Sampai Meninggal Ketum Muhammadiyah Ini Tidak Punya Rumah Di Dunia (Kisah Nyata) - MuhammadiyahNews.com

Sedang Trending 1 tahun yang lalu

Di kembali laki-laki terhormat, ada wanita terhormat. Di kembali laki-laki soleh, ada wanita soleh. Di kembali laki-laki zuhud, ada wanita zuhud. Bayangkan seandainya Pak AR punya istri wanita seleb. Niscaya Pak AR bakal pusing tujuh keliling lantaran permintaan istrinya pasti macam-macam. Ingin tas LV, dompet Hermes, sepatu Gucci, busana-busana branded model mutakhir, dan rumah real estate. Kebayang Pak AR bakal pusing memikirkan kemauan istrinya. Karena pusing, Pak AR pun tidak bakal tenang. Hidupnya kemrungsung dan susah tidur. Mana mungkin Pak AR nan hidup hanya dari penghasilan pegawai negeri sipil (PNS) dengan tujuh anak mau memenuhi kemauan istrinya nan seleb itu?

Beruntung. Hal itu tak terjadi pada Pak AR. Allah sudah memasangkan Pak AR dengan wanita nan hebat, Siti Qomariyah. Bu AR adalah panggilan berkawan Ibu Siti Qomariyah, beliau wanita nan mau hidup sangat sederhana asal suaminya memberi nafkah nan halal.

Bahkan jika nafkah dari Pak AR tidak mencukupi, Bu AR pun siap membantu mengatasinya dengan berbisnis apa saja nan bisa dilakukannya. Seperti jual beli ikan di pasar, jual beli hasil bumi, dan lain-lain untuk mencukupi kebutuhan rumah tangganya. Bu AR tidak pernah mengeluh apa pun nan dibawa Pak AR ke rumah untuk nafkah keluarganya. Bahkan ketika Pak AR pulang tak membawa apa pun, Bu AR tetap menyambutnya penuh rasa syukur lantaran Pak AR selamat dalam perjalanan hingga sampai ke rumah.

Bu AR selalu mendukung aktivitas dakwah Pak AR meski tak menghasilkan uang. Bu AR pun mendukung prinsip da’wah nan dilakukan Pak AR nan motivasinya lantaran Allah semata. “Dakwah kudu tulus dan tidak boleh menerima amplop,” kata Pak AR. Jika mau menerima amplop, takut menjadi kebiasaan, dan akhirnya mempengaruhi niat dakwah. Dan itu sangat rawan bagi seorang da’i nan beriktikad menyebarkan pesan-pesan Allah dengan ikhlas. Itulah sebabnya, meski laku diundang ceramah, Pak AR tetap miskin. Karena ceramahnya tak menghasilkan uang. Jangankan beli sedan Lamborghini alias Jeep Rubicon seperti penceramah seleb di Jakarta, beli sepeda motor pun, Pak AR tak mampu.

Beliau hanya hidup dari penghasilan pensiunan PNS. Jika beliau dipaksa menerima sampulsurat dan kemudian mau menerimanya (karena tidak lezat pada panitia), sesampainya di rumah sampulsurat itu langsung diberikan kepada instansi Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah. Pak AR minta agar duit dari sampulsurat itu dibagikan kepada karyawan-krayawan mini di instansi PP nan hidupnya kekurangan. Kami, anak-anak Asrama Yasma Putra, Masjid Syuhada, Yogya juga pernah kebagian sampulsurat Pak AR. Suatu ketika Pak AR diundang pidato di TVRI Yogya. Kami mengantarkan Pak AR ke stasiun TVRI Yogya di Jalan Magelang. Usai ceramah, Pak AR menerima bingkisan dan amplop. Dalam perjalanan pulang, bingkisan dan sampulsurat itu diberikan kepada kami, anak-anak pondok Yasma. Pak AR tak menyisakan duit itu sedikit pun untuk dibawa pulang ke rumahnya.

Jika bakal berceramah di tempat nan menyantap waktu lebih dari satu hari, Pak AR selalu memanggil Bu Qom dan anak-anaknya. “Bapak mau pergi berceramah di tempat nan jauh. Mungkin tiga hari tidak pulang. Bapak sudah menitipkan kalian kepada Allah. Insya Allah, nan Maha Kuasa bakal menjaga Ibu dan anak-anak,” pesan Pak AR setiap mau berjalan berceramah untuk waktu nan lama.

Peristiwa seperti itu, pergi berceramah berhari-hari, sudah biasa terjadi. Dan family Pak AR pun memakluminya. Bu Qom pun tak pernah menanyakan apakah ada sampulsurat alias bingkisan dari pengundang pidato tadi. Padahal, tempat pidato Pak AR kadang jauh sekali, di pelosok desa di Kabupaten Purworejo, Kebumen, apalagi Purwokerto. Semua itu dijalani Pak AR dengan tulus meski kudu menggowes sepeda ontel puluhan kilometer. Keringat Pak AR pun membasahi seluruh tubuhnya. Panas terik alias hujan lebat bukan penghalang bagi Pak AR untuk berceramah dan menyebarkan kesejukan Islam di mana saja.

Melihat kondisi seperti itulah, seorang saudagar kaya asal Yogya, Pak Prawiroyuwono iba kepada Pak AR. Pak Prawiroyuwono pun membelikan sepeda motor Yamaha 70 CC warna oranye untuk mempermudah mobilitas Pak AR dalam berdakwah.

