Urgensi Solidaritas Lintas Iman dalam Pembangunan Rendah Karbon di Maluku - MuhammadiyahNews.com

Sedang Trending 1 bulan yang lalu

TAJDID.ID~Ambon || Krisis ekologis yangg semakin akut dan menyebabkan akibat jelek bagi kehidupan masyarakat luas, mendesak tindakan nyata dari beragam lapisan masyarakat. Krisis ekologis akut ditandai dengan semakin masifnya bencana, terutama banjir dan longsor yangg telah menyebabkan lebih dari 70 juta orang mengungsi. Angka ini terhitung sejak tahun 2000 – 2024.

Selain itu, krisis suasana yangg memicu kepunahan massal keanekaragaman hayati juga menjadi penanda bumi semakin sekarat. Pada titik ini, peran kepercayaan sangat krusial untuk menjaga bumi keberlanjutan planet bumi.

Untuk mendukung sasaran pembangunan rendah karbon pada tahun 2060, beragam tokoh agama, akademisi, dan aktivis lingkungan di Maluku, berkumpul di Ambon pada 27 Februari 2024 untuk membahas pentingnya peran kepercayaan dalam menangani akibat jelek krisis suasana khususnya di Maluku.

Maluku mempunyai beragam potensi sebagai wilayah kepulauan, mulai dari pertambangan, kehutanan, pertanian dan perkebunan, kelautan dan perikanan, hingga pariwisata. Namun krisis suasana menjadi salah satu ancaman serius bagi masyarakat pesisir dan pulau kecil.

Hening Parlan, Direktur Eco Bhinneka Muhammadiyah, menegaskan bahwa pembangunan rendah karbon tidak cukup hanya menjadi tanggung jawab universitas alias pemerintah daerah. Semua pihak, termasuk golongan lintas agama, kudu dilibatkan untuk mencapainya.

“Tema green economy dan green environment kudu menjadi bagian dari misi bersama. Terlebih dengan adanya pertemuan internasional COP28 di Dubai, yangg kali pertama memperkenalkan pavilion faith-based. Peran kepercayaan dalam menyuarakan keadilan suasana sangatlah penting, bukan hanya untuk mengurangi dampaknya, tetapi juga menjaga hubungan manusia dengan Tuhan, sesama manusia, dan alam sekitar,” ujar Hening.

Krisis suasana telah membawa akibat signifikan pada kehidupan masyarakat, baik dari segi ekonomi, kesehatan, maupun lingkungan. Contohnya, papar Hening, nelayan yangg tidak dapat mencari ikan akibat panasnya suhu laut, alias petani yangg kandas panen akibat banjir. Untuk itu, golongan lintas kepercayaan perlu memperkuat kapabilitas mereka melalui training alias info yangg tepat mengenai perubahan suasana agar dapat menjadi garda terdepan dalam pengurangan akibat perubahan iklim.

Dr. Thaib Hunsow, Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Maluku, mengungkapkan pentingnya peran tokoh kepercayaan dalam menyampaikan rumor lingkungan kepada masyarakat.

“Tokoh kepercayaan mempunyai tanggung jawab untuk menjaga alam sekaligus memberikan kesadaran kepada masyarakat tentang pentingnya kelestarian lingkungan. Di banyak masjid alias rumah ibadah, maupun majelis, mari terus kita sampaikan tentang ancaman sampah dan kerusakan alam, yangg jika dibiarkan bisa membawa musibah bagi kita semua,” ajaknya.

Dr. Abdul Manaf Tubaka, Akademisi Sosiologi Agama dari IAIN Ambon, menekankan pentingnya literasi keagamaan yangg mendalam tentang lingkungan.

“Di Lembaga keagamaan, kita kudu memahami bahwa krisis suasana berakibat besar pada kelangsungan hidup manusia. Ada kesenjangan dalam literasi keagamaan mengenai rumor ini, padahal kebijakan pemerintah sudah menyediakan ruang bagi partisipasi masyarakat. Kami berambisi ini menjadi titik awal untuk kerjasama yangg lebih baik,” ungkap Dr. Manaf.

Pendeta John Victor Kainama, Kepala Biro Lingkungan Hidup dan Kebencanaan Gereja Protestan Maluku (GPM), menambahkan, “Gereja Protestan Maluku memahami bahwa tanggung jawab ekologis adalah bagian dari iman. Kami berkomitmen untuk bersama-sama pemerintah dan seluruh agama, denominasi gereja, serta unsur masyarakat lainnya untuk mengusahakan pelestarian lingkungan sebagai rumah berbareng untuk seluruh makhluk.”

