Sisi Negatif dari Industrialisasi Pendidikan di Sekolah - MuhammadiyahNews.com

Sedang Trending 2 bulan yang lalu

Istilah “industri pendidikan” memang bisa mempunyai konotasi negatif tergantung pada konteks penggunaannya. Dalam beberapa kasus, istilah ini dapat menunjukkan pandangan bahwa pendidikan telah menjadi upaya yangg lebih berfokus pada untung finansial daripada pada pengembangan siswa secara holistik.

Padahal sekolah semestinya menjadi tempat untuk mengembangkan potensi dan keahlian siswa secara holistik. Namun, pada kenyataannya, banyak sekolah yangg beraksi lebih mirip seperti industri, konsentrasi pada prestasi dan pengakuan daripada pengembangan siswa secara menyeluruh.

Fenomena ini mencakup beragam aspek, mulai dari seleksi siswa berprestasi, pungutan liar, manipulasi akreditasi, hingga beban administratif yangg mengalihkan konsentrasi guru. Tulisan ini mengkritisi beberapa aspek negatif dari industrialisasi pendidikan di sekolah-sekolah dan mengeksplorasi apakah kejadian ini wajar terjadi.

Hanya Menerima Siswa Berprestasi: Mengabaikan Potensi Besar

Banyak sekolah unggulan di Indonesia hanya menerima siswa berprestasi dengan tujuan untuk mengangkat nama sekolah dan memberikan pengakuan bagi para pembimbing yangg mau menumpang tenar. Siswa-siswa ini sering kali sudah berprestasi sejak di jenjang sekolah sebelumnya.

Misalnya, sebuah SMA favorit hanya menerima siswa yangg mempunyai nilai tes yangg tinggi alias yangg telah menjuarai beragam kejuaraan akademik. Kebijakan ini menimbulkan ketidakadilan lantaran mengabaikan siswa lain yangg mungkin mempunyai potensi besar namun belum mempunyai kesempatan untuk menunjukkan prestasi mereka.

Sekolah semestinya menjadi tempat untuk mengembangkan keahlian semua siswa, bukan hanya mereka yangg sudah berprestasi. Sebagai contoh, SMA di Jawa Timur hanya menerima siswa dengan nilai rapor tertinggi dari seluruh SMP di kota tersebut. Akibatnya, siswa-siswa dengan potensi besar namun nilai yangg kurang menonjol terpaksa mencari sekolah lain yangg mungkin tidak mempunyai akomodasi dan pengajaran sebaik SMA tersebut.

Padahal, sekolah semestinya bisa mengubah siswa yangg kurang berprestasi menjadi siswa yangg berprestasi, membuktikan bahwa sekolah adalah tempat pembelajaran, pendidikan, dan pengembangan potensi.

Pungutan Liar: Mengikis Kepercayaan Terhadap Institusi Pendidikan

Pungutan liar alias pungli di lingkungan sekolah telah menjadi masalah yangg meresahkan. Dengan beragam nama seperti “infak komite” alias “iuran pendidikan,” pungutan ini sering kali diwajibkan dan nominalnya sudah ditentukan. Padahal, biaya pendidikan semestinya sudah ditanggung oleh pemerintah melalui beragam program seperti BOS (Bantuan Operasional Sekolah). Praktik ini tidak hanya membebani orang tua, tetapi juga mengikis kepercayaan masyarakat terhadap lembaga pendidikan.

Contoh kasus yangg relevan adalah di sebuah SMA negeri yangg meminta “sumbangan sukarela” sebesar Rp 1 juta per siswa untuk pembangunan akomodasi sekolah. Meskipun disebut “sukarela,” pungutan ini rupanya diwajibkan. Menurut laporan Indonesia Corruption Watch (ICW) tahun 2022, praktik pungli di sekolah-sekolah negeri tetap marak terjadi, dengan modus yangg beragam dan sering kali terselubung dalam beragam aktivitas resmi sekolah. Hal ini menunjukkan bahwa transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan biaya sekolah tetap perlu ditingkatkan.

Mengejar Akreditasi Tinggi dengan Manipulasi Administrasi

Banyak sekolah yangg mengejar legalisasi tinggi dengan semangat manipulatif, melakukan segala langkah untuk memperbaiki gambaran administratif mereka demi mendapat pengakuan formal. Praktik manipulasi ini tidak hanya merugikan siswa dan orang tua, tetapi juga merusak integritas sistem pendidikan secara keseluruhan. Akreditasi semestinya mencerminkan kualitas pendidikan yangg sesungguhnya, bukan hasil manipulasi administratif.

