Warga RI Wajib Tabah, 2025 Bisa Jadi Tahun Petaka - MuhammadiyahNews.com

Sedang Trending 1 bulan yang lalu

Jakarta, InfoMu.co – Di tahun baru ini, penduduk RI sepertinya kudu bersabar. Sebab, 2025 kemungkinan besar bakal sangat menantang bagi penduduk Indonesia.

Sederet benda-benda diramalkan bakal naik dikarenakan sejumlah pungutan pajak baru. Tercatat ada beberapa perihal yangg bakal mengalami perubahan nilai lantaran kenaikan maupun perubahan kebijakan, seperti Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% khususnya untuk peralatan mewah, penambahan Objek Cukai Minuman Berpemanis Dalam Kemasan (MBDK), kenaikan iuran BPJS Kesehatan, potensi kenaikan nilai gas Elpiji, hingga potensi kenaikan nilai bahan bakar minyak (BBM).

Belum selesai di situ, ada penambahan lainnya ialah penerapan Iuran Pengelolaan Lingkungan (IPL) yangg bakal dikenakan PPN, penerapan tarif Kereta Rel Listrik (KRL) berbasis Nomor Induk Kependudukan (NIK) serta opsen pajak kendaraan bermotor.

Berikut daftar kenaikan yangg bakal terjadi di 2025.

1. PPN Naik Menjadi 12%

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati telah resmi menerbitkan peraturan yangg menjadi referensi pengenaan pajak pertambahan nilai (PPN) dengan tarif 12% bagi peralatan alias jasa yangg tergolong mewah.

Peraturan itu dia tetapkan dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 131 Tahun 2024. PMK 131/2024 ini dia tetapkan pada 31 Desember 2024 dan mulai bertindak pada 1 Januari 2025.

“Bahwa guna mewujudkan aspek keadilan di masyarakat perlu diterbitkan kebijakan dalam penerapan tarif Pajak Pertambahan Nilai,” dikutip dari bagian menimbang PMK 131/2024.

Skema pengenaan tarif PPN 12% dalam peraturan ini terbagi dua. Pertama adalah menggunakan dasar pengenaan pajak alias DPP berupa nilai jual alias nilai impor, sedangkan yangg kedua DPP berupa nilai lain. Skema ini dijelaskan dalam pasal 2 dan pasal 3 PMK tersebut.

Untuk skema pertama, dikhususkan atas impor peralatan kena pajak dan/atau penyerahan peralatan kena pajak (BKP) di dalam wilayah pabean oleh pengusaha yangg terutang PPN. PPN yangg terutang itu dihitung dengan langkah mengalikan tarif 12% dengan DPP berupa nilai jual alias nilai impor.

Adapun BKP dengan DPP berupa nilai jual alias nilai impor itu merupakan BKP yangg tergolong mewah berupa kendaraan bermotor dan selain kendaraan bermotor yangg dikenai pajak penjualan atas peralatan mewah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bagian perpajakan.

Sementara itu, untuk BKP yangg tidak tergolong peralatan mewah, skema pengenaan PPN terutangnya dihitung dengan langkah mengalikan tarif 12% dengan DPP berupa nilai lain. Nilai lain ini dihitung sebesar 11/12 dari nilai impor, nilai jual, alias penggantian.

Penting dicatat, dalam Pasal 5 peraturan ini disebutkan bahwa pengusaha kena pajak yangg melakukan penyerahan BKP kepada pembeli dengan karakter konsumen akhir, bakal bertindak dua ketentuan.

Ketentuan pertama, mulai 1 Januari 2025 sampai dengan 31 Januari 2025, PPN yangg terutang dihitung dengan langkah mengalikan tarif 12% dengan DPP berupa nilai lain sebesar 11/12 dari nilai jual.

Ketentuan kedua, mulai 1 Februari bertindak ketentuan PPN yangg terutang dihitung dengan DPP berupa nilai jual alias nilai impor.

2. Penambahan Objek Cukai, Minuman Berpemanis Dalam Kemasan (MBDK)

Tak hanya kenaikan PPN menjadi 12%, pengenaan cukai atas peralatan berpotensi bertambah di 2025. Adapun cukai baru yangg bakal dikenakan ialah cukai minuman berpemanis dalam bungkusan (MBDK).

Dalam Buku Nota II Keuangan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2025, rencananya objek MBDK bakal dikenakan cukai pada 2025. Kebijakan ekstensifikasi cukai secara terbatas pada (MBDK) dikenakan untuk menjaga kesehatan masyarakat.

Pemerintah mengusulkan sasaran penerimaan cukai sebesar tahun depan sebesar Rp 244,2 triliun alias tumbuh 5,9%. Pemerintah juga menargetkan peralatan kena cukai baru ialah minuman berpemanis dalam kemasan.

