Bepergian adalah pembelajaran nan berharga. Kira-kira begitu kalimat bijak nan diungkapkan beberapa orang bijak. Hal tersebut menunjukkan bahwa berjalan ke suatu tempat bakal menambahkan pelajaran dalam kehidupan entah dari sisi kognitif, afektif apalagi psikomotorik.
Kampus tempat kami menempuh pendidikan doktoral, Mustafa International University (MIU) Tehran dalam proses pendidikannya memberikan program kunjungan ke tempat-tempat berhistoris di Iran bagi mahasiswa asing. Program tersebut sudah termasuk dalam program danasiwa nan sedang saya tempuh. Kebetulan pengajar nan mengampu program tersebut adalah kepala bagian kebudayaan MIU Tehran ialah Sayyid Ali Imamzadeh. Di Iran Sayyid adalah panggilan bagi keturunan rasul, sama halnya panggilan sayid di Indonesia.
Di Iran sendiri para mahir kepercayaan pada tingkatan tinggi mempunyai karakter unik dalam berpakaian. Ditunjukkan dengan dipakainya Amamah di kepala mereka. Amamah sendiri mirip surban nan dililit melingkar. Ada dua warna Amamah, putih bagi ustadz nan bukan Sayyid/Habib, hitam bagi ustadz nan sekaligus Sayyid/Habib.
Tujuan dipakainya Amamah kepada mereka selain menjaga eksistensi kepercayaan Islam di Iran, juga berfaedah sebagai penanda bahwa mereka orang nan berilmu dan siap ditanyai perihal pengetahuan kepercayaan oleh umat. Bahkan jika berjumpa di jalan bukan hanya di dalam masjid. Sayyid Imamzadeh pengajar pendamping kami menggunakan Amamah hitam. Hal tersebut menunjukkan bahwa beliau ustadz dengan keilmuan nan tinggi sekaligus keturunan rasul. Pada hari itu juga beliau mengenakan Amamah hitam sekaligus busana Aba’ah (pakaian ustadz unik Iran)
Pada hari nan ditentukan untuk melakukan kunjungan budaya tersebut beliau datang sendiri dengan mobilnya. Di Iran kepemilikan mobil bukanlah perihal nan mewah. Semua orang nyaris mempunyai mobil dari bapak dapur dan satpam kampus kami hingga kepala kampus. Selain nilai mobil nan murah, bensin di Iran nan paling mahal hanya sekitar 3000 Rupiah per liter, menjadikan masyarakat Iran mudah mempunyai mobil.
Rombongan kami 6 orang, sehingga 3 di antara kami dipesankan Mobil ojek online untuk mengantarkan ke tempat tujuan. Sedangkan saya dan 2 kawan saya lainnya ikut di dalam mobil beliau. Pria 58 tahun tersebut rupanya tidak mempunyai asisten alias supir pribadi, mobil tersebut beliau sendiri nan menyetir.
Perasaan kami saat itu kombinasi campur antara sungkan dengan beliau. Namun kami tidak bisa melakukan apa-apa lantaran tentu kami tidak diperbolehkan menyetir di Iran. Padahal perjalanan dari kampus menuju letak pertama (Makam Imam Khomeini) lumayan jauh, sekitar 1 jam. Karena perihal tersebutlah saya lebih tertarik menulis tentang adab beliau (Sayyid Imamzadeh) daripada sejarah tempat nan kami kunjungi. Karena kisah tentang Imam Khomeini tentu sudah sangat masyhur.
Sesampainya kami di Makam Imam Khomeini, beliau menjelaskan banyak tentang perjuangan Imam Khomeini. Di tengah penjelasan akhirnya terbongkar bahwa beliau adalah siswa dari Dr. Mahmoud Boroujerdi, menantu dari Imam Khomeini. Akhirnya saya tidak heran memandang begitu luhurnya adab beliau. Tentu diturunkan dari Imam Khomeini melalui menantunya.
Selama di makam Imam Khomeini, saya mengawasi kebiasaan dari Sayyid Imamzadeh nan unik. Beliau selalu mempersilahkan kami untuk memasuki ruangan-ruangan terlebih dulu dan beliau berada di paling belakang sembari berdiri mempersilahkan saya dan kawan-kawan. Jika digambarkan, seperti seorang pelayanan rumah makan nan berdiri di depan pintu masuk mempersilahkan visitor untuk masuk ke dalam rumah makan. Mungkin gambaran tersebut agak kurang sopan untuk menggambarkan seorang Sayyid, namun memang begitulah kenyataanya.
Setelah puas keliling komplek makam Imam Khomeini kami duduk sejenak rehat di pelataran komplek tersebut, posisi duduk antar kami agak berjauhan. Tiba – tiba Sayyid Imamzadeh mengambil sesuatu dari mobilnya ialah kotak berisi kue. Namun anehnya beliau tidak menyuruh kami mendatangi mobilnya untuk mengambil kue tersebut.
Malah beliau memilih mendatangi kami satu persatu membawa kotak berisi kue dan mempersilahkan kami memakannya. Setelah selesai menghabiskan kue, kami beranjak ke letak kedua ialah makam beberapa wali Allah di Iran, tepatnya di kota Rei. Sekitar 30 menit dari letak pertama.
