Wakaf merupakan corak muamalah-maliah nan sangat lama. Muamalah-maliah ini mengalami perkembangan nan cukup pesat, sehingga menjadi “institusi sosial” dalam pengembangan kepercayaan maupun lembaga keagamaan di beragam kalangan masyarakat Islam. Bahkan per hari ini ada nan dinamakan wakaf produktif.
Tentang Wakaf
Di beberapa negara Islam sudah mengembangkan wakaf berupa tanah pertanian, perkebunan, uang, saham dan sebagainya, selain sarana dan prasarana ibadah dan pendidikan. Dengan begitu, wakaf bisa menjadi pengembangan pengetahuan pengetahuan dan kesejahteraan masyarakat.
Perubahan wakaf nan paling besar telah dilakukan pada masa perkembangan Islam di Madinah. Pada saat itu, wakaf sangat bervariatif dan telah mengalami orientasi dari kepentingan kepercayaan semata menuju kepentingan masyarakat.
Dimulai situlah masyarakat di era sahabat telah mengenal corak wakaf produktif, sehingga mereka mencetuskan adanya wakaf family untuk membangun permodalan nan dirasakan manfaatnya oleh seluruh personil family dan keturunan orang nan mewakafkan hartanya dari hasil pengembangan kekayaan itu di masa-masa mendatang.
Peran wakaf bagi masyarakat Indonesia juga sangat signifikan. Wakaf menjadi penunjang perkembangan pendidikan dan ekonomi Indonesia. Tidak sedikit, rumah ibadah, perguruan tinggi dan lembaga-lembaga keagamaan nan dibangun di atas tanah wakaf.
Kendati demikian, pengaturan sumber norma perwakafan meliputi tata cara, prosedur dan praktik perwakafan di Indonesia bisa dibilang baru. Dengan dikembangkannya wakaf secara produktif, wakaf dapat dijadikan salah satu lembaga nan diandalkan pemerintah untuk mewujudkan kesejahteraan bangsa.
Pengetahuan Islam dalam pembaharuan terhadap penafsiran oleh kalangan Ulama telah terjadi. Hal ini bisa kita lihat ketika Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, Amien Al-Khuli, dan Fazlur Rahman, Nashr Hamid, juga di Indonesia ada Buya Hamka dan sampai nan sekarang lagi eksis adalah Abdullah Saeed, mempunyai andil nan besar dalam pertarungan tafsir modern nan popular dengan julukan Hermeneutika Al-Qur’an.
Munculnya Paradigma Wakaf Produktif
Munculnya paradigma tentang wakaf produktif merupakan suatu upaya transformasi dari pengelolaan wakaf nan tradisional menjadi pengelolaan wakaf nan professional untuk meningkatkan dan menambah pengetahuan tentang wakaf.
Wakaf produktif sendiri sejatinya belum dikenal pada masa lampau, walaupun esensinya telah ada sejak adanya hukum wakaf pada masa Rasulullah Saw. Contohnya Utsman bin Affan membeli sumur dan mewakafkan sumur itu untuk umat Islam. Pembahasan wakaf produktif baru muncul pada abad pertengahan.
Sejatinya di dalam Al-Qur’an tidak dijelaskan begitu terang tentang makna wakaf. Tetapi para ustadz sepakat di dalam Al-Qur’an nan dimaksud wakaf disini adalah infaq. Sebab dasar digunakan para ustadz dalam menerangkan konsep wakaf ini didasarkan pada temuan ayat-ayat Al-Qur’an nan menjelaskan tentang infaq. Di antaranya adalah surat Al-Baqarah ayat 261-263 dan Ali-‘Imran ayat 92.
Pada dasarnya ayat-ayat tersebut mengisahkan tentang orang-orang nan menafkahkan hartanya di jalan Allah SWT. Maka dari itu penulis bakal menerangkan surat dan ayat tersebut dari penafsiran tafsir Al-Manar.
