Suara tangis adik bungsu saya di seberang telepon tetap terngiang. Di tahun pertamanya di pondok pesantren, dia justru pulang dengan luka yangg tidak terlihat: dia menjadi sasaran bullying (perundungan) lantaran dianggap “berbeda” oleh teman-temannya. Percakapan pilu itu, yangg kemudian bersambung dengan obrolan mendalam berbareng Mama dan kakak saya, bukanlah cerita unik. Ia adalah potret nyata dari ribuan anak Indonesia yangg setiap hari berjuang dalam sunyi, menghadapi bentakan sistem sosial yangg menuntut keseragaman dalam sekolah ramah.
Indonesia sebenarnya telah mempunyai payung norma mutakhir untuk melindungi mereka: Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Satuan Pendidikan. Regulasi ini merupakan langkah progresif, dengan cakupan yangg lebih rinci dibanding pendahulunya. Namun pertanyaannya: sudahkah kebijakan yangg tertulis rapi di atas kertas itu diterjemahkan menjadi ruang kelas yangg manusiawi—yang bisa melindungi dan merayakan karakter setiap individu?
Pengalaman kami mengenai adik bungsu yangg terkena perundungan menunjukkan bahwa lembah antara kebijakan dan realitas tetap menganga. Kebijakan, sekelas apa pun, sering kali baru menjadi tubuh tanpa jiwa jika implementasinya hanya sekadar memenuhi administratif. nan dibutuhkan adik saya dan mungkin juga anak-anak lainnya, bukan hanya prosedur penanganan, tetapi lingkungan sekolah ramah yangg proaktif membangun budaya empati: sebuah ekosistem di mana perbedaan tidak lagi dilihat sebagai ancaman, melainkan kekayaan.
Menguji Implementasi Permendikbudristek No. 46/2023
Permendikbudristek No. 46/2023 sebenarnya sudah cukup komprehensif. Ia mewajibkan satuan pendidikan membentuk Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan, menyelenggarakan program pencegahan, serta mempunyai prosedur penanganan yangg jelas. Namun, kajian terhadap tiga titik kritis ini mengungkap celah yangg sering membikin anak seperti adik saya “terjatuh” di antara retakan-retakan sistem.
- Dari Reaktif Menuju Proaktif: Perlunya Kurikulum Hati Nurani
Kebijakan ini dalam pelaksanaannya tetap berisiko menjadi perangkat yangg reaktif—optimal bekerja setelah laporan kekerasan masuk. Padahal akar perundungan adalah prasangka dan ketidakmampuan mengelola perbedaan. Di sinilah kita memerlukan lompatan dari sekadar policy menuju pedagogy. Integrasi social and emotional learning (Pembelajaran Sosial dan Emosional/SEL) ke dalam kurikulum inti bukan lagi pilihan, melainkan keharusan. Anak-anak perlu diajarkan secara sistematis tentang empati, izin emosi, dan keahlian komunikasi positif. Ini adalah “vaksin sosial” yangg mencegah “virus” perundungan sejak awal. - Guru: Dari Penjaga Peraturan Menuju Fasilitator Keberagaman
Permendikbudristek No. 46/2023 membebankan tanggung jawab besar pada pembimbing dan Tim Pencegahan. Namun, apakah mereka telah dilatih untuk menangani kompleksitas psikologis korban perundungan? Atau memfasilitasi perbincangan tentang perbedaan—seperti pengalaman saya yangg dianggap “aneh” di sekolah lantaran mempunyai referensi salat yangg berbeda sebagai family Muhammadiyah, alias pengalaman mendiskusikan sabda misoginis di usia belia lantaran diperkenalkan oleh Prof. Dr. Musdah Mulia? Sering kali, belum. Pelatihan pembimbing kudu ditingkatkan dari sekadar memahami prosedur menjadi bisa menciptakan ruang kondusif psikologis di kelas—tempat setiap karakter diterima, bukan dicurigai. - Mengatasi Akar Masalah: Ketakutan bakal “Yang Aneh”
Kebijakan kerap konsentrasi pada kekerasan bentuk dan verbal yangg kasat mata, tetapi sering kandas menangkap corak perundungan yangg lebih halus: pengucilan, pelabelan, dan isolasi sosial—persis seperti yangg dialami adik bungsu saya. Label “aneh” adalah peledak waktu bagi kesehatan mental. Kebijakan yangg efektif kudu secara definitif mendorong program yangg merayakan keragaman, seperti proyek kelas tentang tokoh-tokoh unik dalam sejarah, alias obrolan terbuka tentang latar belakang family dan kepercayaan yangg berbeda. Ini langkah sistematis melawan stigma terhadap “yang lain”.
