Oleh: Agusliadi Massere*
KHITTAH.CO – Sahabat pembaca, apakah kita pernah masuk kebun? Kemudian, kita rupanya bisa kembali pulang ke rumah. Apa yangg ditandai. Pada saat pernyataan dan pertanyaan ini, saya ajukan kepada siswa-siswi peserta pesantren kilat, semua menjawab jalanan. Selain itu, mereka semua mengiyakan dan membenarkan, bahwa jalanan itu tidak pernah secara sengaja dibentuk oleh siapa pun sebagai jalanan kebun.
Jalanan kebun terbentuk hanya lantaran sering dijalani dan/atau sering dilewati. Dari perihal ini, kita bisa memahami, bahwa ada satu norma alam alias disebut sunnatullah yangg sengaja diciptakan oleh Allah Swt di alam semesta dan di muka bumi ini. Sunnnatullah itu berjulukan habits, sesuatu yangg berulang alias dilakukan secara berkali-kali dipastikan menimbulkan jejak alias meninggalkan jejak.
Mekanisme habits (kebiasaan) sebagai salah satu sunnatullah alias norma alam dari Allah, algoritma, efek, dan/atau hasilnya memang seperti itu. Sunnatullah ini pun bertindak dalam diri manusia. Artinya, apa pun yangg diulang-ulang oleh seseorang itu bakal menjadi kebiasaan, algoritma selanjutnya bahwa selangkah lagi, sigap alias lambat, bakal menjadi karakter dalam dirinya.
Ada yangg menyebut karakter dan menyamakan maknanya dengan akhlak. Lalu kemudian didefenisikan sebagai kecenderungan hati (sikap alias attitude) yangg diikuti oleh perilaku (behavior). Tentu defenisi ini tidak keliru, tetapi jika memperhatikan alur terbentuknya karakter itu diawali dengan sikap (kecenderungan hati), kemudian lahir tindakan, kemudian tindakan ini diulang-ulang akhirnya menjadi kebiasaan, setelah itu barulah menjadi karakter. Sesuatu dipandang sebagai karakter jika tindakannya sebagai pancaran sikap bakal bereaksi merespons situasi secara spontan, mudah, penuh semangat, dan menunjukkan kecenderungan dan sifat yangg sama secara berulang setiap berhadapan dengan situasi.
Aktivitas pembentukan karakter dalam Islam—saya memahaminya dari kitab Islamic Character Building: Membangun Insan Kamil Cendekia Berakhlak Qurani (2014) karya Dr. Asep Zaenal Ausop, M.Ag—itu ada tiga: ta’lim, ta’dib, dan tarbiyah. Ketiganya ini mempunyai fungsi, orientasi, dan tujuan yangg berbeda. Begitu pun jika dikaitkan dengan sosok pengajarnya, berbeda-beda pula istilahnya.
Ta’lim berasal dari kata ‘allama, yaitu mengajar yangg tujuannya memberikan pengetahuan pengetahuan. Jadi ini sasarannya otak. Gurunya alias sosok pengajarnya disebut mu’allim. Ta’dib berasal dari kata adaba tujuannya membikin peserta didik beradab. Sasarannya adalah hati dan tujuannya membentuk peserta didik yangg berhati nurani. Gurunya disebut dengan istilah muaddib. Sedangkan, tarbiyah berasal dari kata rabb mengandung makna pemeliharaan. Sasaran tarbiyah meliputi seluruh sisi kemanusiaan yangg meliputi lima dimensi: tubuh, perilaku, kesadaran, nurani, dan ruh. Prosesnya biasanya berjalan 24 jam, tentunya dikurangi waktu tidur dan istirahat. Gurunya disebut murabbi.
Ketika, kita merenung untuk memahami dan menemukan nilai dan kesadaran mendalam di kembali bulan Ramadan, tentunya dengan semua ibadah yangg dilakukan, apalagi tidur pun bisa berbobot ibadah, maka tidak keliru jika kita menyebut Ramadan sebagai bulan Tarbiyah. Kemudian, siapa murabbi-nya. Semoga, saya tidak berdosa—sama sekali dalam hati dan pikiran ini, tidak ada niat untuk membangun kesejajaran posisi—murabbi-nya langsung Allah Swt.. Dan, inilah istimewanya bulan Ramadan daripada sebelas bulan yangg lainnya.
Ramadan sebagai bulan tarbiyah, muaranya ke mana alias bakal membentuk jenis karakter seperti apa. Saya percaya muaranya adalah membentuk karakter rabbani. Karakter rabbani dalam pandangan ini minimal menunjukkan sosok manusia yangg saleh, berilmu, senantiasa beragama kepada Allah, dan segala tindakan personal, dan terutama sosialnya berada dalam bingkai rida Allah dan berorientasi kebahagiaan dunia-akhirat.
Selain berasas defenisi, sunnatullah, proses algoritmik, dan pola alias alur pembentukan karakter yangg dijelaskan di atas, pembentukan karakter rabbani bagi seseorang, sesungguhnya itu adalah tujuan utama dalam hidupnya. Bahkan, manusia mempunyai sejenis chip ilahiah berupa janji suci alias komitmen ilahiah pada saat ruh bakal ditiupkan ke dalam janinnya.