Surah Al-Baqarah ayat 261-263: Tentang Wakaf Produktif
مَثَلُ الَّذِيْنَ يُنْفِقُوْنَ اَمْوَالَهُمْ فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ كَمَثَلِ حَبَّةٍ اَنْۢبَتَتْ سَبْعَ سَنَابِلَ فِيْ كُلِّ سُنْۢبُلَةٍ مِّائَةُ حَبَّةٍ ۗ وَاللّٰهُ يُضٰعِفُ لِمَنْ يَّشَاۤءُ ۗوَاللّٰهُ وَاسِعٌ عَلِيْمٌ ٢٦١ اَلَّذِيْنَ يُنْفِقُوْنَ اَمْوَالَهُمْ فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ ثُمَّ لَا يُتْبِعُوْنَ مَآ اَنْفَقُوْا مَنًّا وَّلَآ اَذًىۙ لَّهُمْ اَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْۚ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُوْنَ ٢٦٢ ۞ قَوْلٌ مَّعْرُوْفٌ وَّمَغْفِرَةٌ خَيْرٌ مِّنْ صَدَقَةٍ يَّتْبَعُهَآ اَذًى ۗ وَاللّٰهُ غَنِيٌّ حَلِيْمٌ ٢٦٣
Perumpamaan (nafkah nan dikeluarkan oleh) orang-orang nan menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir bibit nan menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa nan Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui. (261) Orang-orang nan menafkahkan hartanya di jalan Allah, kemudian mereka tidak mengiringi apa nan dinafkahkannya itu dengan menyebut-nyebut pemberiannya dan dengan tidak menyakiti (perasaasn si penerima), mereka memperoleh pahala di sisi Tuhan mereka. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka berduka hati. (262) Perkataan nan baik dan pemberian maaf lebih baik dari infak nan diiringi dengan sesuatu nan menyakitkan (perasaan si penerima). Allah Maha Kaya lagi Maha Penyantun. (263) (Q.S. al-Baqarah (2): 261- 263)
Penafsiran Muhammad Abduh
Allah SWT membikin perumpamaan orang-orang nan menafkahkan alias menginfakan hartanya di jalan Allah dengan sebutir benih. Sebagaimana nan disifatkan oleh Allah dalam ayat tersebut. Frasa ” في سبيل الله” ditafsirkan oleh ‘Abduh dengan kemaslahatan umat nan dapat menghantarkan kepada ridha Allah SWT.
Perumpamaan mereka seperti menabur bibit di tanah nan subur, sehingga menghasilkan hasil nan berlipat ganda. Adapun segi persamaan antara “meginfakkan kekayaan di jalan Allah” dengan “sebutir bibit nan menumbuhkan tujuh bulir. Pada tiap-tiap bulir seratus biji, lantaran mereka nan menginfakkan hartanya di jalan Allah bakal mendapatkan ganjaran di bumi nan berlipat ganda.
Islam sejak dulu telah memberikan perhatian nan besar terhadap infak. Sehingga kata tersebut dalam beragam hubungannya terulang sebanyak 73 kali di dalam al-Qur’an. Allah menambahkan ganjaran terhadap perbuatannya dengan tambahan nan tidak terduga dan tidak terhitung.
Penafsiran ‘Abduh mengenai makna “في سبيل الله” dengan “kemaslahatan ummat” menunjukkan bahwa penafsirannya sangat serat dengan aspek sosial-kemasyarakatan. Dengan demikian, infak nan diperumpakan dengan “sebutir bibit nan menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji” sebagaimana pada ayat tersebut adalah infak nan dapat memberikan pengaruh bagi kemaslahatan umat.
Penafsiran ini berbeda dengan beberapa kitab tafsir lainnya. Sebut saja Tafsir al-Misbah, Tafsîr Al-Kasysyâf,dan Tafsîr Mafâtih Al-Ghaib. Fakhruddîn ar-Râzî menjelaskan bahwa maksud kata fî sabîlillâh adalah musuh dari kata fî sabîli ath-Thâghût. Kata tersebut terletak pada niat seseorang nan menginfakkan hartanya, baik manfaatnya untuk kepentingan umat alias lantaran ridha Allah SWT.
***
Pada ayat selanjutnya, ialah pada Q.S. al-Baqarah (2): 262, Allah menjelaskan karakter orang nan layak mendapatkan ganjaran tersebut. Abduh berbicara bahwa untuk mendapatkan ganjaran tersebut, orang nan berinfak kudu memenuhi satu syarat, ialah kudu meninggalkan Al-Manna dan Al-Adza.
Ia menjelaskan bahwa secara bahasa, makna al-manna (المن) adalah orang nan memberikan kebaikan menyebut-nyebut kebaikannya di depan orang nan diberikan kebaikan, sehingga tampak keutamaannya pada orang nan diberikan kebaikan tersebut. Sedangkan makna al-adzâ (الاذى) lebih umum daripada makna al-manna (المن) di antaranya adalah orang nan memberikan kebaikan menyebut-nyebut kebaikannya di hadapan orang lain.