Usulan tersebut tertuang dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2025 serta dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) APBN 2025.

Dalam RUU pasal 4 ayat 6 disebutkan “Pendapatan cukai sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d dikenakan atas peralatan kena cukai meliputi:

a. hasil tembakau;

b. minuman yangg mengandung etil alkohol;

c. etil alkohol alias etanol;

d. minuman berpemanis dalam kemasan

Munculnya peralatan kena cukai baru ialah minuman berpemanis dalam bungkusan ini di luar dugaan mengingat pemerintah sebelumnya lebih gencar mewacanakan bakal mengenakan cukai pada plastik. Ketentuan cukai plastik apalagi sudah dimuat dalam APBN 2024.

“Pemerintah juga berencana untuk mengenakan peralatan kena cukai baru berupa Minuman Berpemanis Dalam Kemasan (MBDK) di tahun 2025. Pengenaan cukai terhadap MBDK tersebut dimaksudkan untuk mengendalikan konsumsi gula dan/ alias pemanis yangg berlebihan, serta untuk mendorong industri untuk mereformulasi produk MBDK yangg rendah gula,” tulis RAPBN 2025.

Cukai sebagai instrumen fiskal mempunyai kegunaan strategis, baik sebagai penghimpun penerimaan negara (revenue collector) maupun sebagai pengendali eksternalitas negatif.

Oleh lantaran itu, dalam setiap perumusan kebijakan tarif cukai, pemerintah perlu memperhatikan aspek-aspek yangg dikenal 4 Pilar Kebijakan ialah pengendalian konsumsi (aspek kesehatan), optimasi penerimaan negara, keberlangsungan industri, dan peredaran rokok ilegal.

Saat ini, pengenaan cukai baru atas terdiri tiga objek pengenaan ialah cukai hasil tembakau (rokok), etil alkohol (etanol), dan minuman yangg mengandung etil alkohol.

3. Iuran BPJS Kesehatan Berpotensi Naik

Iuran BPJS Kesehatan dikabarkan bakal naik pada 2025. Sebagaimana dikatakan Direktur Utama BPJS Kesehatan Ali Ghufron Mukti.

Ali Ghufron Mukti memberikan sinyal kenaikan besaran iuran itu hanya untuk kelas I dan II.

Kenaikan tarif iuran itu bakal diterapkan menjelang pemberlakuan kelas rawat inap standar (KRIS) mulai 30 Juni 2025, yangg diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 59 Tahun 2024.

Sementara itu, dia memastikan iuran peserta kelas III tidak bakal berubah lantaran peserta tersebut umumnya merupakan Peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI).

Sayangnya, Ghufron belum mengungkapkan kapan tepatnya besaran iuran BPJS Kesehatan bakal naik. Namun, dia memastikan kebijakan ini bakal diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres).

Dalam kesempatan ini, Ghufron juga menegaskan tarif iuran BPJS Kesehatan tidak bakal dibuat single tarif. Artinya, setiap kelas peserta bakal tetap bayar sesuai dengan porsinya.

4. Harga BBM Berpotensi Naik

Pemerintah berencana memangkas subsidi BBM pada tahun 2025 mendatang. Jika betul demikian, maka masyarakat kudu bersiap untuk kenaikan tarif BBM di tahun depan.

Rencana kebijakan ini terungkap dalam Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal Tahun 2025. Dalam arsip tersebut, pemerintah mendorong dilakukannya pengendalian kategori konsumen untuk BBM jenis Pertalite dan Solar.

Peningkatan konsumsi BBM ditambah nilai jual yangg berada di bawah nilai keekonomian mengerek beban subsidi dan kompensasi. Selain itu, penyaluran BBM Subsidi saat ini dinilai kurang tepat pasalnya lebih banyak dinikmati kebanyakan rumah tangga kaya.

Dengan pengendalian konsumen yangg berkeadilan, diperkirakan dapat mengurangi volume konsumsi Solar dan Pertalite sebesar 17,8 juta KL per tahun.

“Keseluruhan simulasi reformasi subsidi dan kompensasi daya ini diproyeksikan bakal menghasilkan efisiensi anggaran sebesar Rp 67,1 triliun per tahun,” demikian dikutip dari Dokumen Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal Tahun 2025, Jumat (24/5/2024) lalu.

5. Potensi Kenaikan Harga Gas LPG

Dalam RAPBN 2025 disebutkan jika subsidi LPG Tabung 3 Kg hanya mencapai Rp 87,6 triliun alias naik tipis 2,3% dari outlook 2024 sebesar Rp 85,6 triliun. Kenaikan tipis ini mengindikasikan adanya langkah pembatasan penerima.

