Oleh: Nardi SThI MPd
Politik sering identik dengan kekuasaan. Artinya, politik dan kekuasaan ibaratkan dua sisi mata duit nan tak bisa dipisahkan. Bicara soal politik seorang master politik Barat Harold Lasswell memberikan arti konseptual. Ia mengatakan “politik adalah aktivitas masyarakat nan berkisar pada “siapa mendapatkan apa, kapan, dan bagaimana” (who gets what, when, and how).” (Amin Rais, Suksesi & Keajaiban Kekuasaan: 1997).
Konsep politik ala Lasswell di atas dalam konteks diskursus tidak sepenuhnya salah, lantaran memang dalam realitasnya politik selalu berkisar pada siapa untuk mendapatkan apa nan diinginkannya meski kudu melakukan cara-cara di luar landasan etik. Peristiwa politik memang sarat dengan hal-hal seperti di atas. Siapa nan mau menjadi personil parlemen, gubernur, bupati, presiden dan seterusnya senantiasa menarik untuk dianalisis. Kemudian kelompok-kelompok mana saja nan mendukung siapa tersebut. Hal ini menjadi bagian nan menyertainya dalam proses politik.
Definisi politik di atas pada akhirnya justru melahirkan politisi nan opurtunis, pragmatis, dan hedonis. Karena ghirah politiknya tidak lagi didasarkan pada niat nan tulus namun justru pada perebutan kekuasaan dengan beragam macam cara. Implikasinya translator arti politik tersebut memunculkan legitimasi perilaku nan menafikan nilai-nilai etis.
Akibatnya, elite politik nan berkuasa leluasa melakukan tindakan tak beradab seperti korupsi dan semacamnya lantaran gedung filosofi politiknya tidak ditegakkan di atas fondasi politik moral. Ada sesuatu nan lenyap dalam makna politik tersebut ialah kenapa dan untuk apa mereka berpolitik. Tujuan kenapa mereka berpolitik itulah sebenarnya nan wajib dijadikan pedoman dalam berpolitik.
Oleh karena itu, ruh ini kudu dikembalikan ke dalam jiwa para elite politik agar nantinya lahir para politisi nan berhati malaikat bukan berhati iblis. Maka dalam perspektif inilah perlu nan namanya kezuhudan dalam politik. Zuhud dalam berpolitik adalah variabel terpenting untuk menciptakan kondisi psikologis elite nan melahirkan konsep ideal dan menjauhkan dari sifat kerakusan diri.
Dalam perspektif zuhud politik para elite diharapkan mempunyai jiwa kesederhanaan. Diskursus sederhana dalam politik artinya para elite betul-betul menjalankan amanah konstitusi dengan mengedepankan kepentingan rakyat di atas kepentingan pribadi, golongan, dan partainya. Zuhud dalam berpolitik bakal bisa meredam nomor korupsi lantaran para elite tidak lagi tertarik untuk melakukan tindakan melawan norma seperti korupsi dan tindakan lainnya nan dapat merugikan rakyat dan negara.
Seseorang nan mempunyai jiwa asketisme bakal bisa menempatkan orang lain di atas kepentingannya sendiri. Terutama rakyat nan semestinya diperjuangkan kesejahterannya sehingga tidak ada lagi nan namanya kemiskinan di republik ini.
Kita mafhumi, bahwa dalam teori-teori sosial banyak disebutkan bahwa kelangsungan sebuah bangsa sangat dipengaruhi oleh kondisi dan moralitas lapisan elite-nya. Jika lapisan elite itu baik, dalam makna mempunyai integritas moral, visi dan kompetensi dalam melaksanakan tugas serta mempunyai empati sehingga dipercaya rakyatnya, maka besarlah angan masa depan bangsa tersebut. Sebaliknya bakal lenyap angan membangun masa depan nan lebih baik lantaran elite politik dan penguasanya beradab hazard, mementingkan diri sendiri, serta bersikap partisan (Zainuddian maliki, “Politikus Busuk”, Yokyakarta: 2004).
Jika teori ini benar, maka tentu saja angan kita untuk membangun bangsa ini menjadi lebih baik sangat minim mengingat saat ini para elite politik berkawan berkawan dengan budaya penyimpangan. Maka dengan adanya sifat-sifat kezuhudan dalam diri elite politik bakal menjadi control diri (self control) dalam menjalankan amanah konstitusi sehingga betul-betul memperhatikan kepentingan rakyat bukan memperkaya diri sendiri, kelompok, dan partainya.
