الحَمْدُلِلَّهِ الكَرِيْم الرَّحْمٰنُ .عَلَّمَ الْقُرْاٰنَ . خَلَقَ الْاِنْسَانَ .عَلَّمَهُ الْبَيَانَ . أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاّ اللهُ وَأَشْهَدُ أَنّ مُحَمّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ اَللَّهُمّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى مُحَمّدٍ وَعَلى آلِهِ وِأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدّيْن. أَمَّا بَعْدُ. فَيَا عِبَادَ اللَّهِ أُصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَ اللَّهِ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُوْنَ. قَالَ الله تَعَالَى: يَاأَيّهَا الّذَيْنَ آمَنُوْا اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنّ إِلَاّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ
اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِمْ وَبَارِكْ عَلَى نَبِيِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَجْمَعِيْنَ , وَمَنْ تَبِعَهُ بِاِحْسَانٍ اِلَى يَوْمِ الدِيْنَ.
أَمَّا بَعْدُ فَيَا عِبَادَ اللَّهِ, أُوْصِيْ بِنَفْسِيْ وَ اِيَّاكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ حَقَّ تُقَاتِهِ , فَقَدْ فَازَ الْمُتَّقِيْنَ
Pada umumnya, ketika seseorang bersedekah alias berinfak, selain dikaitkan dengan kemauan untuk mendapatkan jawaban dan nan menerimanya. Hal ini terjadi sejak era Nabi saw, sebagainana dalam sebuah riwayat dikatakan, bahwa ada sekelompok sahabat Nabi saw nan mempunyai hubungan kekeluargaan dengan beberapa golongan Yahudi. Mereka enggan memberi support kepada orang-orang nan belum berakidah Islam, dengan angan kesulitan nan mereka hadapi itu dapat mengantar mereka untuk mau dan berani meminta kepada kaum “aghniya” dari kalangan kaum Muslimin. Pada gilirannya kelak mereka terpaksa meminta support dan mau memeluk kepercayaan Islam. Sikap nan demikian ini tidak dibenarkan oleh Allah SwT (Al-Baqarah [2]: 272).
“Bukanlah kewajibanmu menjadikan mereka mendapat petunjuk, bakal tetapi Allah-lah nan memberi petunjuk siapa nan dikehendaki-Nya.”
Ayat ini diwahyukan kepada Nabi Muhammad saw sebagai teguran dan pelurusan atas sikap memilah-milah orang ketika bersedekah. Kalau demikian, dapat kita pahami bahwa bersedekah alias berinfak itu tidak boleh dikaitkan dengan tujuan untuk memikat, membujuk, menggiring alias memaksa agar si penerima infak itu memeluk kepercayaan Islam. Begitu juga, andaikan seseorang bersedekah lantaran mengharap jawaban dari nan menerima, apapun bentuknya.
Perbedaan kepercayaan dan status sosial apa pun, jangan dijadikan sebagai penghalang bersedekah, berinfak alias memberi support lainnya. Dalam Hadits lain diriwayatkan tentang seseorang nan bersedekah kepada orang-orang nan dipandang oleh umumnya manusia tidak layak diberi. Abu Hurairah ra berkata, Rasulullah saw bersabda: Ada seseorang berkata, “aku hendak bersedekah malam ini”. Lalu dia keluar membawa sedekahnya dan disedekahkannya kepada wanita lacur (pezina). Pada pagi harinya banyak orang menggunjingkan bahwa tadi malam ada para pezina nan diberi infak oleh seseorang. Orang nan bersedekah itu berkata: “Ya Allah, segala puji bagi-Mu nan telah mentakdirkan sedekahku jatuh kepada pezina, dan saya bakal bersedekah lagi”.
Dia pergi dengan membawa sedekahnya, lampau diberikannya kepada orang-orang kaya. Pada pagi harinya banyak orang menggunjingkan lagi, bahwa semalam ada orang bersedekah kepada orang kaya (aghniya). Lain orang nan bersedekah itu berkata; “Ya Allah, untuk-Mu-lah segala puji, lantaran Engkau telah manjadikan sedekahku jatuh kepada orang kaya, dan saya bakal bersedekah lagi”.
