Salam Lintas Agama: Kontroversi, Fatwa MUI, dan Pertarungan Akidah - MuhammadiyahNews.com

Sedang Trending 4 hari yang lalu

Salam Lintas Agama: Kontroversi, Fatwa MUI, dan Pertarungan Akidah

Oleh : Dwi Taufan Hidayat (Ketua Lembaga Dakwah Komunitas Pimpinan Cabang Muhammadiyah (PCM) Bergas, Wakil Ketua Majelis Pustaka dan Informasi (MPI) Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kabupaten Semarang)

PWMJATENG.COM – Penggunaan salam lintas kepercayaan yangg semakin marak di kalangan pejabat dan tokoh politik Indonesia telah menimbulkan perdebatan panjang di kalangan umat Islam. Salam yangg pada dasarnya merupakan ucapan yangg mengandung angan dan angan kebaikan, sekarang kerap disampaikan dengan ragam yangg tidak hanya berasal dari tradisi Islam. Fenomena ini, yangg dalam beberapa kasus disandingkan dengan kepentingan politik, menimbulkan kekhawatiran mengenai pengaruhnya terhadap identitas dan iktikad umat Islam. MUI, sebagai lembaga yangg mempunyai otoritas dalam memberikan fatwa keagamaan, menanggapi perihal ini dengan sebuah fatwa yangg mengharamkan salam lintas agama.

Fatwa MUI dan Perspektif Akidah Islam

Majelis Ulama Indonesia (MUI), dalam fatwa yangg dikeluarkan oleh Komisi Fatwa, secara tegas melarang umat Islam untuk mengucapkan salam dari kepercayaan lain yangg mengandung doa. Fatwa tersebut mengutip dalil-dalil dari Al-Qur’an dan Hadis untuk memperkuat argumentasi mereka. Salah satunya adalah surat Al-Mumtahanah ayat 8:

“Allah tidak melarang Anda untuk melakukan baik dan bertindak setara terhadap orang-orang yangg tidak memerangi Anda lantaran kepercayaan dan tidak mengusir Anda dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yangg bertindak adil.” (QS. Al-Mumtahanah: 8)

Ayat ini menunjukkan bahwa dalam berinteraksi dengan non-Muslim, Islam menganjurkan sikap setara dan baik, namun tidak mengharuskan umat Islam untuk mengikuti praktik ibadah alias angan kepercayaan lain, seperti salam lintas kepercayaan yangg tidak sesuai dengan aliran Islam.

Selain itu, sabda yangg diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim menyebut bahwa “Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh” adalah salam yangg diperintahkan dalam Islam sebagai corak angan dan kehormatan antar sesama Muslim. Dengan demikian, salam lintas kepercayaan yangg diucapkan dengan angan alias ungkapan unik kepercayaan lain, dapat dipandang sebagai corak penghormatan terhadap iktikad lain yangg bertentangan dengan prinsip tauhid dalam Islam.

Pendapat Tokoh yangg Menentang Salam Lintas Agama

Tokoh penting, diantaranya Anwar Abbas (Ketua PP Muhammadiyah), menyuarakan ketidaksetujuannya terhadap salam lintas agama. Menurut Anwar, ucapan salam adalah bagian dari ibadah dalam Islam, yangg tidak bisa disamaratakan dengan praktek kepercayaan lain. Menurutnya, memberikan salam yangg diucapkan dengan angan kepada non-Muslim bertentangan dengan keagamaan dan menakut-nakuti kekhususan aliran Islam.

Baca juga, Islam dan Perubahan Iklim: Tanggung Jawab Manusia dalam Melindungi Bumi

Anwar Abbas menambahkan bahwa salam dalam Islam bukanlah sekadar ucapan selamat, melainkan sarana untuk mendoakan keselamatan dan kesejahteraan dalam pengertian yangg lebih dalam, yangg semestinya hanya bertindak antar sesama umat Muslim.

Sikap ini juga didukung oleh MUI, yangg menekankan bahwa umat Islam semestinya menghindari salam lintas kepercayaan lantaran bisa menodai prinsip-prinsip iktikad yangg telah ditetapkan dalam syariat. Pengucapan salam yangg datang dari kepercayaan lain, dengan angan dan maksud tertentu, dapat mencampuradukkan keagamaan dan membingungkan umat Islam mengenai batas dalam menjalankan ibadah.

Evaluasi Pandangan yangg Mendukung Salam Lintas Agama

Di sisi lain, ada pula pendapat yangg mendukung salam lintas kepercayaan dengan argumen menjaga nilai toleransi dan hubungan antar umat beragama. Mereka beranggapan bahwa salam lintas kepercayaan adalah corak penghargaan terhadap sesama manusia tanpa memandang perbedaan keyakinan. Beberapa politisi dan tokoh pemerintah memandang bahwa pengucapan salam lintas kepercayaan merupakan simbol kerukunan dan menunjukkan sikap terbuka terhadap keberagaman.

Namun, pendapat ini seringkali dipertanyakan, lantaran ada yangg berdasar bahwa praktik ini bisa menyebabkan umat Islam kehilangan identitas dan mengarah pada relativisme agama. Pendapat ini condong tidak sepenuhnya memperhatikan konteks iktikad dalam Islam yangg mengajarkan kejelasan dalam batas berinteraksi dengan kepercayaan lain.

Kesimpulan: Toleransi Tanpa Mengorbankan Akidah

Fenomena salam lintas kepercayaan menunjukkan adanya tumbukan antara nilai toleransi antar umat berakidah dengan prinsip-prinsip iktikad dalam Islam. Fatwa MUI menegaskan bahwa meskipun umat Islam dianjurkan untuk bertindak baik dan setara terhadap non-Muslim, tetap ada batas yangg kudu dijaga dalam berinteraksi, terutama mengenai dengan praktek ibadah yangg berkarakter eksklusif dalam kepercayaan Islam.

Penting untuk diingat bahwa toleransi dalam Islam tidak mengharuskan penghilangan perbedaan keyakinan, melainkan penghormatan terhadap kewenangan hidup dan martabat sesama. Oleh lantaran itu, salam yangg sesuai dengan aliran Islam adalah yangg mengandung nilai-nilai keagamaan yangg tidak mencampuradukkan angan dan angan dengan kepercayaan lain, agar umat Islam tetap menjaga identitas keagamaan dan tidak terjebak dalam praktik sinkretisme kepercayaan yangg bisa merusak kesucian tauhid.

Kritik terhadap salam lintas kepercayaan ini bukan hanya berasal dari fatwa MUI dan para ulama, melainkan juga dari tokoh-tokoh yangg menekankan bahwa praktik keagamaan kudu jelas dan tidak bisa dipolitisasi demi kepentingan tertentu.

Ass Editor : Ahmad; Editor : M Taufiq Ulinuha

Jumlah Pengunjung : 30

-->
Sumber pwmjateng.com
pwmjateng.com