Shoemaker: Keraguan dalam Tradisi Pengumpulan Al-Qur’an - MuhammadiyahNews.com

Sedang Trending 2 tahun yang lalu

Stephen J.  Shoemaker merupakan seorang professor bagian studi Agama di Universitas Oregon. Seorang sejarawan nan focus pada sejarah kekristenan kuno, permulaan Islam dan sejarah awal abad pertengahan. Pendidikan sarjananya di tempuh di Emory University dengan meraih gelar summa cumlaude dalam bagian Agama dan Studi Klasik hingga bisa berasosiasi pada Phi Betta Kappa. Sebuah akademi bergengsi nan hanya dapat diraih oleh orang-orang terpilih dalam bagian seni dan sains liberal. Shoemaker meraih Pendidikan master dan doktornya pada bagian Agama di Duke University.

Sebagai seorang sejarawan nan berkecimpung dalam bagian agama, Shoemaker merasa perlu untuk meneliti kesejarahan Islam khususnya pada kitab suci al-Qur’an. Dalam karya terbarunya, Creating the al-Qur’an, nan baru saja rilis pada tahun 2022 lalu. Shoemaker menuliskan kegelisahannya dan keraguannya terhadap tradisi penulisan al-Qur’an dengan mengatakan bahwa al-Qur’an nan saat ini kita gunakan bukan merupakan hasil dari tradisi Usman.

Ia meragukan tradisi penulisan dan pengumpulan al-Qur’an nan tersebar di kalangan umat Sunni mengenai dengan keterlibatan Abu Bakar, Umar bin Khattab, dan Usman bin Affan.

Hal ini bermulai dari Shoemaker menemukan banyaknya riwayat-riwayat nan kacau dan membingungkan mengenai dengan pembentukan al-Qur’an. Terlebih khususnya mengenai nama-nama sahabat nan terlibat tersebut.

Shoemaker menilai bahwa laporan-laporan (hadis) mengenai pengumpulan al-Qur’an saling bersaing dan kontradiktif dan tersebar di beragam tempat. Ia juga meragukan keotentikan sumber-sumber sejarah peristiwa al-Qur’an dalam Tradisi Sunni nan didasarkan pada hadis-hadis al-Bukhori.

Hal ini disebabkan oleh jarak antara peristiwa pengumpulan tersebut dengan laporan-laporan nan mengenai dengannya (hadis Bukhori) berjarak 250 tahun lamanya.

Riwayat nan Berbeda

Keraguan tentang al-Qur’an ditunjukkan oleh Shoemaker dengan menunjukkan adanya riwayat dari Ibn Shabbah. Salah seorang sejarawan pada abad ke 8 nan seumur dengan al-Bukhari, nan didalam karyanya tidak ditemukan keterlibatan Abu Bakar dalam pengumpulan al-Qur’an.

Dalam bukunya History of Madina, Shabba hanya menyebut keterlibatan Umar bin Khattab pada pengumpulan al-Qur’an tersebut. Ia menceritakan bahwa Umar terlibat dalam peristiwa pengumpulan al-Qur’an namun dibunuh sebelum menyelesaikan pengumpulan tersebut.

Dalam mendukung keraguannya, Shoemaker juga menampakkan tulisan Ibn Sa’d. Seorang penulis sejarah awal al-Qur’an mengenai riwayat hidup sahabat dan para assabiqunal awwalun, memberikan info dari banyak sabda tentang “mereka nan mengumpulkan/ menghafal al-Qur’an pada  masa hidup utusan Allah”. Shoemaker menilai adanya ambiguitas pada sabda ini dikarenakan lafal jama’a dalam bahasa Arab dapat berfaedah mengumpulkan dan menghafal.

