Wujudul Hilal Versus Imkan Rukyat MABIMS 3-6.4
Oleh: Arwin Juli Rakhmadi Butar-Butar, Dosen FAI UMSU dan Kepala OIF UMSU
Wujudul Hilal (lengkapnya Hisab Hakiki Wujudul Hilal) adalah kriteria penetapan awal bulan hijriah nan digunakan Muhammadiyah. Kriteria ini mensyaratkan tiga parameter ialah : (1) ijtimak sebelum gurub, (2) bulan terbenam (moonset) setelah mentari terbenam (sunset), (3) saat gurub bulansabit sudah bentuk di atas ufuk. Argumen metode dan kriteria ini tertera secara lengkap dalam kitab berjudul “Pedoman Hisab Muhammadiyah” nan disusun oleh Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Sementara itu Imkan Rukyat MABIMS (lengkapnya Hisab Imkan Rukyat MABIMS 3-6.4) adalah metode dan kriteria penetapan awal bulan hijriah yang digunakan oleh Pemerintah (Kemenag) dengan parameter ketinggian hilal minimal 3 derajat dan perspektif elongasi minimal 6.4 derajat. Argumen metode dan kriteria ini tidak alias belum ditemukan secara tertulis dalam corak arsip (buku) nan diterbitkan Kemenag, argumen tentangnya lebih banyak dikemukakan tokoh-tokoh (pakar-pakar) nan mengusung dan mendukung kriteria tersebut.
Secara metode, Wujudul Hilal dan Imkan Rukyat MABIMS 3-6.4 sama-sama berada dalam ranah hisab dan masing-masing mempunyai argumen (dalil), dan saat nan sama mempunyai kelebihan dan kekurangan. Keduanya kerap dikritik dan apalagi adakalanya saling mengkritik, dan keduanya merupakan produk ijtihad dan kesepakatan penggunanya masing-masing. Ciri utama dari Wujudul Hilal adalah bentuk (eksistensi) bulansabit di atas ufuk berapapun dan bagaimanapun posisi dan ketinggiannya (asalkan positif di atas ufuk) nan sama sekali tidak mensyaratkan terlihat alias dilihat secara kasat mata. Sementara karakter nan melekat pada Imkan Rukyat MABIMS 3-6.4 sebagaimana dipraktikkan selama ini adalah keterlihatan alias kemungkinan terlihat bulansabit di atas ufuk baik dengan kasat mata alias dengan menggunakan perangkat (teropong), plus ditetapkan saat sidang isbat oleh Kementerian Agama RI. Karena itu disini tampak perbedaan dan pertentangan dua metode/kriteria ini.
Memang, secara metode baik Wujudul Hilal maupun Imkan Rukyat MABIMS 3-6.4 sama-sama dalam ranah hisab, namun dalam penerapannya keduanya berbeda dalam penerapan dan pemahaman, Wujudul Hilal sekali lagi sama sekali tidak mensyaratkan terlihat, kudu dilihat, memungkinkan terlihat, dan seterusnya. Sementara Imkan Rukyat MABIMS 3-6.4 mensyaratkan kudu terlihat alias memungkinkan terlihat. Disini tampak bahwa Wujudul Hilal memang lebih simpel dari Imkan Rukyat MABIMS 3-6.4. Dari sini pula keduanya bakal terus berbeda dan nyaris tidak akan bisa bertemu.
Karena itu, perubahan kriteria Imkan Rukyat MABIMS oleh Pemerintah (Kemenag) nan pada awalnya 2-3-8 menjadi 3-6.4 sejatinya tetap dalam ranah rukyat dan imkan rukyat dan hanya sesuai bagi sesama pengguna metode rukyat dengan kriteria imkan rukyat, artinya sama sekali tidak kompatibel dengan pengguna metode hisab dengan kriteria Wujudl Hilal. Demikian lagi perubahan dan kesepakatan dari elongasi toposentrik kepada geosentrik nan dianggap sebagai perubahan besar juga sama sekali tidak memberi pengaruh bagi Wujudul Hilal, karena dalam Wujudul Hilal sama sekali tidak mempertimbangkan parameter elongasi bulan-matahari nan identik dengan kejadian ketampakan.