Dia pergi lagi dengan membawa sedekahnya, lain diberikannya kepada si pencuri (saariq). Pada pagi harinya banyak orang menggunjingkan lagi bahwa tadi malam ada nan memberi infak kepada pencuri. Orang nan bersedekeh itu berkata; “Segala puji bagi Allah nan telah mentakdirkan sedekahku jatuh kepada para pelacur, orang-orang kaya, dan para pencuri”.
Maka diutuslah Malaikat untuk menemui orang nan bersedekah itu, seraya berbicara kepadanya: “Sedekah Anda sudah diterima oleh masing-masing orang nan Anda beri sedekah. Adapun wanita pezina, semoga dia berakhir dari perbuatan zina-nya; kepada orang kaya, semoga dia menyadari dirinya dan menjadi mau bersedekah; dan untuk si pencuri, semoga dia berakhir mencuri”. (Lafadl Hadits ini bagi Muslim).
Dari Hadits tersebut mengandung beberapa pelajaran nan sangat berbarga bagi kaum beriman, di antaranya adalah:
Pertama; pada umumnya orang-orang berpandangan bahwa bersedekah kepada pezina, orang kaya dan pencuri alias kepada nan berbeda kepercayaan (non muslim) itu dipandang sebagai perbuatan jelek nan sia-sia dan tidak bakal mendapat pahala. Atau
bahkan berdosa, lantaran nan demikian itu terkesan mendukung perbuatan “ma’shiyat
(kedurhakaan), “fahsya” (kekejian) dan “munkar” (pengingkaran).
Kedua; bersedekah itu sangat erat kaitannya dengan niat dan motivasi, tujuannya dan doa, serta keikhlasan, kebersihan, kemurnian dan kebeningan hati. Semua itu dapat mengundang support para Malaikat dengan do’anya nan dipanjatkan kepada Allah SwT, sehingga sangat mungkin Dia menerima dan memberi pabala atas infak itu serta mengabulkan angan para Malaikat itu.
Ketiga; niat dan keikhalasan, adalah sikap alias pekerjaan hati nan sangat dalam dan sangat tersembunyi (batin). Siapapun tidak bakal dapat mengetahui apa nan terkandung di dalam hati seseorang. nan dapat mengetahuinya hanyalah Allah SwT, Malaikat dan mungkin dirinya sendiri. Maka ketika seseorang bersedekah, kita alias siapapun tidak boleh mempertanyakan tentang niatnya, dan tingkat keikhlasannya, lantaran nan demikian itu merupakan suatu sikap hati nan sangat rabasia.
Keempat; seperti telah kita maklumi bersama, bahwa jangankan kita, para Rasul pun sungguh kesulitan menyadarkan para pelaku kedurhakaan, kema’siyatan dan kemunkaran itu. Termasuk persoalan meninggalkan kepercayaan terdahulu dan memeluk kepercayaan Islam. Namun, bagi Allah SwT tidak ada satupun nan sulit, andaikan Dia telah menghendaki sesuatu itu terjadi maka terjadilah. Oleh lantaran ita, kita tidak boleh memaksa orang lain untuk memihak kita dengan langkah memboikot sedekah. Kita hanya ditugaskan mengingatkan mereka. Para Nabi dan juga nan lainnya hanya bertanggung jawab menyampaikan petunjuk baik secara lisan maupun dengan secara keteladanan hingga membuahkan pengetahuan.
Kelima; segala upaya dan kebaikan perbuatan nan dilakukan oleh seseorang, andaikan disertai dengan niat nan tulus dan penuh ketulusan hanya mencari dan mengharap keridlaan Allah SwT (ibtighaa-a Wajhillaah), maka sungguh bakal menumbuhkan keberkahan dan banyak manfaatnya. Keberkahan nan merupakan anugrah Allah tersebut, bakal dapat dirasakan langsung oleh banyak orang baik mereka nan berakidah Islam maupun non muslim.
