Sebagai manusia biasa, tentu tidak pernah luput dengan nan namanya dosa. Karena sejatinya, fitrah manusia merupakan tempatnya khilaf, lupa, salah dan dosa. Seperti nan kita tahu bahwa sekecil apapun perbuatan, baik atupun buruk, diridhai maupun nan tidak diridhai Allah, pasti bakal dimintai pertanggungjawaban di suatu saat nanti.
Syukur-syukur jika kita melakukan kebaikan, lantas gimana jika nan kita jalankan justru kesalahan, keburukan, kemaksiatan, dan beragam corak perbuatan tercela lainnya. Apakah hati kita tetap bisa tentram dan nyaman dalam menapaki setiap sendi kehidupan?
Sedangkan ada suatu kepastian ajal nan mau tidak mau bakal mejemput kita tanpa kita ketahui kapan datangnya. Maka dari itu, manusia diberikan salah satu pengganti penghapusan dosa oleh Allah dengan taubat.
Secara etimologi, tobat berasal dari kata توبة nan merupakan corak masdar dari kata تاب nan dapat berfaedah kembali, pulang, ruju’, menyesal. Sedangkan secara terminologi, tobat merupakan serangkaian proses penyesalan atas segala corak perbuatan dosa nan telah dilakukan sekaligus bersungguh-sungguh dalam menjaga diri agar tidak melakukan kesalahan nan sama.
Di sini disebutkan ‘serangkaian proses’, artinya, seseorang dapat dikatakan bertaubat andaikan telah melakukan suatu rentetan proses secara tuntas mulai dari menyesal sampai tekad untuk tidak mengulanginya lagi. Taubat inilah nan dinamakan taubat nasuha.
Makna Taubat Nasuha
Taubat nasuha merupakan taubat nan paling murni. Hal ini juga telah disinggung dalam QS. At-Tahrim: 8, nan artinya, “Hai orang-orang nan beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan nasuhaa (taubat nan semurni-murninya).” Sebagian ustadz mempunyai pendapat nan berbeda-beda dalam mendefinisikan taubat nasuha ini, di antaranya;
Pertama, Al-Kalbi. Menurut Al-Kalbi, taubat nasuha adalah hatinya menyesal, lidahnya memohon ampun, kemudian menghentikan segala corak dosa nan telah dilakukan dan meneguhkan niat untuk tidak mendekat apalagi mengulanginya lagi.
Kedua, Sa’id bin Al-Zubair. Menurut Sa’id, seseorang dapat dikatakan taubat nasuha andaikan memenuhi tiga syarat. Adapun syarat tersebut yaitu; takut, berharap, dan siap mengganti style hidup. Takut merupakan kondisi di mana sesorang merasa resah bakal murka Allah atas perbuatan dosa nan telah dilakukannya.
Berharap, berkeinginan secara sungguh-sungguh dalam rangka mendapatkan pembebasan dari Allah. Siap mengganti style hidup, artinya siap beranjak dari style hidup sebelumnya nan kurang baik ke style hidup nan diridhai Allah.
Ketiga, Sa’id bin Al-Muasayyab. Menurut beliau, taubat nasuha merupakan kesediaan menasehati diri lantaran salah, dan dirinya alim untuk dinasehati. Maksudnya, saat kita melakukan suatu kesalahan, dengan tulus kita menerima masukan-masukan entah dari dalam diri kita sendiri ataupun dari orang lain sekaligus bersedia mengimplementasikannya untuk menjadi pribadi nan lebih baik.
Singkatnya, taubat nasuha merupakan taubat nan sungguh-sungguh. Mulai dari menyesal sampai pada kesediaan untuk berubah menjadi pribadi nan lebih baik.
Mengapa Manusia Perlu Taubat?
Taubat merupakan suatu keistimewaan bagi setiap manusia. Taubat sangat krusial lantaran sesuai dengan situasi dan kondisi prinsip fitrah manusia nan mempunyai kecenderungan melakukan salah dan khilaf.
Sangat mungkin terjadi kita melakukan sautu corak kesalahan baik itu dalam periode harian, jam, menit, apalagi setiap detiknya. Katakanlah kita memang tidak merasa melakukan perbuatan nan salah, tapi pikiran kita seringkali melakukan suatu kesalahan dalam konteks negatif.
Maka, sudah sepantasnya manusia itu bertaubat atas dosanya. Manusia nan enggan ataupun menganggap bahwa dirinya tidak perlu melakukan taubat adalah manusia sombong. Dengan segala corak kekurangannya, sangat tidak kompetibel andaikan manusia hendak menyombongkan diri.
Manusia juga mempunyai kecenderungan tidak mau disalahkan. Karena fitrah manusia sebenarnya selalu menginginkan kebenaran. Sebagai contoh, kita bakal merasa resah saat terbukti melakukan suatu kesalahan.
Hal tersebut terjadi lantaran adanya ego nan mendorong untuk menolak disalahkan (defend mechanism). Lebih bahayanya lagi, seringkali kita menormalisasikan segala corak pembenaran bukannya kebenaran.
Penjelasan Imam Ghazali
Dalam kitab karangannya nan berjudul Ihya’ Ulumuddin, Imam Ghazali menjelaskan bahwa taubat terjadi karena adanya serangkaian kronologis, ialah dari ilmu, hal, dan amal. Ilmu adalah titik awal dari serangkaian pengetahuan tentang baik-buruk.
Saat manusia mendapatkan suatu pengetahuan tentang kebaikan-keburukan, terpuji-tercela, dosa-pahala, otomatis orang nan terketuk hatinya bakal merasa menyesal andaikan dirasa telah melakukan suatu kesalahan.
Rasa ‘menyesal’ itulah nan dalam variabel taubat dinamakan hal, yakni kondisi jiwa untuk mendukung terjadinya suatu taubat. Selanjutnya adalah amal, adalah tindakan sebagai corak pengaktualisasian semua corak penyesalan atas apa nan diperbuatnya sehingga menginggalkan dan secara sungguh-sungguh tidak mau mengulanginya.
Maka dapat kita lihat, bahwa pengetahuan berkedudukan sangat penting. Berperan sebagai dasar dalam kehidupan kita dan dengan pengetahuan kita dapat memandang antara perkara baik dan buruk.
Semakin banyak pengetahuan nan kita miliki, bakal semakin mudah pula menempatkan mana nan boleh dilakukan dan mana nan tidak boleh dilakukan. Saking sangat pentingnya itulah, mencari pengetahuan merupakan suatu tanggungjawab bagi setiap Muslim.
Seringkali kita merasa tahu tentang segala sesuatu sehingga kita malas untuk belajar. Padahal saat kita belajar, di sanalah kita bakal tersadar bahwa selama ini tetap banyak ketidaktahuan pada diri kita. Wallahua’lam.
Editor: Soleh