperti biasa, setelah pertemuan antarpihak, berita duit sebesar itu berubah statusnya jadi duit siluman lantaran konon bukan duit korupsi dan juga bukan TPU. Uang nan bukan-bukan.
Berita korupsi nan angkanya tetap tinggi di negeri ini boleh jadi tidak bakal gempar lagi, lantaran tidak begitu jelas arah dan tegas pemberantasannya. Kadang ironi, kasus nan sumir dicari-cari untuk jadi perkara korupsi. Sedangkan kasus-kasus nan potensial korupsi alias TPU berskala besar berhujung dengan cerita abu-abu.
Menko Polhukam Prof Mahfud MD apalagi menyebut “gilanya korupsi di negara kita ini” (21/3/2023).
Demikian pula soal kesenjangan ekonomi di tengah penguasaan lahan dan kekayaan Indonesia nan terkuras besar-besaran di seluruh pelosok negeri oleh para pihak nan menguasai jantung oligarki ekonomi, nan merambah ke oligarki politik. Area ini bakal tetap menjadi kisah buram Indonesia, meski menyangkut rencana hidup terbesar bangsa dan negara. Selain masalah besar mafia nan menjalar ke mana-mana.
Adakah para nasionalis Indonesia berteriak lantang soal-soal rawan nan menyangkut nasib Indonesia ke depan itu? Selantang bersuara tentang ancaman radikalisme dan terorisme nan terus direproduksi dengan nada tinggi.
Sekencang bunyi anti khilafah dengan beragam narasi dan deklarasi nan mengguncang seluruh jagat negeri, padahal ormas khilafah secara sah dan meyakinkan sudah dibubarkan di Republik ini.
Introspeksi Diri
Indonesia saat ini terus bergerak maju. Alhamdulillah sejumlah kemajuan telah dicapai oleh Indonesia dari satu fase pemerintahan ke fase berikutnya secara berkesinambungan.
Kemajuan di bagian bentuk paling kentara saat ini. Pasca pandemi, beban negeri terasa makin berat, tetapi Indonesia tetap bisa memperkuat dan melakukan recovery.
Namun dari sisi lain, Indonesia saat ini sebenarnya tidak baik-baik saja. Potret korupsi nan tetap memprihatinkan di tengah upaya pemberantasan nan tidak handal dan tidak terarah, beban Indonesia ke depan makin berat.
Apalagi soal biaya APBN nan makin sarat berat di tengah utang luar negeri nan sangat besar, kesenjangan sosial ekonomi, pengurasan sumber daya alam, duit pajak nan disalahgunakan, BUMN nan merugi, mafia nan menjalar di banyak aspek, dan beragam problem ekonomi nan meniscayakan Indonesia mengencangkan ikat pinggang sekaligus waspada tingkat tinggi.
Beban politik Indonesia tidak kalah berat. Betul, Indonesia termasuk negara kerakyatan nan baik posisi verbalnya berbareng Amerika Serikat dan India. Tetapi kerakyatan Indonesia tetap kuat variabel proseduralnya daripada substansi dan proses kosolidasi.
Demokrasi Indonesia terkorupsi oleh politik uang, transaksional, dan oligarki politik nan melemahkan dan menjadi virus galak kerakyatan itu sendiri. Termasuk pembelahan politik nan terus diawetkan demi meraih kesuksesan politik para pihak.
Semoga kerakyatan Indonesia ke depan tidak mengalami nasib tragis sebagaimana ditulis Steven Levitsky & Daniel Ziblatt (2018) tentang kejadian “Democracies Die” nan terjadi di Amerika Serikat era Donald Trump. Demokrasi meninggal di tangan para ketua terpilih secara demokratis, bukan oleh kudeta dan kuasa rezim militer.
Kematian kerakyatan nan dibajak untuk melanggengkan kekuasan dan praktik politik otoritarian. Pelemahan norma kerakyatan dan polarisasi partisan oleh praktik politik ekstrem. Politik nan mematikan sukma egalitarianisme, kesantunan, rasa kebebasan, dan tujuan hidup bersama.
Masalah nasionalisme di negeri ini tetap mengandung titik rawan. Pengaruh reformasi dan era sebelumnya, mencuat “bahaya disintegrasi bangsa” (Suryohadiprojo, 2016). Polarisasi pasca Pemilu 2019 menghidupkan “politik & ideologi aliran” reproduksi era 1950-1960-an. Otonomi wilayah nan semakin masif dan liberal sejatinya mempraktikkan politik “federalisme” dan membangkitkan orientasi kedaerahan nan eksklusif menyerupai “chauvinisme regional” (Wertheim,1999).
Sebagian pihak memberikan sirine ancaman politik identitas dan politisasi agama, tetapi pada saat nan sama menggunakan kedua rumor krusial itu untuk meraih kepentingan dan kesuksesan politik kelompoknya.
Jika mau jujur dan lurus hati secara autentik dalam bernasionalisme Indonesia, semestinya semua pihak prihatin dengan beragam realitas dan beban berat Indonesia nan tetap dapat didaftar lebih banyak dan sarat problematik.
Bilamana dibiarkan bakal mempertaruhkan nasib negara dan bangsa Indonesia tercinta, lantaran sifat masalahnya seperti gunung es. Sudahlah cukup bersuara lantang ancaman ini dan itu, sementara beragam virus nan nyata menggerogoti Indonesia seolah luput dari perhatian.