Kandungan dalam QS. Al Baqarah ayat 261 menjelaskan tentang perumpamaan nan disebutkan oleh Allah tentang keistimewaan menginfaqkan hartanya (bagi mereka nan berpunya) di jalan Allah maka bakal dilipatgandakan pahala pada mereka nan tulus melaksanakannya.
Nilai infaq tidak perlu diiringi dengan menyebut-nyebut pemberian tersebut nan bakal menyakiti hati si penerima. Bahkan jika tidak mau alias belum bisa berinfaq, maka perkataan nan baik dan pemberian maaf itu lebih baik daripada memberi namun menyakiti hati si penerima.
Dari sisi nan lain, pemberian dengan menyebut-nyebut apa nan diberikan tersebut adalah sia-sia belaka, tidak ada pahala dan kebaikan apapun nan diperoleh si pemberi jika dia melakukan perihal itu.
Surah Ali Imran ayat 92: Wakaf Produktif di Masa Rasul
لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتّٰى تُنْفِقُوْا مِمَّا تُحِبُّوْنَ ۗوَمَا تُنْفِقُوْا مِنْ شَيْءٍ فَاِنَّ اللّٰهَ بِهٖ عَلِيْمٌ ٩٢
Artinya: “Kamu sekali-kali tidak bakal memperoleh amal (yang sempurna) sebelum Anda menginfakkan sebagian kekayaan nan Anda cintai. Apa pun nan Anda infakkan, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui tentangnya.” (QS. Ali ‘Imran: 92)
Asbabun Nuzul dalam surat Ali Imran ayat 92 dijelaskan dalam makna Al-Birr, ialah telah menceritakan kepada kami Rauh, telah menceritakan kepada kami Malik, dari Ishaq, dari Abdullah ibnu Abu Talhah nan pernah mendengar dari Anas ibnu Malik, bahwa Abu Talhah adalah seorang Anshar nan paling banyak mempunyai kekayaan di Madinah, dan tersebutlah bahwa kekayaan nan paling dicintainya adalah Bairuha (sebuah kebun kurma) nan letaknya berhadapan dengan Masjid Nabawi.
Nabi ﷺ sering memasuki kebun itu dan meminum airnya nan segar lagi tawar. Sahabat Anas melanjutkan kisahnya, bahwa setelah diturunkan firman-Nya nan mengatakan: Kalian sekali-kali tidak bakal sampai kepada amal (yang sempurna) sebelum kalian menafkahkan sebagian kekayaan nan kalian cintai. (Ali Imran: 92)
Lalu Abu Talhah berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah berfirman: ‘Kalian sekali-kali tidak sampai kepada amal (yang sempurna) sebelum kalian menafkahkan sebagian kekayaan nan kalian cintai’ (Ali Imran: 92), dan sesungguhnya hartaku nan paling saya cintai adalah kebun Bairuha ini, dan sekarang Bairuha saya sedekahkan agar saya dapat mencapai amal melaluinya dan sebagai simpananku di sisi Allah. Maka saya minta sudilah engkau, wahai Rasulullah, mempergunakannya menurut apa nan diperlihatkan oleh Allah kepadamu.”
Maka Nabi ﷺ menjawab melalui sabdanya: Wah, wah, itu kekayaan nan menguntungkan, itu kekayaan nan menguntungkan; dan saya telah mendengarnya, tetapi saya beranggapan hendaklah Anda memberikannya kepada kaum kerabatmu. Abu Talhah menjawab, “Akan saya lakukan sekarang, wahai Rasulullah.” Lalu Abu Talhah membagi-bagikannya kepada kaum kerabatnya dan anak-anak pamannya.
***
Adapun firman Allah SWT وَمَا تُنْفِقُوْا مِنْ شَيْءٍ فَاِنَّ اللّٰهَ بِهٖ عَلِيْمٌ yakni tidak ada nan tersembunyi baginya apakah itu sesuatu nan disenangi oleh kalian dan adanya ketundukan dalam menginfakkannya dan apakah kalian tulus dalam menginfakan alias mewakafkan alias juga kalian hanya mau pamer dan mau terkenal agar dapat dipandang. Maka Allah SWT memberikan ganjaran atas apa nan kalian infakkan sesuai dengan niatnya.
Banyak dari orang nan menginfakkan kekayaan nan dia sukai dan dia tidak selamat dari sifat riya’. Begitu juga orang fakir, banyak dari mereka nan tidak bisa mendapatkan nan dia sukai, kemudian dia menafkahkan sebagian hartanya nan dia tidak senangi. Sehingga jika dia mendapatkan apa nan dia senangi, maka dia ragu untuk menafkahkan seluruh hartanya tersebut.
Editor: Soleh