Politik identitas No, Politik Programatik Yes! Bagaimana Respons Muhammadiyah? - MuhammadiyahNews.com

Sedang Trending 1 tahun yang lalu

Jagad politik Indonesia kembali ramai mengenai rumor Politik Identitas pada Perhelatan Pemilu tahun 2024. Wacana ini kembali menguat disaat Ketua Umum Partai Umat menyampaikan secara terang-terangan sikap politiknya yangg bakal menggunakan Politik Identitas pada Pemilu 2024 (bbc.com/13/2/2023).

Wacana ini menjadi pro-kontra di kalangan pengamat dan praktisi politik Indonesia termasuk di kalangan Muhammadiyah.

Lantas gimana semestinya sikap politik penduduk Muhammadiyah menyikapi wacana dan aktivitas politik tersebut?

Menurut irit saya, penduduk Muhammadiyah kudu menolak wacana dan aktivitas tersebut. Muhammadiyah perlu mendorong partai politik di Indonesia, terutama Partai Islam, lebih bergerak pada aktivitas politik programatik daripada politik identitas. “Politik Identitas No, Politik Programatik Yes!

Politik identitas adalah sebuah perangkat politik suatu golongan seperti etnis, suku, budaya, kepercayaan alias yangg lainnya untuk tujuan tertentu, misalnya sebagai corak perlawanan alias sebagai perangkat untuk menunjukan jati diri suatu golongan tersebut.

Identitas dipolitisasi melalui interpretasi secara ekstrim. Tujuannya untuk mendapat support dari orang-orang yangg merasa ‘sama’, baik secara ras, etnisitas, agama, maupun komponen perekat lainnya.

Politik identitas, menurut Abdillah (2002), merupakan politik yangg konsentrasi utama kajian dan permasalahannya menyangkut perbedaan-perbedaan yangg didasarkan atas asumsi-asumsi bentuk tubuh, politik etnisitas alias primordialisme, dan pertentangan agama, kepercayaan, alias bahasa.

Identitas adalah fitrah manusia yangg diberikan oleh Sang Pencipta (Tuhan) yangg setiap orang tidak bisa memilih alias protes. Artinya, sudah tidak semestinya dijadikan perangkat kampanye politik untuk meraih simpati.

Sehingga, biarkan saja identitas yangg fitrah tersebut jangan ditarik-tarik pada wilayah politik praktis. Maka, semestinya partai politik di Indonesia terutama Partai politik Islam lebih mengusung politik programatik.

Jika pola alias pilihan model kampanye dengan mengusung identitas untuk meraup bunyi maka sangat berpotensi pada bentrok antarkelompok politik dan dapat berakibat pada perpecahan bangsa Indonesia yangg majemuk.

Sebab, merawat kemajemukan memerlukan sikap saling menghargai disparitas untuk saling sapa dan memberi ruang aktivitas yangg sama. Sehingga kudu dihindari upaya-upaya yangg menimbulkan fanatisme identitas alias chauvinisme politik salah satunya menghindari penajaman perbedaan identitas yangg fitrah.

Menurut saya, pilihan tepat dan semestinya bagi partai politik Islam agar dapat meraih bunyi dan simpati pemilih/masyarakat yangg majemuk seperti Indonesia ini adalah mengusung politik programatik bukan politik identitas.

Politik programatik adalah politik yangg berorientasi pada pola alias agenda penyelesaian secara strategis taktis persoalan masyarakat. Mulai dari persoalan pendidikan, kesehatan, kesempatan kerja, prasarana desa, lingkungan, kemiskinan, kesejahteraan buruh, guru, pekerja migran, anak punk, anak jalanan, dan sebagainya dengan angan mereka dapat hidup layak dan sejahtera.

Bukan malah dieksploitasi identitasnya untuk demi kepentingan pribadi dan kelompoknya. Sebagaimana dalam norma fiqih, tasharuf ‘al pemimpin ‘ala ra’iyatihi manuthun bil maslahah (Kebijakan pemimpin (Partai Politik) terhadap rakyatnya haruslah berorientasi untuk kesejahteraan umat/rakyatnya).

Artinya, aktivitas alias program partai politik itu mengarah alias berorientasi terhadap kesejahteraan rakyat bukan hanya untuk pngurus dan kelompoknya saja.

Dan kenapa partai Islam di setiap Pemilu dari era orde lama hingga orde reformasi selalu kalah?

Menurut kajian saya, salah satunya adalah Partai Islam condong mengusung agenda program politik identitas daripada politik programatik.

Pilihan politik identitas tersebut bagi masyarakat terasa melangit dan terkesan belum membumi untuk terlibat langsung dan konkret menyelesaikan problem masyarakat terutama masyarakat marginal alias lemah (mustadh’afin).

Padahal secara real/nyata bagi masyarakat yangg dibutuhkan adalah program nyata untuk menyelesaikan secara praktis persoalan hidupnya bukan sekedar janji manis alias janji-janji normatif. Tentu untuk membuktikan pandangan ini dibutuhkan riset mendalam. (*)

-->
Sumber majelistabligh.id
majelistabligh.id