Berdasarkan perihal ini, Shoemaker menilai bahwa kita tidak boleh terlalu meyakini peran-peran orang ini (khulafaur rasyidin) dalam pembuatan al-Qur’an terlebih unik penulisannya. Sebab dari sabda tersebut dapat menyiratkan dua pendapat; dimana bisa saja mereka hanya menghafal sebagian dari wahyu Muhammad alias mereka betul-betul telah menuliskan wahyu al-Qur’an tersebut.

***

Selain itu kembali lagi, Shoemaker berpegang erat pada argumennya bahwa keberadaan tulisan sangat minim saat narasi al-Qur’an diturunkan di Hijaz. Ini bakal tampak sangat mustahil bahwa al-Qur’an ditulis ketika Nabi tetap hidup.

Pun nan lebih mengagetkan lagi, bagi Shoemaker adalah tidak adanya sabda mengenai dengan pembentukan teks al-Qur’an nan berangkaian dengan Usman. Ibn Sa’d tidak menyebut sama sekali minat Usman dalam menetapkan teks al-Qur’an.

Hal ini dinilai Shoemaker sebagai suatu nan luar biasa. Sebab jika tradisi pengumpulan al-Qur’an merupakan realitas historis nan diakui secara luas, maka susah dibayangkan jika Ibn Sa’d tidak mengetahui perihal ini dan tidak menuliskannya dalam karya-karyanya.

Shoemaker menelusuri karya Ibn Sa’d dan hanya menemukan peran Usman mengenai al-Qur’an justru saat Umar menjabat menjadi Khalifah dan Usman justru turut menjadi seorang nan mengumpulkan dan menghafal al-Qur’an pada masa itu.

Dalam catatan Ibn Sa’d juga, Shoemaker menemukan sebuah penemuan bahwa justru Ubay lah nan diutamakan dalam tradisi pengumpulan al-Qur’an, bukan Usman.

Berdasarkan adanya pertentangan ini, Shoemaker beranggapan bahwa al-Bukhori menyusun narasi kanonik ini berasas beragam sabda nan bersaing dan berupaya menarasikan ini agar dapat berangkaian antara Abu Bakar, Umar bin Khattab dan Usman dengan beragam langkah agar membentuk suatu narasi nan selaras dan selaras kemudian memberikan penilaian sabda shahih pada hadisnya ini, dan berhujung dengan penerimaan utuh oleh kaum Sunni dengan kondusif dan tanpa mempermasalahkan apakah sabda itu shahih alias tidak hingga hari ini.

Catatan Sayf bin Usman

Shoemaker juga menemukan sebuah sumber sejarah Islam yang dia nilai datang paling awal nan ditulis oleh Sayf bin Usman di Kufah pada akhir abad kedelapan (796-797 M) nan membahas sejarah al-Qur’an.

Sayf mengambil sumber info pada awal abad ke delapan, nan dengan demikian catatannya dianggap lebih masuk logika lantaran hanya berjarak satu abad dari kehidupan Nabi. Fokus pada catatan Sayf ini mengatakan tentang penyelesaian perbedaan-perbedaan dari kodeks-kodeks “pendamping” awal nan sudah beredar, bukan tentang pengumpulan dan pengumuman tentang jenis baru otoritatif pada masa Usman.

Shoemaker menilai bahwa perihal pada masa pengumpulan al-Quran, orang-orang beragama melakukan upaya-upaya independen untuk menuangkan wahyu Muhammad dengan perbedaan nan signifikan pada kodeks pertama. Hal ini dikarenakan mereka berada di luar jangkauan Madinah dan khalifah pertama nan juga mengumpulkan Qur’an secara independen.

Menanggapi adanya perihal tersebut, Usman berupaya menyalin kodeks-kodeks tertentu nan tidak ditentukan di Madinah nan bermaksud untuk menyeragamkannya. Lalu kemudian mengeluarkan intruksi bahwa jenis al-Qur’an nan tidak sesuai dengan nan dia standarisasi dikumpulkan dan dimusnahkan.