Ketika Allah mengatakan “Alastu birabbikum” (Bukan saya ini Tuhanmu?). Allah tidak bertanya “Man rabbuka” (siapa Tuhanmu?), lampau ruh kita menjawab “Bala syahidna” (ya, kami bersaksi). Maka, itulah komitmen ilahiah kita, yangg dibawa berbareng kelahiran manusia di muka bumi, sebagai chip ilahiah.
Dalam perjalanan kehidupan di muka bumi ini—di mana bumi seumpama terminal, tempat singgah untuk menyiapkan bekal yangg bakal dibawa untuk melanjutkan perjalanan menuju akhirat—itu bukanlah jalan tol. Ada banyak bujukan yangg membikin janji suci terlupakan. Apatah lagi manusia dalam makna al-insan memang mempunyai potensi lupa. Al-insan itu sendiri berasal dari kata nasiya yang artinya lupa. Untuk dipahami bersama, manusia dalam al-Qur’an, selain disebut al-insan, juga disebut bani adam, al-basyar, dan an-nas.
Ketika bulan Ramadan mempunyai daya magnetis yangg kuat, begitu pun daya gugah yangg menggerakkan hati umat untuk melaksanakan ibadah sepanjang hari nyaris 24 jam, dan semua itu dilaksanakan dengan penuh ketulusan semata-mata oleh daya ketaatan kepada Allah, maka sejatinya tidak ada teori dan norma apa pun yangg bisa membantah, menolak, dan menggagalkan terbentuknya karakter rabbani. Adapun, jika dalam realias kehidupan, terkesan ada orang-orang yangg berpuasa, kemudian karakternya justru paradoks dengan perihal itu, itu murni lantaran yangg berkepentingan bisa saja belum mengikuti algoritma bulan Ramadan dan puasa itu sendiri dengan betul dan baik.
Di tengah kehidupan yangg berlari kencang, menghilangkan banyak batas-batas kehidupan, dan termasuk telah terjadinya kekacauan orgnisme tubuh, satu saja sebagai contoh, di mana organ kepala telah berubah menjadi dengkul, sehingga hari ini, kita lebih banyak bertindak daripada berpikir, maka karakter rabbani adalah sesuatu yangg sangat krusial untuk dibentuk dalam diri. Termasuk pula, ketika mesin gairah dan keserakahan terus melakukan reproduksi, menggandakan, dan memperluas dirinya, maka karakter rabbani bisa menjadi langkah untuk menghentikannya.
Ketika the love of power (cinta kekuasaan) bisa menjadi lahan tandus bagi tumbuh suburnya nilai-nilai agama, moralitas, termasuk Pancasila yangg mengandung nilai-nilai yangg bakal menuntun dalam menjalani kehidupan berbangsa dan bernegara, maka dengan karakter rabbani yang ada dalam diri, justru sebaliknya bakal mematikan dan melumpuhkan spirit cinta kekuasaan tersebut. Karakter rabbani tentunya bakal membingkai prinsip yangg melekat dalam diri setiap orang, sedangkan kita memahami berbareng bahwa prinsip punya daya pengaruh yangg kuat dalam memengaruhi setiap sikap, tindakan, dan keputusan.
Karakter rabbani yang bernapaskan nilai-nilai ilahiah sudah pasti tidak hanya membentuk kesalehan perseorangan seseorang yangg segala orientasi hidup dan ibadahnya diarahkan hanya pada surga-neraka semata untuk dirinya. Karakter rabbani pun bakal membentuk kesalehan sosial sehingga bakal bisa mengaplikasikan kegunaan kepercayaan yangg mempunyai sistem institusional, dalam makna mempunyai keahlian untuk mengubah kondisi kehidupan yangg ada menjadi lebih baik, positif, produktif, konstruktif, kontributif, dan fungsional.
Karakter rabbani pun sejalan dengan kegunaan kekhalifahan manusia dan penegasan Allah, bahwa hantu dan manusia diciptakan hanya untuk beribadah. Beribadah dalam makna yangg saya konstruksi, dan saya percaya tidak bertentangan dengan substansinya, apalagi bisa jadi makna ini sangat esensial adalah segala aktivitas keseharian, apa lagi aktivitas yangg berangkaian dengan orang lain, bakal senantiasa dalam bingkai rida Allah. Jadi beragama bukan hanya dalam konteks melaksanakan rukun Islam yangg dimuarakan pada lahirnya kesalehan pribadi dan orientasi surga semata.
Karakter rabbani akan bisa menjaga posisi kemuliaan homo sapiens, di mana akal/pikiran dan kalbu/perasaan bakal senantiasa terarah pada sesuatu yangg positif, produktif, dan konstruktif. Karakter rabbani pun bakal bisa menjaga keseimbangan antara eksistensi manusia dan prinsip aliran Islam.
Kita mungkin telah memahami bersama, bahwa eksistensi manusia itu adalah akal/pikiran, rasa/kalbu, dan jasad. Di mana dalam prosesnya agar bisa membedakan benar-salah, baik-buruk, dan indah-jelek, dipandu oleh logika, etika, dan estetika. Ketiganya ini masing-masing logika sinergis dengan ilmu, etika sinergis dengan iman, dan estetika sinergis dengan amal. Dan ini adalah prinsip aliran Islam.
Sumber gambar: republika.co.id
*Pemilik Pustaka “Cahaya Inspirasi”, Wakil Ketua MPI. PD Muhammadiyah Bantaeng, dan Pegiat Literasi Digital & Kebangsaan.
Post Views: 29