Relasi Kristen-Islam: Masa Lalu, Sekarang, dan Harapan untuk Masa Depan - MuhammadiyahNews.com

Sedang Trending 1 minggu yang lalu

Sudah tiga kali Jum’at malam saya mendamping sahabat saya, Mun’im Sirry, memberikan kuliah webinar tentang relasi Kristen-Islam, masa lalu, sekarang, dan harapannya untuk masa depan (Program kerjasama PCRP Universitas Paramadina dan Yayasan Dian/Interfidei). Pertemuan semalam (29/11/24), merangkum dan mengkonseptualisasi dua pertemuan sebelumnya yangg menggambarkan suasana aktual relasi di masa lampau dan dewasa ini.

Karena menarik, uraian Mun’im saya coba menuliskan dan merefleksikan apa yangg disampaikan sahabat saya yangg memang sudah bertahun-tahun mendalami gimana relasi Kristen–Islam dan sebaliknya ini dalam sejarah dan pemikiran.

Menurut Mun’im, relasi antara Kristen dan Islam adalah sebuah perjalanan panjang yangg kaya dengan sejarah, pengalaman, dan dinamika yangg terus berubah. Kedua kepercayaan besar ini mempunyai banyak kesamaan, namun juga perbedaan yangg sering kali menjadi tantangan dalam membangun hubungan yangg harmonis.

Dalam upaya memahami relasi ini, dalam tiga kali pertemuan tersebut, Mun’im sudah menunjukkan gimana agama-agama ini (Kristen-Islam) terlibat dalam dialog, baik secara teologis maupun melalui hubungan sosial sehari-hari.

Menghubungkan Masa Lalu, Masa Kini, dan Masa Depan

Sejarah hubungan antara Kristen dan Islam mencatat beragam babak, mulai dari perbincangan intelektual hingga konflik, dari masa-masa penuh kerjasama hingga ketegangan yangg mendalam. Saat ini, bumi menghadapi tantangan besar seperti bentrok politik, stereotip, dan prasangka terhadap kepercayaan tertentu. Oleh lantaran itu, menurut saya, kuliah Mun’im ini krusial untuk merefleksikan masa lampau sebagai pelajaran dalam membangun masa sekarang dan masa depan yangg lebih baik.

Semalam, beberapa tokoh disebut Mun’im untuk memahami apa yangg terjadi dalam relasi Kristen-Islam dan sebaliknya. Talal Asad, seorang antropolog terkenal, menjelaskan kepercayaan sebagai “tradisi diskursif” – sebuah konsep yangg menggambarkan kepercayaan sebagai sesuatu yangg hidup, berinteraksi dengan beragam budaya dan kondisi zaman.

Agama, menurutnya, tidak berdiri tak bersuara tetapi terus berkembang. Shahab Ahmed menambahkan bahwa pendekatan “hermeneutical engagement” alias keterlibatan hermeneutik krusial untuk memahami teks suci dalam konteks era modern. Sementara itu, Thomas Bauer memperkenalkan pendapat tentang “budaya ambiguitas,” menyoroti bahwa keragaman tafsir dan pemahaman adalah bagian dari kekayaan agama, bukan kelemahan.

Mengubah Pendekatan: Dari Polemik ke Dialog

Menurut Mun’im, salah satu perubahan besar yangg perlu dilakukan dalam relasi Kristen-Islam adalah meninggalkan pendekatan lama yangg hanya berfokus pada pembuktian siapa yangg benar, alias yangg biasa dalam pemikiran antaragama disebut “prooftexting.” Pendekatan ini sering kali hanya mengutip ayat-ayat dari Alkitab alias Alquran untuk memperkuat posisi tertentu, tanpa memperhatikan konteks alias makna yangg lebih dalam.

Pendekatan yangg lebih baik adalah “reconnection” – menghubungkan kembali nilai-nilai inti kepercayaan dengan kehidupan manusia modern. Dialog yangg sehat tidak hanya mencari kebenaran semata, tetapi juga memahami gimana kedua kepercayaan ini (disebut oleh Pdt. Elga Sarapung, yangg ikut memberi komentar) dapat bekerja berbareng dalam memecahkan masalah bumi seperti kemiskinan, ketidakadilan, dan perubahan iklim.

Dialog di Masa Sulit

Menurut Mun’im, konteks bumi saat ini, dengan segala bentrok dan kecurigaan, membikin perbincangan antara Kristen dan Islam menjadi semakin penting. Salah satu tantangan utama adalah mengatasi prasangka alias istilah Elga, “udar prasangka”. Seperti yangg disebutkan oleh Dan Madigan, salah satu halangan besar dalam perbincangan ini adalah adanya “kecurigaan” dari kedua belah pihak. Dalam beberapa kasus, ada kecenderungan untuk “interpreting away” – memandang kepercayaan keyakinan lain sebagai kesalahan alias salah paham.