Lebih jauh, kata Pendeta John, GPM telah mempunyai pedoman pembelaan lingkungan hidup yangg direalisasikan dalam agenda konkrit berbareng seluruh lapisan masyarakat. “Kami memandang forum pertemuan hari ini sangat strategis untuk memperluas pembelaan lingkungan hidup yangg berbasis pada keadilan,” imbuhnya.

M. Yusuf Sangadji, Direktur Eksekutif Jala Ina (Jaga Laut Indonesia), mengingatkan bahwa Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, tetapi juga sekaligus rentan oleh akibat krisis iklim. Sebagai contoh, Provinsi Maluku mempunyai Pulau Kecil sebanyak 1.292 pulau kecil, dan Provinsi Maluku Utara mempunyai Pulau mini sebanyak 863. “Dengan demikian, jumlah pulau di Kepulauan Maluku tercatat sebanyak 2.155 pulau. Wilayah kepulauan ini sangat rentan oleh krisis iklim,” ungkapnya.

Ia menekankan pentingnya wilayah kepulauan yangg menjadi karakter unik Indonesia. Selain itu, Ia menegaskan pentingnya keterlibatan masyarakat sebagai solusi untuk mengatasi persoalan perampasan ruang hidup.

“Hilangnya mata pencaharian dan peningkatan nomor kemiskinan sering kali dikaitkan dengan investasi yangg tidak ramah lingkungan dan hilangnya partisipasi warga. Kami perlu mendorong pemahaman ini dan kembali kepada sumber daya alam yangg berkelanjutan,” kata Yusuf.

Diskusi ini dilaksanakan dalam rangka Konsultasi tentang Kerja-kerja Advokasi dalam Keterlibatan Keagamaan dan Lintas Iman untuk memitigasi dan Mengelola Risiko Lingkungan, yangg diselenggarkan Eco Bhinneka Muhammadiyah berbareng GreenFaith dan Oxford Policy Management Limited (OPML), serta didukung oleh IAIN Ambon dan Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Maluku.

Kegiatan FGD ini dihadiri oleh lebih dari 40 orang yangg berasal dari organisasi berbasis keagamaan, akademisi, dan media. Kegiatan ini bakal menjadi titik awal konsolidasi dan solidaritas lebih luas untuk mendorong pengamanan di Maluku.

Tentang Eco Bhinneka

Muhammadiyah
Muhammadiyah menginisiasi Eco Bhinneka untuk mendorong kerukunan umat berakidah di Indonesia melalui pendekatan lingkungan. Pada tahun 2025, Eco Bhinneka Muhammadiyah dan Oxford Policy Management Limited (OPML) melaksanakan aktivitas konsultasi tentang kerja-kerja pembelaan dalam keterlibatan keagamaan dan lintas ketaatan untuk memitigasi dan mengelola akibat lingkungan di Sawahlunto (Sumatera Barat), Pekanbaru (Riau), dan Ambon (Maluku). Kegiatan ini bermaksud memperkuat peran kepercayaan dan lintas ketaatan dalam mengelola akibat lingkungan dan perubahan iklim. Dalam aktivitas ini, Eco Bhinneka Muhammadiyah bekerja sama dengan GreenFaith Indonesia.

Tentang LCDI

Low Carbon Development Indonesia (LCDI) alias Pembangunan Rendah Karbon Indonesia merupakan platform pembangunan yangg bermaksud untuk mempertahankan pertumbuhan ekonomi dan sosial melalui aktivitas pembangunan yangg beremisi Gas Rumah Kaca (GRK) rendah serta meminimalkan pemanfaatan Sumber Daya Alam (SDA). Program ini mendorong pengembangan berkepanjangan yangg bisa menjaga keseimbangan antara kebutuhan ekonomi, sosial, dan keberlanjutan lingkungan.

Tentang GreenFaith Indonesia

GreenFaith adalah lembaga lintas ketaatan yangg berpusat di New York sejak 1992 dan sekarang telah berkembang di 11 negara. GreenFaith adalah aktivitas yangg mendorong kerja sama lintas kepercayaan untuk mengurangi akibat perubahan iklim.

Di Indonesia, GreenFaith berdiri sejak 2023 dengan konsentrasi pada Faith for Climate Action, ialah tindakan nyata perseorangan lintas kepercayaan dalam mengatasi akibat perubahan iklim, training lintas kepercayaan untuk climate justice, serta membangun perspektif lintas kepercayaan dalam transisi energi. Update aktivitas GreenFaith Indonesia dapat diikuti melalui IG @greenfaith.id. (*)

✒️ Farah Adiba

-->
Sumber Tajdid.id
Tajdid.id