Contoh kasus yangg relevan adalah sebuah SMK di Yogyakarta yangg memalsukan info kehadiran siswa dan laporan aktivitas sekolah untuk mendapatkan legalisasi A. Meski sukses mendapatkan legalisasi tersebut, kualitas pendidikan di sekolah ini tidak mencerminkan nilai yangg tinggi. Menurut Badan Akreditasi Nasional Sekolah/Madrasah (BAN-S/M), kasus manipulasi info ini bukanlah kejadian yangg terisolasi. Banyak sekolah lain juga melakukan praktik serupa demi mendapatkan pengakuan dan biaya tambahan dari pemerintah.

Beban Administratif yangg Berlebihan: Mengalihkan Fokus Guru dari Mengajar

Guru sering kali dihadapkan pada beban administratif yangg berlebihan, mulai dari laporan harian, rekapitulasi data, hingga beragam aktivitas administratif lainnya. Akibatnya, mereka kehilangan konsentrasi untuk mendidik dan memberikan perhatian lebih kepada siswa.

Padahal, peran utama seorang pembimbing adalah mendidik, membimbing, dan memberikan perhatian yangg cukup kepada siswa agar mereka dapat berkembang dengan baik. Seorang pembimbing di sebuah SMP di Jawa Barat yangg mengaku tidak masuk sekolah lantaran kudu memancing ikan untuk kebutuhan makan keluarganya lantaran penghasilan yangg diterima tidak mencukupi.

Banyaknya tugas administratif membikin pembimbing ini kesulitan untuk konsentrasi pada mengajar dan memberikan perhatian lebih kepada siswanya. Menurut info dari Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), sekitar 60% waktu kerja pembimbing di sekolah digunakan untuk menyelesaikan tugas administratif, bukan untuk mengajar alias mendidik siswa.

Peran Pengawas Sekolah: Mengawasi dengan Serius dan Berintegritas

Peran pengawas sekolah sangat krusial dalam memastikan bahwa sekolah menjalankan tugasnya dengan baik dan sesuai dengan standar yangg ditetapkan. Namun, sering kali pengawas sekolah tidak menjalankan tanggung jawab mereka dengan serius, terpengaruh oleh sogokan dan tekanan dari atasan.

Pengawas sekolah wajib menjalankan SOP sebagai corak tanggung jawab, bukan berkilah bahwa kesalahan terletak pada “sistem pendidikan.” nan membikin sistem tersebut adalah para pemimpin di pemerintahan, sehingga tanggung jawab kudu diambil secara kolektif dan personal.

Pengawas sekolah di sebuah kabupaten di Jawa Tengah yangg terlibat dalam praktik korupsi, menerima sogokan dari kepala sekolah untuk meloloskan audit tanpa pemeriksaan yangg sebenarnya. Praktik semacam ini menunjukkan perlunya reformasi dalam sistem pengawasan pendidikan agar lebih transparan dan akuntabel.

Apakah Industrialisasi Pendidikan Ini Wajar Terjadi?

Industrialisasi pendidikan bisa dilihat sebagai respons terhadap tekanan kejuaraan dunia dan kebutuhan untuk meningkatkan standar pendidikan. Namun, ketika orientasi pendidikan bergeser dari pengembangan siswa secara holistik ke pengejaran prestasi dan legitimasi formal, perihal ini menjadi masalah. Sistem pendidikan semestinya konsentrasi pada pengembangan potensi setiap siswa, bukan hanya mereka yangg sudah berprestasi.

Untuk mengatasi masalah ini, beberapa langkah bisa diambil. Pertama, sekolah kudu membuka pintu bagi siswa dengan beragam tingkat prestasi, memberikan mereka kesempatan yangg sama untuk berkembang. Kedua, pemerintah kudu mengawasi dan mengatur pungutan di sekolah dengan ketat untuk mencegah praktik pungli. Ketiga, proses legalisasi kudu dibuat lebih transparan dan berbasis pada kualitas pendidikan yangg sebenarnya, bukan manipulasi administratif.

Keempat, beban administratif pembimbing kudu dikurangi sehingga mereka dapat konsentrasi pada tugas utama mereka dalam mendidik siswa. Kelima, pengawas sekolah kudu menjalankan tugas mereka dengan integritas tinggi, menghindari sogokan dan tekanan dari atasan, serta memastikan bahwa sekolah betul-betul berfaedah sebagai lembaga pendidikan yangg setara dan berkualitas.

Editor: Soleh

-->
Sumber ibtimes.id
ibtimes.id