Menurut Mun’im, kepercayaan Kristen dan semestinya juga Islam dan semua agama, menawarkan konsep yangg menarik: “Gratuity is a Christian value.” Keikhlasan alias kemurahan hati adalah nilai utama yangg dapat menjadi dasar dialog. Jika perbincangan dilakukan tanpa syarat, dengan niat yangg tulus untuk saling memahami, maka relasi antara kedua kepercayaan ini dapat diperkuat.

Mengapa Dialog Doktrinal Penting?

Dari kuliah Mun’im Sirry dan komentar Elga Sarapung, dan tanggapan para peserta, saya mencatat bahwa perbincangan doktrinal, alias perbincangan yangg membahas aliran dan kepercayaan inti agama, sangat krusial lantaran tiga argumen utama:

Pertama, Keterbukaan Agama untuk Dipelajari: Kristen dan Islam adalah kepercayaan besar yangg mempunyai akibat global. Ajaran-ajarannya terbuka untuk dipelajari, dipahami, dan diajarkan, bukan hanya oleh penganutnya tetapi juga oleh orang lain. Dialog teologis membantu menggali makna terdalam dari ajaran-ajaran ini.

Kedua, Fenomena Global: Dalam era globalisasi, hubungan antaragama tidak dapat dihindari. Dialog antaragama menjadi langkah untuk membangun saling pengertian dalam bumi yangg semakin terhubung.

Ketiga, Syarat-Syarat Dialog yangg Penting: Dalam menjalankan perbincangan ini Mun’im menyebut pemikiran seorang tokoh, Catherine Cornille, yangg menekankan bahwa perbincangan lintas kepercayaan memerlukan kerendahhatian, komitmen, empati, keramahan, dan kemauan untuk menghilangkan mitos superioritas kepercayaan tertentu. Sikap-sikap ini krusial untuk menciptakan ruang di mana setiap orang merasa didengar dan dihormati.

Mengikis Mitos Superioritas

Mun’im menegaskan pandangan yangg pernah kontroversial dalam bumi perbincangan ini, salah satu halangan terbesar dalam perbincangan lintas kepercayaan adalah mitos bahwa satu kepercayaan lebih superior daripada yangg lain. Pandangan seperti ini tidak hanya memperburuk hubungan antaragama, tetapi juga menutup kemungkinan untuk belajar satu sama lain. Konsep seperti “scriptural reasoning” (penalaran berbareng melalui kitab suci) menawarkan pendekatan yangg lebih inklusif, di mana para pemuka kepercayaan Kristen dan Islam dapat mendiskusikan teks-teks mereka dalam suasana saling menghormati.

Selain itu, teologi pluralisme agama, yangg dikembangkan oleh para banyak ahli filsafat Kristen, seperti Paul Knitter, Jacques Dupuis, juga ahli filsafat Islam seperti Abdulaziz Sachedina, mendorong untuk membangun teologi yangg lebih terbuka terhadap agama-agama lain. Ini bukan berfaedah mengorbankan identitas agama, tetapi justru memperkaya pemahaman dengan memandang keberagaman sebagai anugerah.

Dari obrolan ini, saya menyimpulkan bahwa relasi Kristen-Islam, juga sebaliknya, kudu dipandang sebagai perjalanan berbareng untuk menciptakan bumi yangg lebih tenteram dan adil. Dalam bumi yangg penuh tantangan ini, kedua kepercayaan mempunyai peran besar untuk mengatasi masalah dunia seperti ketidakadilan sosial, kemiskinan, dan perubahan iklim. Dengan mendasarkan perbincangan pada nilai-nilai universal seperti keadilan, kasih, dan kemurahan hati, kepercayaan Kristen dan Islam dapat menjadi kekuatan positif di dunia.

Dari obrolan yangg sangat inspiratif semalam, saya menyimpulkan bahwa hubungan Kristen-Islam tidak hanya tentang perbincangan teologis, tetapi juga tentang membangun solidaritas dalam kehidupan sehari-hari. Dengan meninggalkan prasangka dan membuka diri untuk belajar satu sama lain, kedua kepercayaan ini dapat membangun jembatan pengertian yangg kuat.

Dialog yangg dilakukan dengan kerendahhatian, empati, dan kemurahan hati adalah kunci untuk menciptakan bumi yangg lebih harmonis. Semoga masa depan relasi ini menjadi teladan bagi hubungan antaragama di seluruh dunia, termasuk di Indonesia.

Terima kasih Mun’im untuk tiga kali kuliah yangg menginspirasi dan mencerahkan.

Editor: Soleh

-->
Sumber ibtimes.id
ibtimes.id