Meski begitu, menurutnya perubahan skema subsidi gas melon ini diperkirakan baru bakal diuji coba pada akhir 2025 mendatang. Sehingga jika betul kelak skema pemberian subsidi diganti, langkan ini baru bisa melangkah pada 2026 mendatang.

Sebab nantinya pemberian subsidi LPG 3 kg ini bakal merujuk pada Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) untuk memastikan betul siapa penerima yangg berkuasa dan yangg tidak. Tentunya, jika subsidi gas Elpiji 3 kg dialihkan, maka ada potensi kenaikan nilai yangg cukup tinggi.

Diperkirakan nilai subsidi LPG 3 kg mengalami pembengkakan beberapa tahun ke depan. Sebab dugaan antara DPR dengan pemerintah menyetujui adanya peningkatan konsumsi LPG di Indonesia pada tahun 2025 mendatang.

6. IPL Apartemen Akan Dikenakan PPN

Ada berita jika Iuran Pemeliharaan Lingkungan (IPL) pada rumah susun dan apartemen bakal dikenakan PPN. Hal ini bermulai dari surat Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan wilayah Jakarta Barat mengenai sosialisasi pengelola apartemen.

Dari surat yangg diterima CNBC Indonesia, terpantau ada 19 apartemen yangg masuk ke dalam daftar undangan, mulai dari PSSRS Komersial Campuran Seasons City Jakarta, Apartemen Grand Tropic, Apartemen Menara Latumenten hingga Apartemen Maqna Residence.

Dalam surat tersebut, bakal dilakukan aktivitas sosialisasi PPN atas Jasa Pengelolaan/Service Charge kepada para pengelola apartemen oleh Kanwil DJP Jakarta Barat.

“Sehubungan dengan adanya aktivitas sosialisasi PPN atas Jasa Pengelolaan/Service Charge kepada para pengelola apartemen oleh Kanwil DJP Jakarta Barat, dengan ini kami mengundang Saudara untuk menghadiri aktivitas tersebut yangg bakal dilaksanakan pada hari, tanggal Kamis, 26 September 2024 waktu 09.00 s.d. selesai,” tulis undangan yangg ditandatangani secara elektronik oleh Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jakarta Barat Farid Bachtiar dikutip Rabu (25/9/2024).

Mengenai surat tersebut, Kalangan penunggu rumah susun dan apartemen keberatan. Ketua Umum Persatuan Perhimpunan Penghuni Rumah Susun Indonesia (P3RSI) Adjit Lauhatta menilai kebijakan itu tidak tepat lantaran banyak penghuninya merupakan kalangan menengah yangg saat ini daya belinya tengah terganggu.

Polemik pengenaan PPN untuk IPL menemui titik terang setelah Dewan Pengurus Pusat (DPP) Persatuan Perhimpunan Penghuni Rumah Susun Indonesia (P3RSI) berjumpa dengan pejabat Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak ialah Muh. Tunjung Nugroho, Kepala Subdirektorat Peraturan Pajak Pertambahan Nilai Perdagangan, Jasa, dan Pajak Tidak Langsung Lainnya di Kantor Ditjen Pajak, Jl. Gatot Subroto, Jakarta.

Kedua pihak membahas status dan aliran biaya IPL penduduk rumah susun/apartemen sampai akhirnya dibelanjakan.

Ketua P3RSI Adjit Lauhatta menyampaikan besaran IPL (per meter per segi) ditentukan dalam Rapat Umum Anggota (RUA) PPPSRS. Berapa biaya urunan (IPL) itu disesuaikan dengan rencana anggaran program kerja tahunan. Setelah itu baru berapa besaran IPL itu diputuskan. Jadi, sejak awal PPPSRS memang tidak cari untung dari IPL.

Dana IPL itu lampau ditampung dalam rekening Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Satuan Rumah Susun (PPPSRS), yangg selanjutnya bakal dipergunakan untuk pembiayaan pengelolaan dan perawatan gedung.

Dengan demikian, dalam aktivitas penampungan biaya IPL dari penduduk ke PPPSRS itu tidak ada pelayanan jasa di situ. Karena itu, IPL tidak tidak memenuhi unsur pertambahan nilai.

Pembentukan PPPSRS merupakan amanah UU No 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun untuk mengurusi pengelolaan Benda Bersama, Tanah Bersama, dan bagian bersama. Dan untuk mengelolanya, PPPSRS dapat membentuk alias menunjuk Badan Pengelola profesional.

“Untuk mengelola dan merawat gedung serta beragam fasilitasnya, tentunya dibutuhkan biaya besar. Sesuai petunjuk undang-undang biaya pengelolaan tersebut bakal ditanggung renteng oleh pemilik dan penunggu rumah susun secara proporsional, dalam corak IPL yangg merupakan biaya urunan penduduk dan ditampung di rekening PPPSRS, seperti layaknya RT/RW,” kata Adjit.