Oleh sebab itu meminta dan menuntut Muhammadiyah untuk menerima Imkan Rukyat 3-6.4 dengan elongasi geosentriknya merupakan sesuatu nan tidak logis. Demikian lagi menuduh dan mengkambinghitamkan Muhammadiyah sebagai organisasi nan mengedepankan ego dan mengabaikan ukhuwah Islamiyah hanya lantaran dan dengan argumen Pemerintah telah beranjak kepada 3-6.4 plus perubahan elongasi geosentrik merupakan sebuah tuntutan abnormal nalar. Bagaimana mungkin perubahan dalam ranah rukyat dan imkan rukyat dipaksakan untuk diterima dalam ranah Wujudul Hilal, ini sama artinya menginginkan Wujudul Hilal dengan karakter eksistensinya untuk ditinggalkan dan beranjak menggunakan rukyat dan alias imkan rukyat dengan karakter ketampakannya. Jika demikian halnya, dapat saja diajukan tuntutan, kenapa bukan Wujudul Hilal saja nan digunakan Pemerintah? Bukankah Wujudul Hilal juga berdasarkan al-Qur’an dan Sunah? Bukankah Wujudul Hilal juga produk ijtihad nan mempunyai kelebihan dan kekurangan seperti halnya Imkan Rukyat MABIMS 3-6.4? Hal ini bisa saja diajukan Muhammadiyah sebagai ormas legal di negara kesatuan Republik Indonesia, namun kenyataannya Muhammadiyah tidak pernah melakukan perihal itu, lantaran Muhammadiyah sadar bahwa kewenangan semua komponen di negeri ini untuk berijtihad dan mengamalkan ijtihadnya. Seharusnya ini dipahami oleh para pengkritik Wujudul Hilal.
Kementerian Agama selaku nan diberi tugas dan izin menetapkan awal bulan hijriah di Indonesia dengan usungan moderasinya pada dasarnya memberi ruang terhadap perbedaan nan ada. Seperti dikutip di https://bimasislam.kemenag.go.id/post/berita/ajak-umat-makin-bijak-kasubdit-hisab-rukyat-kalender-hijriyah-tetap-jadi-pedoman (akses 24 Maret 2023), Menteri Agama (Yaqut Cholil Qoumas) seperti dikutip Ismail Fahmi (Kasubdit Hisab Rukyat dan Pembinaan Syariah) secara tegas menyatakan menghargai ormas nan berbeda dalam penetapana awal bulan hijriah. Lebih lanjut Ismail Fahmi menyatakan dan membujuk umat untuk semakin bijak menerima perbedaan dalam penanggalan hijriah di tanah air, dalam perihal ini Kemenag tidak lagi memaksakan ormas Islam bisa mempunyai hari ibadah nan sama, nan diharapkan adalah menghormati keragaman, termasuk menghormati pihak nan memang mempunyai kalkulasi almanak berbeda. Lebih lanjut Ismail berambisi ormas beserta umat Islam di tanah air dapat semakin bijak dan terbiasa menerima perbedaan nan notabenenya merupakan penerapan sikap moderasi beragama. Ini adalah sikap arif sebagai mewakili negara, selain tentunya negara juga dituntut untuk terus mengupayakan penyatuan almanak Islam baik tingkat lokal-nasional maupun global-internasional.
Karena itu langkah etis penyatuan awal bulan hijriah di Indonesia, sesuai kultur ketimuran bangsa Indonesia adalah dialog, ialah perbincangan nan simultan dan terencana, bukan perbincangan nan baru intens dilakukan saat last minute memasuki awal Syawal nan berpotensi berbeda seperti tahun ini. Selain perbincangan nan simultan juga diperlukan kesabaran dan ketenangan. Setiap orang, setiap komunitas, setiap ormas, apalagi negara, punya langkah dan mekanisme, tentu ini kudu dipahami dan dihargai oleh semua pihak, terutama oleh para ahli pengkritik Wujudul Hilal. Wallhu a’lam[]
2 tahun yang lalu
English (US) ·
Indonesian (ID) ·