Pilkada Dua Putaran, Dosen FH UMM Beberkan soal Aturan dan Dampaknya - MuhammadiyahNews.com

Sedang Trending 1 minggu yang lalu

KLIKMU.CO – Pemilihan kepala wilayah (Pilkada) di Indonesia memunculkan obrolan menarik tentang sistem dua putaran. Hal ini juga dirasakan oleh pengajar Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Dr Sholahuddin Al-Fatih SH MH.

Ia menjelaskan bahwa patokan ini mempunyai dasar norma yangg jelas dan spesifik untuk daerah-daerah tertentu, seperti Jakarta, Aceh, Papua, dan Papua Barat. Untuk Jakarta, sistem dua putaran diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2024 tentang Daerah Khusus Jakarta (DKJ), sedangkan untuk Aceh, Papua, dan Papua Barat, ketentuan ini diatur dalam undang-undang Pilkada sebelumnya.

“Syarat utama putaran kedua adalah jika tidak ada pasangan calon yangg memperoleh bunyi lebih dari 50% + 1 pada putaran pertama. Selain itu, patokan ini hanya bertindak di wilayah dengan status khusus. Daerah lain, seperti Malang alias Surabaya, tidak menerapkan sistem ini lantaran bukan wilayah khusus,” jelasnya, Sabtu (30/11/2024).

Jakarta menjadi salah satu wilayah yangg konsisten melaksanakan dua putaran jika jumlah calon lebih dari dua dan tidak ada pasangan calon yangg mencapai bunyi kebanyakan mutlak. Hal ini menurutnya bermaksud untuk memastikan legitimasi pemimpin di wilayah dengan status khusus.

“Daerah unik mempunyai berat tanggung jawab lebih besar, sehingga diperlukan legitimasi lebih kuat dari pemilihnya,” tambahnya.

Empat wilayah yangg menjalankan sistem dua putaran, ialah Jakarta, Aceh, Papua, dan Papua Barat, mempunyai keistimewaan yangg membedakannya dari wilayah lain. Status ini didasarkan pada kebutuhan untuk menjaga stabilitas politik dan legitimasi pemerintah daerah.

“Jakarta, misalnya, mempunyai patokan yangg berbeda lantaran merupakan Daerah Khusus dan pusat pemerintahan. Begitu pula dengan Aceh, Papua, dan Papua Barat yangg mempunyai status Daerah Istimewa dan alias Otonomi Khusus,” jelasnya.

Sementara itu, wilayah lain tidak memerlukan dua putaran lantaran kepala wilayah bisa terpilih dengan bunyi terbanyak meskipun kurang dari 50%. “Di wilayah non-khusus, seperti Malang, tidak ada patokan untuk putaran kedua. Di sana, kerakyatan cukup elastis lantaran tidak ada keharusan mencapai bunyi kebanyakan absolut,” tambahnya.

Dengan sistem ini, Pilkada dua putaran diharapkan tidak hanya mencerminkan kehendak rakyat, tetapi juga bisa menjaga prinsip-prinsip norma yangg berlaku. Menurutnya, Pilkada adalah bagian dari kerakyatan yangg mengedepankan bunyi rakyat.

Mekanisme dua putaran hanya diterapkan di wilayah unik untuk memastikan legitimasi kuat, sementara di wilayah lain, sistem yangg lebih sederhana sudah cukup memadai.

Dari sisi pelaksanaan, Pilkada dua putaran memerlukan anggaran lebih besar lantaran melibatkan pencetakan ulang surat suara, pengadaan logistik baru, dan kampanye tambahan.

“Secara teknis, dua putaran ini tergolong biaya tinggi. Namun, pemerintah telah mengantisipasi perihal ini dengan menunjuk Pj (Penjabat) untuk menjalankan pemerintahan hingga kepala wilayah yangg pasti terpilih,” ujarnya.

Ia menambahkan bahwa beban anggaran yangg besar juga menjadi tantangan. Anggaran memang menjadi perhatian utama, tetapi ini adalah akibat kerakyatan yangg menuntut legitimasi tinggi. Pemerintah kudu mengalokasikan biaya lebih untuk menyukseskan proses tersebut.

Selain anggaran, partisipasi masyarakat juga menjadi sorotan. Pilkada dua putaran, menurutnya, justru bisa menjadi arena pembelajaran kerakyatan yangg baik.

“Saya rasa masyarakat tidak terlalu terbebani. Sebaliknya, momen ini bisa menjadi kesempatan untuk meningkatkan partisipasi pemilih. Bahkan, sektor ekonomi lokal, seperti hotel dan restoran, mendapat untung dari pergerakan penduduk selama Pilkada,” ungkapnya.

(Wildan/AS)

-->
Sumber Klikmu.co
Klikmu.co