Perlukah Menjadi Kutu Buku? - MuhammadiyahNews.com

Sedang Trending 1 tahun yang lalu
Internet

Oleh: AS Rosyid

Menjadi literet (berbudaya literasi) tidak sama dengan menjadi kutu buku. Tidak semua orang nyaman terus menerus terpaku pada buku. Bagi kutu buku, membaca kitab itu semacam dengan hobi, dan kegemaran adalah kesukaan yangg tidak bisa direkayasa. Bisa, sih, dicoba-coba, tapi hasilnya di tangan Tuhan.

Menjadi literet, sebaliknya, pengertiannya lebih ke “menjadi terampil”. Literasi itu bukan soal hobi. Literasi adalah keahlian yangg semua orang membutuhkannya, entah mereka kegemaran membaca kitab alias tidak.

Menjadi literet berfaedah terampil mengolah rasa mau tahu. Saat sedang diserang rasa mau tahu, seorang literet tahu langkah mengusulkan pertanyaan. Ia tahu mana pertanyaan yangg relevan dan objektif. Soal kejituan dalam bertanya, ini keahlian dasar literasi.

Menjadi literet berfaedah terampil mencari rujukan. Di manakah jawaban atas rasa mau tahu? Kadang jawaban bisa ditemukan dalam buku. Kadang mencari jawaban dalam kitab adalah tindakan bodoh. Dapat memperkirakan di manakah suatu jawaban bersemayam, itulah keahlian dasar literasi yangg kedua.

Menjadi literet berfaedah terampil mengolah informasi. Tidak semua yangg tertera dalam buku, alias yangg terucap oleh manusia, dapat dipercaya. Informasi itu kudu dicacah dan dipertanyakan premisnya, bukti-buktinya, apalagi kepentingannya. Itu keahlian dasar literasi yangg ketiga.

Menjadi literet berfaedah terampil menyajikan informasi. Bentuknya bisa esai, karangan indah, puisi, infografis, orasi ilmiah, video dokumenter, film, dst. Melatih “daya ungkap” manusia dalam beragam media komunikasi  adalah keahlian dasar literasi yangg keempat.

Sedikitnya, itulah empat keahlian dasar literasi. Jadi, agak keliru aktivitas literasi jika konsentrasi pada “banyak membaca”. Ini soal kualitas. Bagaimana langkah merawat rasa penasaran? Bagaimana langkah agar berani mempertanyakan? Bagaimana langkah mengunyah info agar tidak mudah dipermainkan?

Betul kita butuh lebih banyak perpustakaan. Namun, ingatlah ini. Perpustakaan yangg punya banyak kitab tapi sunyi perbincangan, sunyi antusiasme untuk berganti pikiran, dan sunyi keberanian untuk berbeda pendapat, adalah perpustakaan yangg lebih baik tidak didirikan sejak awal.

Itu dah.

Tabek!

Aktivis Muhammadiyah, Direktur Eksekutif the Reading Group for the Social Transformation, Penulis Buku Melawan Nafsu Merusak Bumi (2022)

-->
Sumber Klikmu.co
Klikmu.co