Saatnya semua pihak nan berada di seluruh lembaga negara alias pemerintahan, partai politik, organisasi kemasyarakatan, serta seluruh komponen bangsa berintrospeksi diri secara jujur dan terbuka. Ada apa nan salah dengan Indonesia saat ini?
Ancaman Indonesia
Banyak perilaku anak bangsa dan kondisi negeri nan sejatinya mengandung virus saat ini sebagai ancaman serius nan dapat menggerogoti eksistensi Negara Pancasila ini. Kaum nasionalis pengkhidmat Indonesia dari manapun asalnya, mesti membuka mata hati nan lapang bakal ancaman Indonesia lebih dari sekadar isu-isu keagamaan nan tidak jarang terlalu dipolitisasi dan didramatisasi secara tendensius seperti masalah politisasi agama, politik identitas, radikalisme, sampai negara khilafah.
Politisasi agama, politik identitas, radikalisme, negara khilafah, dan terorisme memang dapat menakut-nakuti eksistensi kebangsaan dan kenegaraan lebih-lebih nan dicandra oleh ekstremisme dan membuahkan politik kebencian, permusuhan, dan makar.
Namun penting memilah-milah rumor krusial tersebut secara objektif dan empirik disertai dengan pemetaan nan komprehensif agar tidak terjebak pada politisasi nan sama bermasalahnya demi kepentingan politik tertentu. Sebab, pada saat nan sama terdapat realitas lain bahwa politisasi, identitas, dan radikalisme dalam corak apapun selalu ada dan bermasalah jika dikonstruksi sama ekstremnya demi kepentingan diri, kelompok, dan golongan nan berkarakter eksklusif.
Agama dan umat berakidah jangan terus menerus dijadikan tersangka, terdakwa, dan terhukum oleh konstruksi-konstruksi sesaat dan tendensius nan tetap dapat diperdebatkan objektivitasnya sebagai aspek pengancam keindonesiaan dan eksistensi Negara Pancasila.
Umat berakidah pun jangan terjebak pada polarisasi dan bangunan serupa alias malah menunjukkan bukti nyata jika betul-betul berakidah dengan benar, baik, cerdas, dan mencerahkan sehingga tampil otentik dalam keberagamaan. Umat berakidah tidak menjadikan kepercayaan sebagai sumber segala corak politisasi dan radikalisasi nan menakut-nakuti ekistensi Negara Pancasila dan kehidupan bersama.
Hal nan sama juga bertindak bagi golongan alias komponen bangsa secara keseluruhan. Pandangan kebangsaan alias nasionalisme tidak terjebak pada radikalisme dan ekstremisme sehingga menjadi ultranasionalisme, nan muaranya bertentangan dengan Pancasila itu sendiri. Bung Karno sendiri menentang paham chauvinisme, nan menganggap diri bangsa Indonesia paling mulia dibanding bangsa lain, nan menunjukkan jangan sampai nasionalisme mengandung mengerti radikal-ekstrem.
Bung Karno apalagi ketika BPUPKI membentuk Tim Tujuh menghendaki kalangan Islam disamakan posisinya dengan kalangan nasionalis ketika merumuskan Piagam Jakarta, sehingga jumlahnya menjadi sembilan, nan mencerminkan pemihakan pada keislaman dalam pandangan kebangsaannya. Sukarno apalagi fasih ketika berbincang tentang Islam, khususnya Islam progresif alias Islam berkemajuan, jauh dari anti Islam.
Muhammadiyah dengan pandangan “Negara Pancasila Darul Ahdi Wahsyahadah” tanpa merasa diri paling Islamis dan nasionalis menolak segala corak mengerti negara kepercayaan termasuk negara khilafah, komunisme, sekularisme, dan ideologi lain nan bertentangan dengan mengerti dan eksistensi Negara Pancasila nan sudah disepakati para pendiri negara 78 tahun nan lalu.
Seluruh pihak mesti makin saksama, bijaksana, dan tengahan dalam berbangsa-bernegara agar tidak terjebak pada politisasi dan bangunan negatif nan pada akhirnya condong radikal-ekstrem atas nama apapun.Di sinilah pentingnya pandangan dan sikap wasathiyah atau moderat nan betul-betul tengahan secara lebih autentik disertai kerendahatian dan berbudi pekerti kenegarawanan dalam berindonesia. Jangan sampai atas nama moderasi atau wasathiyah sekalipun, sejatinya menampilkan pandangan dan sikap radikal-ekstrem.
Pada saat berbarengan seluruh pihak di negeri ini mesti waspada bakal ancaman korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, utang luar negeri, oligarki, praktik hidup hedonis materialistik, ekploitasi sumber daya alam, kesenjangan sosial ekonomi, penggunaan BUMN untuk kepentingan politik, investasi asing dan tenaga kerja asing, serta segala corak politisasi dan praktik bernegara nan menyimpang sebagai ancaman nyata bagi eksistensi Indonesia sebagai Negara Pancasila.
Ancaman Indonesia bukan hanya datang dari ideologi dan kekuatan luar, tetapi juga lantaran pengeroposan dan penggerogotan tubuhnya dari dalam seumpama kanker nan terus mengganas dari stadium satu hingga stadium empat nan ujungnya menuju kematian Indonesia.
Seluruh pihak wajib mencegah segala corak ancaman itu agar Indonesia tetap berdiri tegak sebagai Negara Pancasila nan mengandung lima nilai utama nan kudu diwujudkan di bumi nyata! (artikel ini dikutip dari media Republika)
2 tahun yang lalu
English (US) ·
Indonesian (ID) ·