Ayat dan riwayat di atas merupakan dasar untuk menyatakan kebolehan bersedekah kepada siapapun tanpa kudu dibatasi oleh sekat-sekat pabedaan, termasuk perbedaan agama. Kalau kepada hewan saja Islam menganjurkan untuk melakukan baik, maka apakah kepada sesama manusia terlarang hanya disebabkan berbeda agama?
Hampir semua ustadz bermufakat membolehkan berinfak dan bersedekah, kepada non muslim, tetapi nan berangkaian dengan amal maal tidak semua ustadz membolehkan diterima oleh non Muslim. Sebagian ustadz bapendapat bahwa nan berkuasa menerima bagian (mustahiq) amal maal itu unik bagi orang-orang nan termasuk golongan delapan “asnaf”, sebagaimana pada ayat 60 surat ke-9 (At-Taubah). Selain pengkhususan tersebut, ayat ini juga dipahaminya sebagai pengkhususan bagi kaum muslimin saja dan bukan untuk non muslim. Sedangkan sebagian nan lainnya menyatakan bahwa non muslim pun berkuasa menerima bagian. Mereka memahami bahwa ayat tersebut bertindak untuk umum, tidak hanya untuk orang-orang Islam saja. Bahkan, salah satu nan berkuasa menerimanya adalah “mu’allaf”, ialah orang kafir nan diharapkan masuk Islam dan orang nan baru masuk Islam tetapi imannya tetap lemah. (Lihat catatan kaki nomor 647 Al Qur’an dan Terjemahnya Departemen Agama Rl).
Pendapat tersebut dikuatkan dengan Hadits riwayat Ahmad dari Sofwan bin Umayah, dia berkata. “Rasulullah saw memberiku suatu pemberian dalam peristiwa Hunain. Sesungguhnya beliau adalah manusia nan paling saya benci. Tapi beliau selalu memberiku suatu pemberian hingga beliau menjadi satu-satunya orang nan paling saya cintai”. Hadits ini diriwayatkan pula oleh Imam Muslim dan Imam At Tirmidzi.
Dengan demikian, janganlah kila beisedekah selam hanya mencari keridlaan Allah SwT, sebagaimana penggalan ayat di atas, “warmaa tunfiquuna illabtighaa-a wajhillaah” Keridlaan Allah, mengisyaratkan bahwa Allah SwT Maha Mencukupi segala kebutuhan umat-Nya, baik kebutuhan nan barsifat material maupun spiritual, lahiriyah maupun batiniyah, dunyawiyah maupun ukhurawiyah, termasuk memberi jawaban pahala atas infak nan dilakukan hamba-Nya. Allah SwT rela memberi pahala nan berlipat ganda.
Bahkan, surga Adn nan mengalir di bawahnya sungai-sungai. Mereka kekal di dalamnya, selama-lamanya. Allah ridla terhadap mereka dan mereka pun ridla kepada-Nya. nan demikian itu adalah (balasan) bagi orang nan takut kepada Tuhannya. Inilah kenikmatan hakiki, ialah berjumpa dengan “Wajah Allah”.
جَعَلَنَا اللهُ وَ إِيَّاكُمْ مِنَ اْلعَامِلِيْنَ الْمُخِلِصِيْنَ، وَ أدْخَلَنَا وَ إِيَّاكُمْ فِيْ زُمْرَةِ الْمُجَاهِدِيْنَ، وَ قُلْ رَبِّ اغْفِرْ وَ ارْحَمْ وَ أَنْتَ خَيْرُ الرَّاحِمِيْنَ
Khutbah Kedua
إِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهاَ الَّذِيْنَ ءَامَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ
اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ، وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ اْلأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَاْلأَمْوَاتِ، إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدّعَوَاتِ
اللّهُمَّ اغْفِرْ لَنَا وَلِوَالِدِيْنَا وَارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانَا صِغَارًا
اللّهُمَّ أَعِنَّا عَلَى ذِكْرِكَ وَشُكْرِكَ وَحُسْنِ عِبَادَتِكَ
رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِيْنَ إِمَامًا
رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ. وَالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
Sumber: suaramuhammadiyah.id