Puasa, dalam konteks agama, telah menjadi sebuah ritual yangg melampaui sekadar menahan diri dari makan dan minum. Lebih dari sekadar tanggungjawab keagamaan, puasa mempunyai makna mendalam yangg mencakup aspek spiritual, moral, dan sosial.
Dalam Islam, misalnya, puasa Ramadan tidak hanya tentang menahan diri dari makan dan minum dari fajar hingga terbenamnya matahari, tetapi juga tentang introspeksi, pembersihan spiritual, dan sarana menguatkan solidaritas sosial.
Salah satu ayat Al-Qur’an yangg menjadi dalil dari hukum puasa adalah surah Al-Baqarah [2]: 183 yangg berbunyi:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَۙ
“Wahai orang-orang yangg beriman, diwajibkan atas Anda berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum Anda agar Anda bertakwa.”
Menurut penjelasan dari Tafsir Kemenag, adanya hukum melaksanakan puasa dalam ayat di atas mempunyai beberapa hikmah seperti mempertinggi budi pekerti, menimbulkan kesadaran dan kasih sayang terhadap orang-orang miskin, orang-orang lemah yangg tidak bisa memenuhi kebutuhan hidupnya, melatih jiwa dan jasmani, menambah kesehatan dan lain sebagainya. Hal ini menandakan bahwa hikmah yangg terkandung dalam hukum puasa meliputi kebaikan baik secara perseorangan maupun sosial.
Puasa: Syariat yangg Bermanfaat bagi Setiap Umat
Ali Al-Shabuni dalam Tafsir Rawai’ Al-Bayan (Jilid 1, hal. 216-218) berangkaian dengan ayat di atas memberikan penafsiran bahwa puasa merupakan hukum Allah bagi seluruh umat dan telah menjadi tanggungjawab bagi semua orang Islam.
Pada bagian hikmah al-tashri’ (hikmah syariat), Al-Shabuni juga menjelaskan salah satu dari hikmah disyariatkannya puasa ialah untuk memupuk rasa kasih dan empati, sehingga dalam perihal ini solidaritas sosial muncul dalam corak kehendak untuk menolong sesama melalui sikap kedermawanan yangg dilakukan saat berada di bulan Ramadan.
Quraish Shihab pun mempunyai pendapat yangg senada bahwa hukum puasa merupakan hukum yangg begitu krusial dan berfaedah bagi setiap orang apalagi suatu golongan sosial. Hal ini menurut penjelasannya dalam Tafsir Al-Mishbah (Jilid 1, perihal 400-403) dikarenakan puasa alias al-siyam (menahan diri) memang diperlukan oleh setiap orang, baik di masa lampau alias di masa sekarang; miskin alias kaya; tua alias muda; masyarakat modern alias masyarakat kuno; dan lain sebagainya.
Sementara itu, praktik puasa sendiri juga dapat ditemui dalam budaya umat terdahulu maupun aliran agama-agama yangg lainnya, meskipun pada tata langkah pelaksanaannya tentu mempunyai perbedaan dengan puasanya umat Islam seperti saat di bulan Ramadan. Hal ini menurut Wahbah Al-Zuhaili merupakan tanggungjawab dari Allah Swt yangg memang ditujukan kepada seluruh manusia, terutama bagi orang-orang beragama seperti halnya bagi para pemeluk agama-agama yangg lain sejak era Nabi Adam AS.
Sambung Al-Zuhaili dalam Tafsir Al-Munir (Jilid 1, hal. 496-498) kembali menjelaskan maksud dari perihal di atas adalah sebagai corak rekomendasi sekaligus motivasi kepada manusia untuk berpuasa, karena sesuatu yangg sulit–dalam perihal ini adalah puasa–apabila dikerjakan juga oleh semua orang tentu bakal terasa lebih mudah untuk dilakukan.
Menurut Al-Zuhaili, puasa juga mempunyai beberapa aspek krusial dalam memupuk ketakwaan seperti dapat memunculkan rasa cinta kasih untuk saling memberi dan adanya konsep kesetaraan dalam perihal penyelenggaraan tanggungjawab sebagai corak kemaslahatan sosial.
Lebih dari Sekadar Kewajiban Agama, Tapi Juga Penguat Solidaritas Sosial
Dari tiga penafsiran yangg telah dipaparkan di atas, hukum puasa nyatanya tidak hanya sekadar ibadah individual dan terbatas pada lingkup kepercayaan Islam. Akan tetapi, hukum ini juga turut memberikan sebuah pembelajaran moral sekaligus penguat dalam perihal solidaritas sosial.
