Ilham Ibrahim
Di bumi modern, ritual keagamaan hanya dipandang sebagai sisa-sisa Zaman Kegelapan (Dark Ages). Era ini telah dilampaui masyarakat Barat dalam terang industrialisasi modern. Bagi banyak orang, untung materi adalah amal tertinggi, dan satu-satunya tujuan perilaku manusia yangg layak. Narasi semacam itu menggambarkan praktik ritual sebagai perilaku irasional yangg tidak memberikan nilai nyata, terutama untuk kemajuan ekonomi dan teknologi.
Karena tidak ada hubungannya dengan hal-hal yangg dapat diperiksa dalam bumi fisik, ritual dianggap tidak sesuai dengan orang yangg berilmu rasional. Ritual juga dianggap tidak logis lantaran ketidaktertarikannya pada barang-barang material. Gagasan menghabiskan sumber daya seperti uang, waktu, dan tenaga tanpa menerima pengembalian materi dipandang sebagai praktik yangg tidak ada artinya dan terbelakang.
Namun, para akademisi telah mengakui ini sebagai karikatur sederhana dari nilai dan relevansi ritual. Sejak pertengahan abad ke-20, “tesis sekularisasi” ini telah ditolak oleh semakin banyak sosiolog yangg menunjuk pada kegunaan esensial ritual dalam semua aspek kehidupan manusia. Ritual semakin terlihat melekat pada perilaku manusia, berubah dalam bentuk-bentuknya, namun selalu datang dalam pengalaman manusia sepanjang sejarah.
Memang, ritual tertanam di setiap masyarakat. Tidak hanya dalam praktik keagamaan tetapi juga dalam aktivitas sehari-hari sosial, politik, dan apalagi duniawi. Pertimbangkan salah satu “ritual” yangg paling umum: berjabat tangan. Apa yangg diwakilinya? Kebiasaan antik ini merupakan tindakan untuk menunjukkan tidak adanya senjata tersembunyi. Gerakan ini telah menjadi simbol pengakuan timbal kembali atas kesopanan, sambutan, rasa hormat, kepercayaan, non-konfrontasi, dan perdamaian. Keadaan kognitif dan emosional ini secara kolektif terikat dalam satu aktivitas tangan manusia.
Ritual memainkan peran krusial dalam nyaris semua aktivitas manusia. Menurut Catherine Bell, argumen kenapa ritual menempati posisi krusial lantaran ritual melampaui komunikasi verbal. Dengan ritual, manusia memungkinkan untuk mengungkapkan emosi berbareng tentang makna dan nilai. Ritual menyediakan bahasa yangg sangat serbaguna, yangg memungkinkan pengakuan berbareng terhadap pentingnya suatu peristiwa, entitas, alias hubungan tertentu. Oleh lantaran itu, ritual bakal selalu menjadi bagian krusial dari kehidupan kolektif kita.
Hubungan Ritual dan Spiritual
Ritual-ritual yangg berangkaian dengan spiritualitas menunjukkan kekuatan yangg paling besar dalam membangun makna dan membangkitkan keadaan emosional yangg mendalam bagi mereka yangg berperan-serta di dalamnya. Melalui penggunaan ritual, kita berupaya untuk mengungkapkan sesuatu yangg tak terucapkan. Ritual memungkinkan kita untuk menyatukan beragam makna yangg luas, spektrum emosi, pendapat tentang kebajikan, semua dalam rentang aktivitas yangg seringkali singkat. Hal ini biasanya diungkapkan melalui praktik spiritual dan ritual keagamaan.
Ketika masyarakat modern menganggap ritual sebagai sesuatu yangg irasional, kita sekarang menyadari bahwa dugaan ini berasal dari perspektif pandang yangg sempit. Mereka tidak bisa memandang melampaui aktivitas bentuk dan perilaku motorik yangg terlibat dalam sebuah ritual. Mereka juga tidak menyadari bakal makna metafisik dari tindakan-tindakan ritual yangg dilakukan. Al-Qur’an menghadapi perihal ini secara langsung ketika membahas pengorbanan hewan dalam ritual: “Daging (hewan kurban) dan darahnya itu sekali-kali tidak bakal sampai kepada Allah, tetapi yangg sampai kepada-Nya adalah ketakwaan kamu.” (QS. Al-Hajj: 37).
