Buya Syafii: Koma–Titik adalah Penentu Bangunan Peradaban - MuhammadiyahNews.com

Sedang Trending 1 minggu yang lalu

Pendahuluan

Buya Ahmad Syafii Maarif merupakan salah satu ahli filsafat besar Indonesia yangg menempatkan kebijaksanaan, moralitas, dan intelektualitas serta moderasi pemikiran dalam satu tarikan nafas yangg utuh. Di antara ungkapan reflektif beliau yangg sangat simbolik adalah: “Koma dan titik dalam kalimat adalah penentu gedung peradaban.”

Ungkapan ini tidak sekadar metafora linguistik, melainkan ekspresi filosofis tentang keteraturan berpikir, disiplin intelektual, dan moralitas ilmu. Melalui simbol sederhana koma dan titik, Buya Syafi’i mengingatkan bahwa peradaban tidak lahir dari kebisingan wacana, tetapi dari ketertiban berpikir dan ketepatan dalam menyimpulkan.

Apa itu Koma–Titik?

Dalam tata bahasa, koma (,) berfaedah sebagai tanda jarak yangg menandakan kesinambungan, sedangkan titik (.) menandakan akhir suatu pernyataan. Namun dalam refleksi Buya Syafii, keduanya bukan sekadar tanda baca teknis, melainkan simbol epistemologis dan moral.

Koma adalah ruang perenungan—tempat berpikir sebelum bertindak. Titik adalah penegasan sikap—keputusan setelah perenungan matang. Koma mengajarkan kehati-hatian intelektual, sedangkan titik mengajarkan ketegasan moral. Keduanya menjadi simbol keseimbangan antara kontemplasi dan komitmen, antara hikmah dan keberanian moral.

Koma–Titik dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Arab

Dalam Bahasa Indonesia, koma dan titik adalah tanda baca yangg mengatur struktur kalimat agar logis, sistematis, dan mudah dipahami. Keduanya berfaedah dalam kerangka rasional-linguistik yangg menekankan aspek keteraturan dan kesesuaian makna antarfrasa.

Bahasa Indonesia, sebagai turunan tradisi Latin, menggunakan koma dan titik untuk menciptakan kesatuan logika naratif — seperti dalam karya ilmiah dan sastra.

Sebaliknya, dalam bahasa Arab klasik, sistem tanda baca (العلامات الترقيمية) berkembang belakangan, setelah pengaruh modernitas dan percetakan Eropa. Sebelumnya, struktur kalimat Arab berjuntai pada nahwu (struktur gramatikal) dan balāghah (keindahan retorika) tanpa menggunakan tanda baca modern.

Oleh karena itu, dalam bahasa Arab, jarak dan penegasan (fungsi koma dan titik) ditentukan oleh makna dan irama bahasa (ta’līl ma‘nawī wa lahn lughawī), bukan simbol visual.

Perbedaan epistemologisnya adalah:

* Bahasa Indonesia: koma–titik berfaedah logis dan visual — membantu keteraturan berpikir eksplisit.

* Bahasa Arab: jarak dan titik berfaedah semantik dan fonetik  — menuntut kedalaman pemahaman makna.

Dengan demikian, tradisi Arab menekankan rasa bahasa dan intuisi makna, sementara tradisi Indonesia menekankan struktur berpikir dan disiplin ekspresi.

Buya Syafii membujuk kita menggabungkan keduanya — ketertiban berpikir dan kedalaman makna — agar bahasa menjadi cermin logika dan nurani.

Fungsi Koma–Titik

Koma dan titik mempunyai dua lapis fungsi: linguistik dan filosofis.

1. Fungsi Linguistik dalam Bahasa Indonesia dan Arab

Dalam Bahasa Indonesia:

* Koma (,) berfaedah memisahkan unsur-unsur sejenis, anak kalimat, alias pengantar logis. Ia menjaga keteraturan dan kejelasan argumen.

* Titik (.) menandai akhir pernyataan, menegaskan konklusi alias keputusan makna.

Dalam Bahasa Arab:

* Tanda serupa koma dikenal sebagai الفاصلة (,) dan titik sebagai النقطة (.), tetapi penggunaannya tidak selalu wajib.

* Fungsi jarak dan penegasan sering digantikan oleh wa (و) dan fa’ (ف) yangg menyambung logika sebab-akibat alias kelanjutan makna.

* Dalam teks klasik seperti al-Qur’an, pemisahan makna dilakukan dengan waqf (tanda berhenti) seperti مـ (harus berhenti) dan ج (boleh berhenti).

Hal ini menunjukkan bahwa dalam tradisi Arab, kegunaan koma–titik berkarakter semantik dan spiritual, sedangkan dalam tradisi Indonesia lebih berkarakter logis dan sintaktis.

2. Fungsi Epistemik dan Etis

Dalam pandangan Buya Syafii Maarif:

* Koma mengajarkan tadabbur (perenungan) — berpikir sebelum berbicara, menimbang sebelum memutuskan.

* Titik mengajarkan thabīt (keteguhan) — menegakkan keputusan dengan tanggung jawab moral dan intelektual.

Koma tanpa titik melahirkan ketidaktegasan; titik tanpa koma melahirkan kesombongan intelektual. Keduanya kudu bersinergi agar pengetahuan melahirkan kebijaksanaan, bukan sekadar informasi.

Relasi Koma–Titik dengan Peradaban Ilmu

Peradaban ilmu berdiri di atas tiga pilar: disiplin berpikir, kejujuran ilmiah, dan ketertiban moral. Ketiganya tercermin dalam metafora koma–titik.

Koma melatih kesabaran akademik, titik menegaskan objektivitas ilmiah. Tanpa keduanya, pengetahuan kehilangan arah — menjadi sekadar wacana yangg bising tanpa ruh.

Buya Syafii menegaskan bahwa bangsa yangg beradab adalah bangsa yangg “mengetahui kapan kudu berakhir dan kapan kudu menegaskan.”

Inilah akar etik peradaban ilmu: keseimbangan antara kebebasan berpikir dan tanggung jawab moral — sebuah prinsip yangg juga sejalan dengan aliran Islam tentang ‘adl (keadilan) dan hikmah (kebijaksanaan).

Penutup

Koma dan titik adalah simbol mini dari disiplin besar berjulukan peradaban ilmu. Ketika bangsa tergesa tanpa koma — dia kehilangan perenungan.

Ketika bangsa takut menetapkan titik — dia kehilangan arah moral. Keduanya kudu datang berbarengan agar bahasa menjadi cermin pikiran, dan pikiran menjadi cermin peradaban.

Buya Syafii Maarif, melalui perumpamaan sederhana ini, sesungguhnya sedang membangun etika intelektual bangsa. Ia menegaskan:

“Peradaban besar tidak lahir dari banyaknya kata, tetapi dari ketepatan menempatkan koma dan titik”.

Salah menempatkan koma–titik bukan sekadar kesalahan tata bahasa, tetapi kekeliruan epistemologis yangg menghancurkan tertib berpikir dan nilai pengetahuan itu sendiri. Maka menjaga koma dan titik adalah menjaga peradaban pengetahuan dan logika sehat bangsa.

Editor: Soleh

-->
Sumber ibtimes.id
ibtimes.id