Keracunan MBG: Pelanggaran HAM yangg Dikecilkan?
Pernyataan Menteri HAM Natalius Pigai yangg menegaskan kasus keracunan massal dalam program Makan Bergizi Gratis (MBG) “tidak melanggar HAM” menimbulkan perdebatan serius. Alih-alih meredakan kegaduhan, justru membuka ruang pertanyaan: benarkah kejadian itu hanya sekadar masalah teknis manajemen, alias ada kelalaian negara yangg menyentuh ranah kewenangan asasi manusia?
Pigai berdasar pelanggaran HAM hanya terjadi jika ada unsur kesengajaan, rancangan sistemik, alias kelalaian berat. Menurutnya, keracunan yangg terjadi hanyalah akibat “human error”: kesalahan dapur, penyimpanan makanan, alias pengedaran yangg buruk. Dengan dalih ini, dia menolak mengkategorikan kejadian tersebut sebagai pelanggaran HAM. Argumen ini memang tampak rapi secara norma positif, namun sesungguhnya menyisakan problem serius dalam langkah pandang negara terhadap kewenangan dasar warganya.
Pertama, Pigai mereduksi pelanggaran HAM hanya pada kategori berat: genosida, pembunuhan sistematis, penyiksaan, alias tindakan represif yangg disengaja. Padahal, kewenangan asasi tidak berakhir di sana. Hak atas kesehatan, kewenangan atas kehidupan, kewenangan atas jasa publik yangg kondusif dan bermartabat, semuanya dijamin dalam konstitusi dan instrumen HAM internasional. Jika negara kandas memastikan makanan yangg didistribusikan kepada rakyatnya aman, dan kegagalan itu menimbulkan korban sakit apalagi nyawa, gimana mungkin itu tidak menyentuh ranah HAM? Menganggapnya hanya kesalahan teknis sama saja dengan mengabaikan penderitaan korban dan meremehkan tanggungjawab negara.
Kedua, dalih Pigai menggunakan nomor persentase korban yangg kecil—“hanya 0,0017%”—sangat problematis. Dalam logika HAM, tidak ada korban yangg bisa dipandang remeh. Satu nyawa tetaplah satu nyawa, satu tubuh yangg diracuni tetaplah pelanggaran terhadap kewenangan kesehatan. Relativisasi korban dengan matematika dingin hanyalah strategi retoris yangg menutup mata terhadap kebenaran fundamental: negara kandas melindungi kewenangan warganya. Mengukur penderitaan manusia dengan kalkulasi statistik adalah tanda abdi negara lebih sibuk menjaga gambaran daripada menghormati martabat manusia.
Ketiga, Pigai tampaknya menafikan dimensi kelalaian negara. Ia hanya menyasar unsur “by design”, seakan pelanggaran HAM baru lahir jika ada niat jahat yangg terstruktur. Padahal dalam doktrin HAM, kelalaian serius negara—omission—sudah cukup menjadi dasar tanggung jawab. Negara punya tanggungjawab positif untuk memastikan standar keamanan pangan terpenuhi. Jika sistem pengawasan makanan longgar, kontraktor dipilih tanpa seleksi ketat, alias pengedaran dilakukan sembarangan, maka kegagalan itu adalah kelalaian negara. Dan kelalaian negara yangg menimbulkan korban adalah corak pelanggaran kewenangan dasar.
Keempat, pernyataan Pigai terasa prematur, apalagi menutup kemungkinan investigasi objektif. Komnas HAM sudah menyatakan sedang menyelidiki kasus ini. Namun Menteri HAM buru-buru mengunci tafsir: “tidak ada pelanggaran HAM.” Pernyataan ini bisa membelenggu ruang penyelidikan, alias lebih buruk, menjadi tameng politik untuk menutupi kelemahan program pemerintah. Bukankah semestinya seorang menteri HAM berpihak pada korban, bukan pada pembenaran birokrasi?
Refleksi kritis dari kasus ini adalah: negara sering kali sibuk memihak program populisnya, tapi abai ketika nyawa rakyat tergadaikan. Publik seakan dipaksa percaya bahwa keracunan ratusan anak hanyalah kecelakaan teknis belaka. Padahal, peristiwa itu mencerminkan absennya standar, lemahnya pengawasan, dan minimnya tanggung jawab. Hak anak atas gizi dan kesehatan dilanggar, tapi pejabat berupaya menggeser rumor agar sekadar menjadi “kesalahan dapur.”
Kasus MBG mestinya menjadi sirine keras. Negara kudu berakhir mempermainkan arti HAM demi kepentingan politik. Korban keracunan berkuasa atas perlindungan, pemulihan, dan agunan tidak terulang kembali. Jika peristiwa ini dikecilkan, sedang ada upaya menormalisasi pendapat berbahaya: nyawa rakyat boleh dihitung dengan persentase, penderitaan hanya sah disebut pelanggaran jika masif dan sistematis. Padahal, HAM berdiri di atas penghormatan terhadap setiap individu.
Di sinilah letak ironi pernyataan Pigai: seorang menteri yangg semestinya menjadi garda depan pembela HAM justru menjadi bunyi terkeras yangg menolak melihatnya. Bukan hanya salah tafsir, melainkan juga kegagalan moral. Hakikat HAM bukan menunggu musibah besar untuk diakui, melainkan memastikan setiap manusia, sekecil apapun jumlahnya, dilindungi dari kelalaian negara.
Farid Wajdi
Founder Ethics of Care/Anggota Komisi Yudisial 2015-2020
3 minggu yang lalu
English (US) ·
Indonesian (ID) ·