Sekolah Ramah: Kebijakan dan Kemanusiaan Berpelukan
Bayangkan jika sekolah ramah adik bungsu saya tidak hanya mempunyai tim pencegahan yangg siap menindak, tetapi juga mempunyai kultur yangg dibangun untuk mencegah. Seandainya ada pembimbing yangg terlatih membaca gejolak emosi siswa dan bisa membujuk kelas berbincang tentang indahnya perbedaan, mungkin tangis adik saya bakal berganti cerita tentang sungguh menariknya teman-teman barunya.
Merangkul karakter diri bukan lagi sekadar nasihat keluarga, tetapi kudu menjadi jiwa dari kebijakan pendidikan kita. Permendikbudristek No. 46/2023 adalah kerangka yangg bagus sekarang kudu kita isi dengan nyawa. Tugas kita berbareng pemerintah, sekolah, orang tua, dan masyarakat adalah memastikan setiap anak tidak perlu lagi menjadi pahlawan yangg berjuang sendirian melawan arus keseragaman.
Kepada semua pihak yangg terlibat, mari wujudkan kebijakan ini menjadi tindakan nyata. Mari ubah satuan pendidikan dari sekadar tempat belajar menjadi tempat tumbuh: tempat setiap “keanehan” justru disambut sebagai potensi unggulan untuk masa depan Indonesia yangg lebih inklusif dan berkarakter.
Model Sekolah Ramah dari Muhammadiyah
Sebenarnya, Indonesia tidak perlu jauh-jauh mencari model ideal untuk sistem pendidikan yangg humanis dan inklusif. Jejaknya sudah ada dalam praktik pendidikan sekolah ramah yangg diwariskan oleh K.H. Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah.
Pertama, semangat egaliter. Sejak 1911, Muhammadiyah mendobrak tradisi dengan mendirikan sekolah untuk semua kalangan, termasuk wanita melalui organisasi ‘Aisyiyah. Ruang kelas dirancang untuk memutus mata rantai feodalisme, menempatkan semua siswa setara di hadapan ilmu. Semangat ini adalah senjata efektif melawan perundungan yangg sering lahir dari rasa superioritas berbasis latar belakang sosial alias ekonomi.
Kedua, metode pedagogis yangg revolusioner. Ahmad Dahlan dikenal dengan metode pembelajaran aktif dan praktis. Beliau tidak hanya mengajar di kelas, tetapi membawa murid-muridnya langsung ke masyarakat untuk mengasuh anak yatim dan membersihkan lingkungan. Dalam konteks kekinian, semangat ini dapat diwujudkan melalui program Kelas Khidmah model kerjasama lintas latar belakang untuk menyelesaikan masalah nyata di komunitas. Program semacam ini secara alamiah membangun empati dan mengikis prasangka akar perilaku perundungan.
Ketiga, komitmen pada logika dan dialog. Muhammadiyah lahir sebagai aktivitas pembaruan yangg mendorong pemahaman Islam yangg logis dan terbuka. Ini menciptakan budaya di mana perbedaan pendapat. Bahkan dalam perihal keagamaan, didiskusikan dengan sehat, bukan dijadikan argumen untuk mencaci. Sekolah-sekolah Muhammadiyah modern dapat menguatkan warisan ini dengan melatih pembimbing sebagai penyedia perbincangan antarpemikiran, sehingga ruang kondusif tercipta bagi siswa seperti saya yangg hafal referensi salat “berbeda” alias tertarik pada kajian-kajian “tidak biasa”—agar merasa diterima dan penasaran ilmiahnya dihargai.
Dengan merujuk ke akar sendiri, penerapan Permendikbudristek No. 46/2023 dapat memperoleh jiwa dan konteks kultural yangg kuat. Kebijakan itu bukanlah arsip “impor”, melainkan penguatan umum atas nilai-nilai luhur pendidikan sekolah ramah yangg sudah dipraktikkan para tokoh bangsa kita.
Editor: Assalimi
1 minggu yang lalu
English (US) ·
Indonesian (ID) ·