Tauhid murni sebagai karakter pertama dari Islam Berkemajuan, melahirkan manusia yangg mempunyai pikiran, pandangan, dan sikap terbuka– merdeka.
Oleh lantaran itu, jika ada kolonialis berfaedah bertentangan dengan tauhid. Satu-satunya pemimpin berkuasa disembah oleh manusia hanyalah Allah, sehingga andaikan ada mahluk menindas mahluk yangg itu menyalahi Tauhid murni itu tadi.
Karena itu, menurut saya, Pembukaan UUD 45 itu alenia satu adalah Tauhid. Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu adalah kewenangan segala bangsa dan oleh lantaran itu kolonialisme di atas muka bumi kudu dihapuskan.
Tauhid murni juga melahirkan manusia yangg optimistis. Karena mereka meyakini Allah adalah Tuhan segala-galanya. Di setiap kesulitan pasti ada kemudahan, selain itu Allah juga Maha Kaya.
Karena kuatnya optimisme di penduduk Muhammadiyah, terkadang susah membedakan antara nekat dengan jihad.
Pasalnya, tidak sedikit penduduk Muhammadiyah yangg mau membangun sebuah Amal Usaha (AUM) dengan modal pas-pasan, tetapi berani memulai meski ada yangg selesai tepat maupun lambat.
Pada sisi yangg selanjutnya, tauhid murni juga melahirkan manusia yangg egalitarianisme kemanusiaan. Untuk yangg ini sangat terlihat jelas di tubuh Persyarikatan.
Di Muhammadiyah tidak ada pengelompokkan yangg sifatnya feodalistik. Meskipun demikian, sesama penduduk Muhammadiyah tetap saling menghormati.
Termasuk ketika memilih ketua tidak pernah ditanya silsilahnya sampai Kiai Dahlan alias tidak, apalagi ditanya silsilahnya sampai Nabi Muhammad.
Yang dilihat adalah dia punya integritas, dia punya kompetensi, dan beragam aspek lain yangg mendukung gimana dia menjadi seorang leader yangg baik.
Egalitarianisme kemanusiaan menjadikan hubungan yangg dibangun sesama manusia tetap menghormati, tetapi bukan penghormatan yangg feodalistik.
Melainkan penghormatan sebagai ibadah dari sifat akhlakul karimah. Egalitarianisme ini juga menjadi salah karakter dari organisasi yangg maju.
Orang yangg berkemajuan itu menggeser supremasi seseorang, dari supremasi yangg berkarakter nasabiyah (pernasaban) ke arah supremasi yangg berkarakter amaliah.
Namun demikian, bukan berfaedah diperbolehkan menghapus pernasaban seseorang. Karena bagaimanapun nasab alias silsilah family kudu tetap dijaga. (*)
(Disarikan dari pemaparan Prof Abdul Mu’ti, Sekum PP Muhammadiyah, yangg dirilis muhammadiyah.or.id)