Malang, KLIKMU.CO – Ketetapan tentang jatuhnya Hari Raya Idul Fitri di Indonesia beberapa kali tidak sama antara satu organisasi alias golongan. Perbedaan metode yangg digunakan menjadi argumen kenapa terjadi perbedaan hari. Tidak jarang perihal itu memicu pertengkaran dan perselisihan.
Menurut pengajar Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) Dr Pradana Boy Zulian SAg MA, penduduk muslim perlu diingatkan kembali perihal pentingnya menumbuhkan adab untuk sesama, terutama mengenai perbedaan mazhab. Dengan demikian, dalam diri bakal tertanam sikap untuk saling menghormati dan menghargai perbedaan ajaran yangg diyakini.
“Akhlak itu kudu di atas fikih. Jangan merasa bahwa prinsip kita paling betul dan punya lain seratus persen salah,” kata laki-laki asal Lamongan tersebut.
Menurutnya, menjalankan perintah kepercayaan itu haruslah membawa kemaslahatan. Adapun hukum-hukum yangg ada di Al-Quran dan hadits tidak bakal berubah. Namun, pemikiran dan interpretasi manusia bisa jadi berubah.
“Hal inilah yangg dinamakan fikih yangg merupakan hasil pemahaman dan interpretasi para mahir atas peristiwa yangg hukumnya tidak ditemukan dalam Al-Quran dan hadits,” terangnya.
Meskipun banyak perbedaan, pada akhirnya tujuan yangg mau dicapai umat muslim tentu sama, ialah mendapatkan pahala dari Allah. Lagi pula, menurutnya, tidak mungkin para ustadz sengaja menyesatkan jutaan umat dari beragam golongan. Maka, Boy menyarankan agar setiap orang turut aktif mengikuti organisasi, asalkan organisasi tersebut cocok dengan syariah Islam.
“Ikut organisasi itu poinnya bukan lantaran fanatik, tapi sebagai langkah mempunyai jaminan. Meskipun memang belum tentu agunan itu benar. Para ustadz besar di dalamnya juga tidak mungkin menjerumuskan dan berkompetisi memproduksi kesalahan,” tegasnya.
Selain itu, Boy juga sempat menceritakan kisah sahabat nabi Mu’adz bin Jabal yangg dijadikan referensi untuk berijtihad. Keahlian Mu’adz dalam fikih dan pengetahuan pengetahuan membuatnya seringkali mendapat pujian dari Rasulullah SAW.
“Beliau mengatakan bahwa jika pedoman yangg paling utama dalam mengadili adalah kitab Al-Quran beserta sunah-sunahnya. Akan tetapi, jika Mu’adz tidak menemuinya, dia bakal menggunakan akalnya untuk berijtihad,” kisahnya.
Karena itu, adanya perbedaan itu bisa disebut sebagai langkah kita untuk menghargai karunia dan buatan Tuhan, ialah akal. Maka, perbedaan itu justru menunjukkan bahwa logika manusia itu bekerja. Karena tidak mungkin semua orang itu sama.
“Maka mempunyai perbedaan hari raya alias menjalankan puasa itu bukanlah suatu masalah yangg kudu dibesar-besarkan. nan krusial kita menjalani ibadah syariah puasanya itu dengan tulus dan sungguh-sungguh,” imbuhnya. (Wildan/AS)