Stop MBG, Selamatkan Anak Bangsa!
INFOMU.CO | Medan – Farid Wajdi, Founder Ethics of Care/Anggota Komisi Yudisial 2015-2020 meminta agar program MBG di Stop. Perminyaan penyetopan dikarenakan gelombang keracunan massal akibat Program Makan Bergizi Gratis (MBG) sekarang menjelma dari kejadian sporadis menjadi tragedi kebijakan publik berskala nasional. Korban terus bertambah—lebih dari 9.000 anak dilaporkan jatuh sakit di beragam daerah, dari Sumatera hingga Sulawesi. Laporan demi laporan menunjukkan pola yangg seragam: anak-anak tumbang setelah menyantap makanan yangg semestinya menyehatkan mereka. Ironi ini bukan hanya mengguncang nurani publik, tetapi juga menggugat logika sehat dan tanggung jawab negara terhadap warganya yangg paling rentan.
Kementerian Kesehatan memang telah menetapkan sejumlah wilayah sebagai Kejadian Luar Biasa (KLB). Namun langkah itu terasa seperti tambal sulam administratif yangg datang terlambat. Pemerintah berkilah penetapan KLB tidak otomatis menghentikan program secara nasional—seolah mau menegaskan “program unggulan negara” tak boleh terganggu oleh kejadian yangg disebut “lokal.” Padahal, ketika ribuan anak menjadi korban, istilah “lokal” kehilangan relevansi moral dan logika kebijakan. Ini bukan lagi persoalan teknis, melainkan kegagalan sistemik yangg menuntut pertimbangan menyeluruh. Skala penderitaan ini sudah cukup untuk menekan tombol jeda: moratorium nasional MBG adalah langkah paling masuk akal, rasional, dan terhormat sebelum korban bertambah.
Niat Baik, Eksekusi Buruk
Farid Wajdi mengatakan, tak ada yangg meragukan niat baik di kembali program MBG. Visi menekan nomor stunting, memperbaiki gizi anak sekolah, dan menutup kesenjangan nutrisi jelas mulia. Namun niat baik tanpa kesiapan hanya melahirkan kebijakan sembrono. Negara tidak boleh memperlakukan jutaan anak sebagai bahan uji coba kebijakan yangg belum matang.
Peluncuran MBG dilakukan dengan gegap gempita, namun tanpa kesiapan logistik yangg kuat, tanpa uji pengedaran yangg layak, dan tanpa pengawasan mutu yangg ketat. Di banyak daerah, dapur umum dikelola seadanya, bahan makanan disimpan di tempat tak higienis, dan pengedaran dilakukan tanpa rantai dingin. Akibatnya, niat memberi gizi justru berubah menjadi pandemi penyakit. Kebijakan yangg semestinya melindungi anak-anak malah menjadi ancaman dalam seragam kebajikan.
Ombudsman Republik Indonesia apalagi menyebut kondisi ini sebagai “darurat MBG”—istilah yangg semestinya mengguncang kesadaran publik dan pemerintah. Namun setiap hari yangg berlalu tanpa koreksi berfaedah satu hari tambahan bagi potensi korban baru. Pertanyaan publik sekarang menggigit nurani: apakah 9.000 anak sakit belum cukup untuk menghentikan program ini sementara? Atau negara kudu menunggu korban jiwa agar sadar sistem ini abnormal sejak perencanaan?
Dari Kegagalan Teknis ke Pelanggaran Hak
Lambannya respon pemerintah sekarang tak bisa lagi dianggap sekadar kelalaian teknis, melainkan telah masuk wilayah pelanggaran kewenangan asasi manusia. Dalam perspektif kewenangan atas kesehatan, pembiaran terhadap akibat yangg sudah diketahui adalah corak negligensi negara (state negligence). Bila pemerintah tahu rantai pasok rawan, tetapi tetap melanjutkan program tanpa koreksi berarti, maka tanggung jawab moral dan norma tak terelakkan.
” Anak-anak bukan nomor statistik dalam laporan pembangunan, melainkan penduduk negara yangg kewenangan hidup dan kesehatannya dijamin konstitusi. Karena itu, moratorium nasional MBG bukan tanda kegagalan politik, tetapi tindakan etis untuk menyelamatkan generasi muda,” sebut Farid. Untuk itu, pemerintah perlu membentuk audit independen atas seluruh rantai pengadaan, produksi, dan pengedaran makanan, melibatkan lembaga nonpemerintah dan masyarakat sipil. Publik berkuasa tahu di mana letak keretakan sistem yangg semestinya menjaga anak-anak mereka tetap sehat.
Jeda Bukan Kekalahan
Farid Wajdi menegaskan, tragedi MBG adalah cermin buram tata kelola pemerintahan: ketika ambisi politik menyalip kehati-hatian, dan pencitraan dianggap lebih krusial dari keselamatan rakyat. Ini bukan sekadar soal makanan basi, melainkan tentang negara yangg kehilangan empati terhadap penderitaan penduduk kecilnya.
Tugas negara bukan mempertahankan program, melainkan melindungi rakyat. Air mata, belasungkawa, alias janji perbaikan tidak cukup. Jika keselamatan anak-anak belum bisa dijamin, maka menghentikan MBG sementara adalah keputusan paling waras, paling berani, dan paling manusiawi. Dalam bumi kebijakan publik, jarak bukan kekalahan—ia adalah corak keberanian moral untuk menyelamatkan nyawa, lanjut Farid. (***)
3 minggu yang lalu
English (US) ·
Indonesian (ID) ·