Dalam mencapai tujuan dari hukum puasa ialah takwa, kiranya seseorang yangg berpuasa juga perlu untuk menjaga ucapan dan pandangannya, menghindari gibah, tidak mengadu domba dan segala perbuatan yangg sifatnya memecah belah antara sesama manusia.
Pemahaman seperti ini rasanya sangat relevan di era sekarang terutama di Indonesia dengan segala keberagaman umatnya. Selain itu, menurut Tafsir At-Tanwir (Jilid 2, hal. 100), hukum puasa juga merupakan sarana pengokohan ketaatan dan pembentukan sikap peduli sesama di samping statusnya sebagai suatu tanggungjawab agama.
Namun, lebih lanjut dalam Tafsir At-Tanwir dijelaskan agar hukum puasa tidaklah dilakukan hanya sekadar sebagai formalitas kepercayaan dan rutinitas belaka. Nabi Saw pun berangkaian dengan perihal ini memberikan teguran melalui salah satu sabdanya agar umat Islam dapat memahami prinsip dari hukum ini. Sabda tersebut sebagaimana dicantumkan dalam kitab Sahih al-Bukhari nomor sabda 6057 adalah sebagai berikut:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّوْرِ وَالْعَمَلَ بِهِ وَالْجَهْلَ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةً أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَه
“Dari Abū Hurairah (diriwayatkan bahwa) dia berkata: Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa yangg tidak meninggalkan berbicara dan melakukan bohong serta kejahilan, maka Allah tidak memerlukan orang itu meninggalkan makan dan minumnya.”
***
Dalam perihal ini, Tafsir At-Tanwir turut menyorot kondisi di Indonesia yangg tetap marak terjadi praktik korupsi di tengah masyarakatnya yangg giat berpuasa. Hal ini merupakan sebuah ironi mengingat hukum puasa sendiri ditujukan agar dapat membentuk insan yangg bertakwa. Pribadi yangg bertakwa di sini dimaknai dalam Tafsir At-Tanwir sebagai orang yangg beragama dan beragama secara intens kepada Allah Swt serta berkomitmen untuk membangun solidaritas sosial dan memajukan kesejahteraan sesama.
Dari penjelasan Tafsir at-Tanwir di atas, praktik puasa mengandung nilai-nilai solidaritas sosial yangg memperkuat ikatan antarindividu dan masyarakat. Salah satu aspek yangg paling menonjol dari puasa adalah pengalaman berbareng dalam menahan diri. Alhasil, praktik puasa telah menciptakan pengalaman empati yangg mendalam, mendorong perseorangan untuk merasa terhubung dengan orang lain dan meningkatkan rasa kepekaan terhadap penderitaan mereka.
Itulah salah satu prinsip solidaritas sosial yangg terkandung dalam puasa: kesadaran bakal kebutuhan berbareng dan tanggungjawab untuk membantu sesama manusia. Banyak umat Islam menjadikan bulan Ramadan seperti saat ini sebagai waktu untuk melakukan kebaikan dan memberikan infak kepada orang-orang yangg membutuhkan, sehingga memperkuat ikatan sosial di antara mereka. Misalnya, budaya bagi-bagi takjil cuma-cuma di Indonesia yangg turut mewarnai momen puasa Ramadan di setiap tahunnya.
Sampai sini kiranya telah tampak solidaritas sosial yangg terkandung dalam hukum puasa melibatkan sikap peduli sesama, berbagi kebaikan, dan saling menghargai. Dalam konteks yangg lebih luas, puasa mengajarkan pentingnya empati, perhatian terhadap orang lain, dan kesadaran sosial yangg merupakan fondasi dari solidaritas sosial yangg sejati.
Dengan demikian, hukum puasa tidak hanya menjadi sebuah ritual keagamaan, melainkan juga sebuah wahana untuk memperkuat solidaritas sosial dan membangun hubungan yangg lebih kuat di antara personil masyarakat. Melalui perihal ini, diharapkan bisa memberikan sebuah pengajaran bakal pentingnya berbagi, peduli, dan saling menghargai, yangg merupakan nilai-nilai dalam membangun masyarakat yangg lebih inklusif dan harmonis.
Wallahu a’lam bishawab
Editor: Soleh