Sepeda motor itulah nan dipakai Pak AR untuk berceramah dan keperluan sehari-hari sampai beliau wafat. Jadi, motor Yamaha 70 CC warna oranye nan sering dikira milik satu-satunya Pak AR itu, rupanya pemberian orang. Pemberian Pak Prawiroyuwono. Pak AR tak sanggup membeli motor itu. Meski miskin, Pak AR tidak pernah tertarik dengan iming-iming harta. Sebagai ketua Muhammadiyah, beliau sering diberi duit jutaan oleh para pejabat dan pengusaha. Orang-orang kaya itu nitip duit kepada Pak AR untuk disampaikan kepada Muhammadiyah. Jumlahnya kadang puluhan, apalagi ratusan juta rupiah. Sampai di rumah, duit itu segera disampaikan kepada Muhammadiyah dan fakir miskin di sekitarnya tanpa sisa.

Sampai-sampai Mas Fauzi, putra bungsunya, pernah nyeletuk: “Talang kok ora teles” (talang kok tidak basah). “Yo ben, wong iki talang plastik,” timpal Pak AR (biar saja, wong ini talang plastik). Pak AR memang talang “air rejeki” dari plastik kualitas premium. Bila talang tertimpa air, tidak basah. Juga tak mudah patah dan robek. Talang itu fungsinya mengalirkan air untuk orang-orang nan membutuhkannya. Itulah Pak AR, memilih hidup miskin padahal punya kesempatan untuk hidup kaya. Pak AR tampaknya lebih suka menjadi talang. Talang nan mengalirkan air penyejuk dahaga ke segala penjuru untuk kemaslahatan umat.

Beliau pernah bercerita dalam kultum di rumahnya. “Di hati manusia hanya ada satu cinta. Cinta kepada Allah. Jika cinta kepada Allah ini tercemari oleh cinta kepada dunia, maka Allah bakal cemburu,” kata Pak AR. Jika hamba mencintai Allah dan Allah mencintai hambaNya, maka Allah tak mau cinta hamba kepadaNya disaingi oleh cinta hamba kepada selain dirinya.

Dalam membangun mahligai rumah tangga dengan Pak AR, satu-satunya perihal nan sangat disesali Bu Qom terhadap dirinya sendiri adalah ketika beliau menanyakan tentang perkembangan rumah nan dicicilnya. “Pak, gimana perkembangan rumah kita?,” kata Bu Qom suatu ketika kepada Pak AR nan baru datang dari pidato di luar kota. Pak AR pun terdiam. Keriangan di wajahnya terlihat pudar. “Bu, sabar ya. Soal rumah jangan dipikirkan lagi. Developernya lari. Tak usah disesali, Allah bakal mengganti rumah kita dengan rumah nan lebih baik di sorga nanti,” jawab Pak AR lirih. Bu Qom merasa menyesal mempertanyakan soal rumah tersebut. “Saya sangat menyesal mempertanyakan rumah itu kepada Pak AR. Padahal Pak AR tetap capai, baru datang dari luar kota,” kata Bu Qom menyesali munculnya pertanyaan itu.

Dalam kondisi biasa, wajar jika seorang istri menanyakan rumah nan bakal ditempatinya. Rumah adalah tempat berlabuh dan tempat berkumpulnya keluarga. Rumah adalah sebuah tempat untuk mereguk kebahagiaan keluarga.

Pak AR dan Bu Qom pun menyadari perihal seperti itu. Sebagai manusia biasa, wajar jika Pak AR dan Bu Qom mau punya rumah sendiri. Bukan rumah kontrakan. Bukan rumah dinas. Bukan pula rumah pinjaman Muhammadiyah.Tapi sayang, angan punya umah itu kandas lantaran developer nan membangun rumah family Pak AR lari. Sampai bertahun-tahun kemudian, setelah Pak AR wafat, Bu Qom tetap menceritakan peyesalannya soal pertanyaan rumah itu. Mungkin lantaran penyesalan tersebut, Bu Qom meneruskan pilihan hidup miskin tanpa mempunyai rumah.

Setelah Pak AR wafat dan rumah Cik Ditiro 19A pinjaman Muhammadiyah itu diberikan kembali oleh family Pak AR kepada persyarikatan. Organisasi “pemilik lembaga pendidikan terbanyak di bumi itu” mau membalas jasa kepada family Pak AR Muhammadiyah atas usulan Prof. Malik Fajar, mantan Rektor UMM Malang dan Menkbud RI bakal memberikan tanah seluas 1000 meter persegi dekat Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Muhammadiyah juga bakal membiayai pembangunan rumah family Pak AR sebagai ungkapan terima kasih atas kepemimpinan beliau nan membesarkan Muhammadiyah selama 22 tahun.

Tapi, apa kata Bu AR? “Tidak usahlah. Muhammadiyah lebih memerlukan tanah itu daripada family saya,” kata Bu AR.

Bu AR menolak dengan lembut pemberian tanah dari Muhammadiyah tersebut. Dan alkhamdulillah, sampai Bu AR wafat, rumah Pak AR dan Bu Qom rupanya tidak ada di bumi ini. Rumahnya ada di sorga! Di kembali suami zuhud, ada istri nan zuhud.

ربنا ظلمنا أنفسنا و إن لم تغفر لنا و ترحمنا لنكونن من الخاسرين
Ya Allah, ampunilah kami nan tetap sibuk dan cemas urusan bumi kami

Penulis: Syaefudin Simon.

-->
Sumber Sang Pencerah
Sang Pencerah