Arogansi Kekuasaan
Kondisi bangsa sekarang sedang tidak baik-baik saja. Saat ini kita menyaksikan adanya persebaran rasa tidak percaya nan terus meluas kepada para pemimpin nan ditandai dengan semakin maraknya beragam aktivitas protes. Persoalannya bukan terletak pada masyarakat, tetapi pada perilaku elite penguasa. Saat ini kita tidak mempunyai apa nan disebut Fukuyama dengan the trusted leader tokoh nan bisa dipercaya lantaran integritas moral, visi dan kompetensinya dalam menyelesaikan tugas nan dibebankan kepundak mereka. Ketiadaan the trusted leader dalam komposisi elite politik dan penguasa di negeri ini, menjadikan masyarakat ibaratkan anak ayam kehilangan induknya.
Di tengah para pemimpin bergulat memperjuangkan kepentingan mereka sendiri, masyarakat mencoba sendiri dalam upaya mencari pemecahan setiap persoalan. Kehidupan masyarakat nan saat ini kian susah justru para elite penguasa menari di atas penderitaan ini. Pada saat nan sama, para penguasa mencoba berlomba-lomba untuk memanipulasi publik.
Kondisi saat ini masyarakat sedang berjuang mempertahakan hidup di tengah situasi sosial ekonomi nan carut marut. Ancaman resesi dunia menjadi hantu bagi masyarakat lantaran tentu saja bakal berimplikasi pada kehidupan masyarakat. Ancaman PHK terbayang di pelupuk mata. Belum lagi persoalan kebutuhan masyarakat nan semakin hari semakin meroket harganya.
Semua nilai bahan pokok naik, tidak hanya berakhir sampai disitu, selain harganya nan condong naik kelangkaan sering terjadi. Sehingga banyak emak-emak nan mengantri membeli sembako seperti deretan semut. Bangsa ini nan terkenal sebagai negara agraris justru seringkali terjadi kelangkaan bahan pangan. Bangsa nan menjadi urutan nomer satu penghasil sawit kelangkaan minyak terjadi di beragam tempat. Di tengah situasi nan tak menentu seperti ini para pejabat dan politikus justru sibuk melakukan pencitraan untuk melanggengkan kekuasaannya.
Hilangnya kepekaan moral para elite telah mengarah pada kecenderungan apa nan disebut oleh C. Wright Mills dengan the higher immorality ialah terjadinya persekongkolan immoralitas tingkat lanjut nan diyakini merupakan ancaman serius terhadap demokrasi. Sementara itu, memanipulasi opini publik, kekerasan antitrust dan norma nan berasosiasi dengan korupsi politik, juga dikategorikan Mills sebagai tindakan amoral. Juga perilaku power elite nan sengaja menciptakan krisis politik dan alias ekonomi.
Jadi, immoralitas yang dalam kamus berfaedah tindakan a-susila alias kemesuman nan dilihat Mills sudah pada tingkat lanjut itu tidak hanya digambarkan dalam corak prostitusi nan dilakukan power elite Amerika, tetapi lebih luas lagi dalam bentuk tindakan tanpa landasan etik, korupsi dan kadang-kadang melakukan praktik-praktik terlarangan secara sistematik dan terlembaga nan kemudian menodai demokrasi.
Konsep higher immorality-nya Mills seperti itu diungkapkan di sini, dimaksud untuk menyatakan sebuah harapan, jangan sampai opini bangsa ini dimanipulasi para elite pemegang kekuasaan negeri ini. Mereka menyatakan prodemokrasi, menegakkan pemerintahan nan baik dan bersih-good governence and clean government, mengutamakan ideologi pluralisme dan toleransi, tetapi dalam praktik mereka membangun tradisi KKN model baru, mudah tersinggung dengan perbedaan pendapat, dan tidak mengenal etika toleransi.
Mari kita kawal bangsa ini menjadi bangsa nan beradab, bermartabat, alim konstitusi dengan menjalankan undang-undang nan berlaku. Bukan sebaliknya memanipulasi konstitusi hanya untuk melanggengkan kekuasaan dan memperpanjang jabatan. Demokrasi kudu tetap dijaga agar perjalanan bangsa ini menjadi lebih baik ke depan. Wallahu a’lam bish showab. Fastabiqul khairat. (*)
Pemuda Muhammadiyah & anggota MPS Kenjeran