Ritual adalah praktik-praktik yangg mempunyai makna dan tujuan spiritual di kembali aktivitas bentuk yangg dilakukan. Tindakan bentuk yangg terlihat hanya merupakan simbol dari apa yangg terjadi di dalam hati. Ia juga dapat berfaedah bahasa simbolik untuk mengungkapkan cinta kepada nan Ilahi dan ketaatan kepada kehendak-Nya. Dalam Agama Islam, Al-Qur’an mengajarkan bahwa ritual adalah simbol-simbol spiritualitas kita. Penting untuk memahami makna di kembali tindakan ritual yangg kita lakukan. Dalam Al Quran dijelaskan: “Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan syiar-syiar Allah, maka sesungguhnya perihal itu timbul dari ketakwaan hati.” (QS. Al Hajj: 32).
Sebaliknya, jika ritual dilakukan secara berulang-ulang, tetapi tidak disertai dengan keadaan spiritual yangg diperlukan, motivasi, dan niat yangg benar, maka tindakan tersebut mungkin tidak mencapai status ibadah yangg diterima. Pertimbangkan dua pernyataan Nabi Muhammad Saw ini: “Barang siapa tidak meninggalkan ucapan bohong dan perbuatan buruk, maka Allah tidak memerlukan dia meninggalkan makan dan minum.” (HR. Imam Bukhari)”; dan “Banyak orang yangg berpuasa, namun dia tak mendapatkan apa pun dari puasanya selain rasa lapar saja.” (HR.Imam Ahmad).
Tujuan Ritual dalam Islam
Ritual dalam Islam biasanya disebut dengan ibadah. “‘Ibadah” berasal dari kata “‘abd”, yangg berfaedah hamba. Menurut Lisan al-‘Arab, ‘abd memiliki akar makna kerendahan hati alias ketaatan. Dalam Kitab Masalah Lima, Muhammadiyah memahami ibadah adalah “bertaqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah Swt dengan mentaati segala perintah-perintah-Nya, menjauhi larangan-larangan- Nya dan mengamalkan segala yangg diizinkan-Nya. Ibadah ada yangg umum dan ada yangg khusus. Ibadah yangg umum adalah segala ibadah yangg diizinkan Allah; yangg unik adalah apa yangg telah ditetapkan Allah bakal perincian-perinciannya, tingkat, dan cara-caranya tertentu.”
Berdasarkan pengertian menurut Tarjih di atas, ibadah dikelompokkan menjadi dua macam: pertama, ibadah mahdhah. Jenis ini merujuk pada ritual yangg perincian pelaksanaannya mesti disesuaikan dengan dalil-dalil Al Quran dan al-Sunah. Sepanjang tidak ditemukan dalilnya, maka dapat divonis haram. Mulai dari konten, gerakan, waktu, isi, bilangan, dan lain-lain kudu mempunyai landasan teks yangg kuat. Tidak ada ruang untuk penemuan dan kreatifitas.
Kedua, ritual muamalah mempunyai cakupan yangg luas. Allah menjadi sumber inspirasi, namun perincian pelaksanaannya diserahkan kepada manusia. Allah membiarkan mereka untuk memaksimalkan kreativitasnya dan mendorong untuk melakukan inovasi. Sebagai contoh, Allah memerintahkan manusia untuk bekerja (QS. At-Taubah: 105). Kita dapat membikin karya, menjadi karyawan, menjadi pengusaha, seniman, dan lain-lain. Secara singkat, ritual muamalah meliputi semua aktivitas kehidupan manusia yangg sejalan dengan perintah Allah. Tidak ada batas yangg ditentukan.
Dalam Muhammadiyah, salah satu fitur utama dari ritual mahdhah dan muamalah adalah sifat berulangnya. Mengulang-ulang ritual tidak bakal mengurangi spiritualitas. Kebiasaan melaksanakan salat alias bekerja tidak bakal kehilangan maknanya, sepanjang dilakukan dengan penuh kesadaran, penghayatan dan refleksi, dan terus memperkuat hubungan dengan Allah. Dengan demikian, seorang muslim mesti terus membangun hubungan dengan Allah dalam segala aktivitas. Inilah yangg membikin ritual mempunyai akibat pada peningkatan spiritual.
Editor: Fauzan AS
Hits: 0