Namun, Shoemaker mempertentangkan apakah upaya Usman dalam standarisasi ini berhasil? apakah kodeks buatan Usman ini diterima di tempat-tempat tersebut sebagai pengganti jenis lokal mereka?

Kisah Al-Qur’an tidak Valid

Kebulatan bunyi mengenai kisah pengumpulan al-Qur’an seperti nan tersebar sekarang ini, bagi Shoemaker adalah sebuah penipuan dan juga kepalsuan. Hal ini dikarenakan dalam tradisi sekarang ini, kita tidak mengetahui perbedaan seperti apa nan dibuat pada masa Abu Bakar, Umar dan Usman.

Alasan ini diperberat dengan tradisi Islam nan justru menunjukkan jalinan ingatan alias hadis-hadis nan saling bertentangan dan terputus-putus tentang asal-usul al-Qur’an.

Shoemaker mempunyai argumen bahwa ingatan-ingatan nan telah sampai kepada kita sampai sekarang ini nan dinilai sebagai kebulatan bunyi merupakan corak pengesahan umat Muslim kepada al-Qur’an sebagai catatan jeli tentang wahyu Muhammad nan dipelihara dan disahkan oleh para pengikut dekatnya dan otoritas awal dalam masyarakat.

Hal ini krusial dilakukan lantaran pengumpulannya kudu dilakukan oleh tokoh-tokoh nan sedekat mungkin dengan kematian Muhammad. Sehingga bisa memberikan agunan atas kesetiaan verbal dan teks tertulis terhadap apa nan diajarkan Muhammad.

Lebih jauh lagi, Shoemaker mempunyai argumen bahwa kodeks-kodeks awal al-Qur’an (yang tersebar sebelum masa Usman) ini diproduksi dengan adanya perbedaan nan signifikan antara satu sama lain, dikarenakan ingatan mereka bakal wahyu Muhammad berbeda-beda.

Selain itu, organisasi keagamaan Muhammad nan pada saat itu dengan sigap memperluas wilayah kekuasaannya membikin kontrol-kontrol terhadap masalah itu menjadi sangat terbatas. Terlebih pada masa itu otoritas nan ada tetap lemah dan mini untuk pemerintahan nan baru lahir di Madinah.

***

Ia juga menilai bahwa meskipun Usman telah mengumpulkan al-Qur’an dan melakukan standarisasi. Ia merasa bahwa sangat mustahil bahwa upaya tersebut dapat menghasilkan struktur konsonan teks nan tidak berubah-rubah hingga saat ini.

Shoemaker sekali lagi menunjukkan ketidakpercayaannya bahwa teks al-Qur’an nan kita temukan saat ini merupakan hasil dari standarisasi Usman. Ia mengatakan bahwa beberapa upaya Usman untuk memperkenalkan teks-teks standar itu pasti sia-sia belaka. Apalagi sukses mencapai pembentukan jenis final al-Qur’an nan tidak berubah-ubah. Sebab kondisi dimana Usman memerintah membikin kemungkinan sangat mini bahwa dia dapat menetapkan corak standar teks al-Qur’an. Walaupun dengan menggunakan kekuatan penuh kekhalifahan untuk melakukannya perihal ini sangat diragukan.

Hal ini dikarenakan pada masa tersebut, diperlukan waktu 20 hari untuk melakukan perjalanan ke setiap arah (Madinah ke Irak maupun Suriah). Sehingga pertukaran termasuk pesan dan tanggapan bakal menyantap waktu setidaknya 40 hari.

Jadi, Shoemaker berfikir bahwa pihak berkuasa di Madinah bakal kesulitan untuk mengawasi kontrol wacana keagamaan di tempat-tempat nan jauh ini. Inilah nan membikin dia meragukan tentang teks al-Qur’an saat ini merupakan hasil standarisasi Usman.

Editor: Soleh

-->
Sumber ibtimes.id
ibtimes.id