BANDUNGMU.COM, Bandung — Tanggal 30 Maret diperingati sebagai peristiwa krusial ialah Hari Film Nasional. Hal ini disamakan dengan hari pertama pengambilan gambar movie “Darah dan Doa” (1950) nan disutradarai oleh Usmar Ismail.
Mengutip Wikipedia, movie ini merupakan movie pertama nan disutradarai orang dan perusahaan Indonesia serta dinilai sebagai movie lokal pertama nan bercirikan Indonesia.
Peringatan ini diresmikan oleh BJ Habibie pada 30 Maret 1999 melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 25 Tahun 1999 tentang Hari Film Nasional nan ditetapkan. Dalam Keppres itu disebutkan pula bahwa peringatan Hari Film Nasional bukan hari libur nasional.
Peringatan ini dibuat dalam upaya meningkatkan kepercayaan diri, motivasi para insan movie Indonesia, serta untuk meningkatkan prestasi nan bisa mengangkat derajat movie Indonesia secara regional, nasional, dan internasional.
Pada 30 Maret 1950, movie “Darah dan Doa” karya sutradara Usmar Ismail melakukan pengambilan gambar hari pertama. Film ini merupakan movie pertama nan disutradarai orang dan perusahaan Indonesia, Perusahaan Film Nasional Indonesia (Perfini).
Saat itu, selain PFN nan dimiliki oleh negara, terdapat dua perusahaan perfilman terbesar di Indonesia, ialah Perfini dan Persari.
Pada 11 Oktober 1962, konvensi Dewan Film Nasional dengan Organisasi Perfilman menetapkan 30 Maret menjadi Hari Film Nasional.
Sejak saat itu, 30 Maret dianggap sebagai Hari Film Nasional. Usmar Ismail (pendiri Perfini) dan Djamaludin Malik (pendiri Persari) juga diangkat sebagai Bapak Perfilman Nasional.
Penetapan tanggal 30 Maret sebagai Hari Film Nasional bukanlah pilihan tunggal. Tanggal 19 September juga pernah diusulkan lantaran tanggal peliputan Rapat Raksasa Lapangan Ikada Presiden Sukarno.
Keberanian ahli kamera Berita Film Indonesia merekam peristiwa berhistoris itu sangat rawan sehingga patut dikenang.
Pada 1964 pegiat perfilman komunis juga pernah mengusulkan Hari Film Nasional didasarkan dari tanggal pendirian PAPFIAS (Panitia Aksi Pemboikotan Film Imperialis Amerika Serikat).
Aksi tersebut sukses menghentikan pemutaran film-film Amerika Serikat di Indonesia. Namun, setelah peristiwa Gerakan 30 September usulan tersebut lenyap.
Pada 1980-an, ketika situasi politik dan kondisi perfilman telah stabil, pendapat mengenai Hari Film Nasional diangkat kembali. Dewan Film Nasional, golongan ahli filsafat Menteri Penerangan, kembali mewacanakan 30 Maret untuk dijadikan keputusan bersama.
Namun, upaya tersebut kembali kandas lantaran PFN mengusulkan 19 September dan 6 Oktober. Tanggal 6 Oktober merupakan tanggal penyerahan perusahaan Nippon Eiga Sha oleh penguasa Jepang kepada pemerintah Indonesia nan kemudian menjadi BFI dan PFN.
Ternyata usulan ini langsung ditolak, lantaran tidak mengandung idealisme alias nilai perjuangan.
Pada awal 1990 Dewan Film Nasional memutuskan menjaring pendapat soal Hari Film Nasional. Anggota DFN, Soemardjono, ditunjuk memimpin pertemuan sejumlah orang nan pernah terlibat dalam sejarah movie di gedung Badan Sensor Film (BSF).
Salah satu peserta pertemuan, Alwi Dahlan memberikan dasar pertimbangan nan akhirnya diterima. Menurutnya kedua tanggal itu penting, tetapi 19 September merupakan peristiwa jurnalistik. Sementara Hari Film Nasional adalah untuk memperingati pembuatan movie cerita.
Hari Film Nasional kemudian disahkan secara resmi oleh B.J Habibie dengan terbitnya Keputusan Presiden Republik Indonesia (Keppres RI) Nomor 25 Tahun 1999 tentang Hari Film Nasional.***
___
Sumber: Wikipedia
Editor: FA