
Oleh: Windi Saputri (Kader IMM)
KHITTAH. CO – Secara historis, pendapat Islam Berkemajuan merupakan tawaran Muhammadiyah sebagai corak Islam yangg rasional, inklusif, berbasis pengetahuan pengetahuan, dan responsif terhadap tantangan zaman. Gagasan ini lahir dari kesadaran bahwa umat Islam tidak boleh terus berada di posisi tertinggal dalam percaturan global, baik dalam bagian pendidikan, ekonomi, maupun kebudayaan. Islam Berkemajuan dimaksudkan sebagai proyek peradaban, ialah menghadirkan wajah Islam yangg mencerahkan, ramah pada keberagaman, sekaligus tegas dalam menolak praktik kejumudan berpikir. Dalam bingkai inilah pendapat tersebut memuat cita-cita besar tentang transformasi sosial, pemberdayaan umat, serta pembebasan dari belenggu keterbelakangan.
Dalam konteks Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), pendapat Islam Berkemajuan kerap dijadikan sebagai semangat ideologis yangg terus digaungkan dalam beragam ruang diskusi, media sosial, hingga orasi para pemimpin. Ia seolah menjadi identitas tunggal perjuangan IMM sekaligus menunjukkan kedekatan dengan garis pemikiran Muhammadiyah. IMM sebagai organisasi mahasiswa yangg lahir dari rahim Muhammadiyah tentu mempunyai beban moral dan ideologis yangg cukup besar. Ia diharapkan bisa menjadi wadah untuk melahirkan kader intelektual yangg militan, berintegritas, dan punya visi keumatan. IMM juga dituntut melahirkan pemimpin masa depan yangg tidak sekadar fasih mengulang jargon, melainkan betul-betul bisa mengartikulasikan pendapat Islam Berkemajuan menjadi arah mobilitas sosial, politik, dan keumatan.
Salah satu pondasi utama IMM adalah proses kaderisasi. Kaderisasi adalah jantung gerakan, namun sering kali jantung itu berdebar lemah lantaran tersumbat oleh praktik strukturalisme. Forum yangg sejatinya menjadi ruang dialektika buahpikiran dan pembentukan karakter ideologis justru sering dipersempit menjadi agenda seremonial belaka. Pertanyaan mendasar kemudian muncul: Apakah kaderisasi IMM hari ini tetap melahirkan intelektual organik yangg berpihak pada rakyat dan bisa mentransformasikan realitas? Ataukah dia hanya menjadi mesin pencetak pejabat organisasi yangg fasih beretorika, namun miskin praksis dan jauh dari pedoman sosial?
IMM perlu merefleksikan kembali arah kaderisasinya dengan menegaskan bahwa proses itu tidak boleh kehilangan ruh sebagai ruang penguatan ideologi, pembentukan karakter intelektual, sekaligus spiritual. Setiap kader kudu bisa memaknai proses ideologis sebagai pembentukan nilai, bukan sekadar anak tangga untuk menaiki jenjang struktural. Jika proses kaderisasi kandas menghadirkan makna, maka organisasi hanya bakal menghasilkan kader yangg sibuk mencari posisi, bukan pemimpin yangg membawa gagasan. IMM kudu menjadi lokomotif pembaruan, bukan sekadar pengulang jargon. Pemimpin-pemimpin yangg dilahirkan tidak boleh berakhir pada jabatan, melainkan datang sebagai tokoh sosial yangg membawa pengaruh nyata di tengah masyarakat. Dengan begitu, semangat Islam Berkemajuan bisa betul-betul tumbuh dalam tubuh IMM, bukan untuk style alias pencitraan, melainkan untuk membebaskan umat dari ketertinggalan, kebodohan, dan ketidakadilan.
Islam Berkemajuan pada hakikatnya mengajarkan inklusivitas, rasionalitas, dan keberpihakan pada kemanusiaan. Namun, dalam praktik kepemimpinan IMM kita tetap sering menyaksikan dinamika yangg justru bertolak belakang. Di beragam tingkatan kepemimpinan, tidak jarang muncul bentrok internal yangg lebih bernuansa pragmatis daripada ideologis. Suara-suara kritis kerap dipandang sebagai ancaman, bukan kontribusi. Bahkan, dalam beberapa kasus, kepentingan struktural dan kekuasaan golongan tertentu lebih menonjol dibandingkan diskursus substantif mengenai nilai keislaman, keumatan, ataupun keilmuan.
Di sinilah letak paradoksnya. IMM berulang kali menggaungkan semboyan Islam Berkemajuan, tetapi tetap terjebak dalam pola kepemimpinan yangg konservatif, eksklusif, dan hierarkis. Padahal, jika Islam Berkemajuan dimaknai sungguh-sungguh, dia semestinya mendorong pendemokrasian internal, membuka ruang partisipasi yangg lebih luas, serta mengakui kritik sebagai corak kasih sayang terhadap organisasi. Kritik semestinya dibaca sebagai tanda hidupnya intelektualisme dalam tubuh IMM, bukan sebagai gangguan terhadap kenyamanan status quo.
Oleh lantaran itu, IMM kudu berani memaknai ulang kepemimpinannya dan menengok kembali akar ideologis gerakan, bukan sebagai beban sejarah, melainkan sebagai sumber daya moral dan intelektual. Kepemimpinan IMM kudu lahir dari kesadaran intelektual dan spiritual, bukan dari kompromi pragmatis. Ia kudu mendorong kaderisasi yangg mengasah kemandirian berpikir, bukan sekadar melatih loyalitas struktural.
IMM mesti datang dengan aktivitas yangg menyasar masyarakat akar rumput, bukan sekadar mengulang agenda seremonial. Kepemimpinan di IMM semestinya membawa gagasan, bukan sekadar mengamankan posisi. Pemimpin IMM perlu tumbuh dari proses panjang, dari ruang dialektika, dari hubungan sosial, dan dari keberanian menantang arus. Ia kudu mempunyai kesediaan untuk dikritik, keahlian untuk mendengar, dan kemauan untuk berubah. Dibutuhkan keberanian untuk berpikir berbeda, bertindak progresif, dan konsisten dalam memihak nilai-nilai kemanusiaan. Kita jelas tidak berada di jalur yangg betul jika hanya mengulang narasi tanpa ada pembenahan sistemik.
Yang paling penting, kita butuh pemimpin yangg menyadari bahwa kekuasaan dalam organisasi bukanlah tujuan akhir, melainkan amanah untuk membumikan nilai-nilai Islam yangg mencerahkan. Kepemimpinan IMM masa depan kudu melampaui simbol dan kembali pada nilai-nilai yangg bisa menjembatani pendapat serta gerakan. Hanya dengan langkah itu IMM bisa menjadi pilar krusial dalam transformasi umat dan bangsa, sekaligus membuktikan bahwa Islam Berkemajuan bukan sekadar mitos retoris, tetapi realitas praksis yangg hidup di tengah masyarakat.
3 minggu yang lalu
English (US) ·
Indonesian (ID) ·