Sementara itu, Ketua PPPSRS Kalibata City, menampung aspirasi penduduk rumah susun. Sebagai catatan, Kalibata City yangg jumlah unitnya sekitar 13 ribu itu merupakan rumah susun subsidi.

“Selain pemilik, banyak juga penyewa yangg tinggal di apartemen Kalibata City dengan argumen agar lebih hemat, lantaran kantornya di tengah kota Jakarta. Daripada mereka cicil rumah di Bogor alias Tangerang, dimana biaya transportasinya lebih mahal. Hingga iba jika mereka ada tambah pajak (PPN) dari IPL,” kata Musdalifah.

7. Rencana Tarif KRL Berbasis NIK

Direktorat Jenderal Perkeretaapian Kementerian Perhubungan (Kemenhub) akhirnya mengumumkan soal pemberian subsidi KRL Jabodetabek menggunakan Nomor Induk Kependudukan (NIK). Apakah skema ini bakal jadi diberlakukan pada 2025 mendatang?

Dirjen Perkeretaapian Kemenhub Risal Wasal mengungkapkan bahwa skema ini tetap sebatas rencana dan belum bakal diberlakukan pada 2025.

“Belum ada program untuk itu,” tegas Risal kepada CNBC Indonesia.

Risal pun menegaskan pemberiian subsidi KRL Jabodetabek sama seperti yangg dilakukan pada saat ini.

“Iya (sama),” imbuhnya.

dalam Dokumen Buku Nota Keuangan Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2025 disebutkan subsidi PSO dalam RAPBN tahun anggaran 2025 direncanakan sebesar Rp7.960,1 miliar (Rp7,9 triliun). Lebih rinci lagi, anggaran shopping Subsidi PSO tahun anggaran 2025 yangg dialokasikan kepada PT Kereta Api Indonesia (Persero) sebesar Rp4.797,1 miliar (Rp4,79 triliun) untuk mendukung perbaikan kualitas dan penemuan pelayanan kelas ekonomi bagi pikulan kereta api antara lain KA ekonomi jarak jauh, KA ekonomi jarak sedang, KA ekonomi jarak dekat, KA ekonomi Lebaran, KRD ekonomi, KRL Jabodetabek, KRL Yogyakarta, dan LRT Jabodebek.

Menariknya ada poin dimana penerapan tiket elektronik berbasis NIK kepada pengguna transportasi KRL Jabodetabek. Dengan perubahan skema subsidi berbasis NIK, artinya tidak semua masyarakat bisa menerima jasa KRL dengan nilai yangg murah seperti sekarang.

“Penerapan tiket elektronik berbasis NIK kepada pengguna transportasi KRL Jabodetabek,” sebut arsip tersebut.

Sebagai catatan tarif KRL Jabodetabek belum naik sejak 2016. Adapun skema tarifnya ialah sebesar Rp 3.000 untuk 25 kilometer (km) pertama dan ditambah 1.000 untuk setiap 10 kilometer.

8. Opsen Pajak Kendaraan

Opsen Pajak mulai bertindak pada 5 Januari 2025. Sebagaimana diketahui, pungutan opsen merupakan petunjuk Undang-Undang (UU) No. 1/2022 tentang Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD). Aturan tersebut bertindak tiga tahun setelah disahkan pada 5 Januari 2022 lalu.

Dalam ketentuan umum UU No 1 tahun 2022 dijelaskan, Opsen adalah pungutan tambahan Pajak menurut persentase tertentu. Opsen Pajak Kendaraan Bermotor yangg selanjutnya disebut Opsen PKB adalah Opsen yangg dikenakan oleh kabupaten/kota atas pokok PKB sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Sementara, Opsen Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor yangg selanjutnya disebut Opsen BBNKB adalah Opsen yangg dikenakan oleh kabupaten/kota atas pokok BBNKB sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Tarif Opsen PKB dan BBNKB pada Pasal 83 UU 1 tahun 2022 ditetapkan sebesar 66% dari pengenaan pajak kendaraan bermotor. Opsen pajak PKB dan BBNKB ditetapkan sebesar 66% yangg dihitung dari besaran pajak terutang.

Dengan demikian, bakal ada tujuh komponen pajak yangg kudu dibayar oleh pengguna kendaraan bermotor baru, ialah BBN KB, opsen BBN KB, PKB, opsen PKB, SWDKLLJ, Biaya Administrasi STNK, dan biaya admin TNKB. (cnbc-i)

-->
Sumber infomu.co medan
infomu.co medan