Talqin secara bahasa berfaedah mengajar alias mengartikan secara lisan. Sedangkan secara istilah adalah mengajar dan membimbing kepada orang nan bakal meninggal bumi dengan kalimat tahlil.
Talqin dilakukan kepada orang nan sakit kritis dan telah mendekati ajalnya. Agama mensyariatkan untuk mentalqinkannya, ialah menuntunnya dengan kalimat “Laa Ilaaha Illaallooh” (Tiada Tuhan selain Allah).
Orang nan berada di dekat orang nan sedang sakaratul maut hendaknya menyebut laa ilaha illallah, alias paling tidak Allah di dekatnya dengan bunyi nan bisa didengar oleh orang nan sedang menjemput ajal agar kalimat terakhir nan diucapkannya kalimat thayyibah.
Cara membimbing orang nan sedang ajal tidak perlu ada kata pendahuluan, alias kata pengantar, seperti, “Ucapkanlah!” alias “Tirukanlah!”
Baca juga: Pengingkar dan Penganut Jalan Bengkok
Tidak perlu seperti itu, namun langsung bimbing dengan kalimat laa ilaha illallah.
Hendaknya orang nan mentalqin itu tak bersuara dan tidak mengajaknya berbincang setelah nan sedang dalam keadaan ajal tersebut kalimat terakhir nan terucap adalah tahlil.
Jika orang nan sedang ajal tersebut telah mengucapkan sesuatu maka talqin hendaknya diulangi sehingga kalimat terakhir nan dia ucapkan adalah laa ilaha illallah.
Cara mentalqin hendaklah dengan lemah lembut dan pelan-pelan, tidak tergesa-gesa dan diusahakan orang terdekat alias orang kepercayaannya agar orang nan sakit tersebut percaya bahwa bisikannya benar. Rasulullah saw bersabda
عَنْ مُعَاذٍ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ ص يَقُوْلُ: مَنْ كَانَ اخِرُ قَوْلـِهِ لاَ اِلهَ اِلاَّ اللهُ دَخَلَ اْلجَنَّةَ. احمد و ابو داود
Dari Mu’adz, dia berbicara : Saya pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa nan akhir ucapannya itu laa ilaaha illallooh, maka dia masuk surga”. [HR. Ahmad dan Abu Dawud]
عَنْ اَبِى سَعِيْدٍ عَنِ النَّبِيِّ ص قَالَ: لَـقِّـنُوْا مَوْتَاكُمْ لاَ اِلهَ اِلاَّ اللهُ. الجماعة الا البخارى
Dari Abu Sa’id dari Nabi SAW, beliau berfirman : “Talqinkanlah orang-orang nan bakal meninggal diantara kalian dengan kalimat laa ilaaha illallooh“. [HR. Jama’ah selain Bukhari]
Baca juga: Bahaya Syirik nan Melumpuhkan Akal Sehat
Sebaiknya talqin dilakukan sebelum seseorang dikubur lantaran tetap sehat akalnya dan jiwa serta ruhnya tetap memungkinkan untuk menerima pengajaran dan bimbingan. Allah swt berfirman:
اِنَّكَ لَا تُسْمِعُ الْمَوْتٰى وَلَا تُسْمِعُ الصُّمَّ الدُّعَاۤءَ اِذَا وَلَّوْا مُدْبِرِيْنَ
“Sesungguhnya engkau tidak dapat menjadikan orang nan meninggal dan orang nan tuli dapat mendengar seruan andaikan mereka telah beralih ke belakang”. (QS An-Naml: 80)
Ayat tersebut menjelaskan bahwa kita tidak dapat menjadikan orang-orang nan meninggal itu mendengar dan tidak pula menjadikan orang-orang tuli mendengar panggilan.
Orang meninggal adalah orang nan kegunaan biologis tidak berfaedah secara permanen. Otak dan telinga sebagai instrumen untuk memahami pesan sudah tidak berfaedah lagi Ketika ruh keluar dari jasad.
Oleh lantaran itu pengajaran bagi orang nan telah meninggal sudah tidak ada gunanya. Jangankan orang nan telah mati, misalnya orang tidur alias ngantuk sudah tidak bisa menerima pengajaran. Apalagi orang nan telah wafat terlalu jauh untuk bisa menerima pengajaran.
Baca juga: Menegakkan Tauhid: Syariat Tunggal Para Rasul
Makna berikutnya adalah bahwa kalimat “orang-orang nan mati” dan “orang-orang nan tuli” dalam ayat ini adalah ungkapan metafora.
Maksudnya adalah orang-orang musyrik itu dianggap sebagai orang nan sudah meninggal pikirannya, sudah tuli dan tidak dapat mendengar panggilan serta rayuan kebaikan meskipun mereka secara biologis tetap hidup. Mereka telah meninggal dalam hidup lantaran mengingkari petunjuk nabi Muhammad saw. (*)
Penulis: AJANG KUSMANA S.Ag, MAg, pengajar Universitas Muhammadiyah Malang