Sesampainya di komplek kunjungan Rei, beliau membujuk kami makan siang di restauran terdekat. Sistem di restauran tersebut pembeli kudu bayar terlebih dulu lampau mengantri mengambil makanan sendiri di tempat jurumasak nan sedang memasak sembari menyerahkan nota pembayaran. Beliau meminta kami untuk mencari tempat duduk terlebih dulu sembari menunggu beliau melakukan pembayaran. Setelah melakukan pembayaran beliau tidak kunjung datang ke meja kami. Saya dan salah satu kawan saya akhirnya mencari beliau.
Kami berdua terkejut memandang Sayyid Imamzadeh mengantri mengambilkan makanan buat kami. Antrian pada saat itu sekitar 20 orang di depannya. Segera kami mendatangi beliau lampau meminta beliau untuk duduk dan kami gantikan untuk mengantri. Sungguh tidak disangka beliau menolaknya. Kami sudah memaksa beliau untuk kami gantikan namun tetap beliau meminta kami duduk di meja saja.
Beliau juga menyampaikan kepada kami bahwa makanan nantinya diantar oleh pelayan restoran tersebut ke meja kami. Akhirnya kami menyerah untuk membujuk beliau. Hampir 10 menit beliau mengantri. Akhirnya jadi juga makanan pesanan kami. Namun hati kami bergetar ketika memandang nan mengantarkan makanan ke kami bukan pelayan restauran, namun Sayyid Imamzadeh.
Beliau mengantarkan 7 piring makanan kami dengan media meja sorong berjantera seperti nan biasa ada di restauran pada umumnya. Seketika kami reflek berdiri dan menjemput beliau, namun sayangnya beliau sudah sampai di depan meja kami. Rasa kombinasi campur kami rasakan. Namun dengan santainya Sayyid Imamzadeh terus melempar senyum kepada kami.
Setelah makan selesai, seperti biasanya kami berkeliling ke makam-makan para wali Allah nan berada disana untuk berziarah. Bagi saya pribadi, kunjungan adalah media menyerap pelajaran dari perjuangan wali-wali Allah dalam memperjuangkan kepercayaan Islam dan memajukan umat islam agar bisa diambil spiritnya di kehidupan berakidah saya saat ini.
Setelah puas berkeliling kunjungan ke makam 3 wali Allah di Rei, tiba-tiba Sayyid Imamzadeh membujuk kami makan eskrim. Awalnya kami menolak lantaran kami berfikir nantinya beliau bakal malu jika ada orang nan memandang seorang Sayyid makan eskrim. Meskipun kami sudah faham jika di Iran eskrim adalah makanan untuk semua kalangan bukan hanya untuk anak kecil.
Namun sekali lagi kami tidak sukses menolak rayuan beliau. Ketika pesanan eskrim wortel kami sampai di meja, Sayyid Imamzadeh berbicara “Ladies first, lampau kalian (mahasiswa) dan terakhir untuk seorang Sayyid” sembari tangannya membagikan dan menata eskrim di depan kami masing-masing.
Eskrim kami pun lenyap tanda waktunya pulang ke asrama. Keluar dari komplek tersebut tidak jauh dari pintu keluar terlihat ada toko kitab dan pernak pernik. Sayyid Imamzadeh tiba-tiba menyuruh kami menunggu lampau beliau melangkah sigap menuju toko tersebut. Ternyata beliau membelikan kami tasbih satu persatu.
Saat membagikan tasbih tiba-tiba ada seorang bapak dengan anaknya meminta Sayyid Imamzadeh untuk mendoakan anaknya. Hal itu bukan pertama kalinya kami memandang kejadian tersebut. Dalam perjalanan tak jarang beliau dimintai angan dan pendapat keagamaan oleh masyarakat nan lampau lalang di tempat wisata. Seperti nan telah saya jelaskan sebelumnya. Di Iran, ustadz nan menggunakan Amamah entah warna putih maupun hitam kudu siap-siap dicegat tiba-tiba untuk dimintai pendapat dan ilmunya.
Ketika bapak tersebut meminta Sayyid untuk mendoakan anaknya. Sayyid meminta bapak itu menunggu sebentar, seketika itu Sayyid bergegas melangkah sigap kembali ke toko. Ternyata Sayyid membelikan tasbih dan menghadiahkannya kepada anak tersebut. Sontak anak tersebut memunculkan wajah ceria setelahnya. Perjalanan kami tutup dengan kekaguman-kekaguman kami terhadap luhurnya adab beliau.
Sebagai keturunan nabi (Habib/Sayyid) beliau tidak meminta untuk diistimewakan oleh orang lain. Namun lantaran ketinggian pengetahuan dan akhlaknya, orang disekitarnya secara otomatis menghormati dan mencintainya. Sungguh layak jika beliau mendapatkan gelar sayid lantaran perilakunya memancarkan cinta dan orangpun mencintainya. Semoga para sayid di seluruh bumi bisa seperti itu juga. Sebagai obat kangen umat Islam terhadap rasulnya, Nabi Muhammad SAW.
Editor: Yusuf