Perceraian di Luar Sidang Pengadilan: Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah - MuhammadiyahNews.com

Sedang Trending 1 hari yang lalu

Oleh: Supriatna*

Pada tahun 2007 Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah mengeluarkan fatwa mengenai perceraian di luar sidang pengadilan. Fatwa ini untuk menjawab pertanyaan dari salah seorang penanya yangg menanyakan gimana pandangan Majelis Tarjih mengenai perceraian yangg dilakukan di luar sidang Pengadilan. Dalam fatwa tersebut disebutkan ”bahwa perceraian kudu dilakukan melalui proses pemeriksaan pengadilan. Cerai talak dilakukan dengan langkah suami mengikrarkan talaknya di depan sidang pengadilan, dan pisah gugat diputuskan oleh hakim. Oleh lantaran itu perceraian yangg dilakukan di luar sidang pengadilan dinyatakan tidak sah”.

Fatwa Majelis Tarjih di atas banyak disorot oleh umat Islam Indonesia, terutama oleh masyarakat yangg beranggapan bahwa untuk menjatuhkan talak tidak kudu di pengadilan, talak sebagai kewenangan suami dapat dijatuhkan oleh suami di mana saja dan kapan saja. Dalam perihal ini sama halnya dengan pernikahan, bahwa untuk syahnya pernikahan tidak kudu dicatatkan kepada Petugas Pencatat Nikah, nikah yangg tidak dicatatkan selama memenuhi rukun dan syaratnya adalah syah. Tidak pernah terjadi pada masa Nabi saw dan masa sahabat, talak kudu diikrarkan di muka sidang pengadilan.

Oleh lantaran itu fatwa Majelis Tarjih yangg mengharuskan perceraian dilakukan melalui proses pemeriksaan pengadilan, oleh golongan ini dipandang menyalahi praktik pada masa Nabi saw. Berangkat dari persoalan demikian dan agar masyarakat bisa memahami lebih lanjut fatwa Tarjih mengeni perceraian, tulisan ini bakal menjelaskan lebih lanjut apa yangg menjadi landasan norma dan pertimbangan fatwa Tarjih tersebut.

Perceraian Menurut Hukum Islam

Akad pernikahan antara suami istri idealnya adalah untuk selama kehidupan dikandung badan, sekali nikah untuk selama hidup, agar di dalam ikatan pernikahan suami istri bisa hidup berbareng menjalin kasih sayang untuk mewujudkan family senang yangg penuh ketenangan hidup (sakinah), dilandasi dengan mawaddah wa rahmah, memelihara dan mendidik anak-anak sebagai generasi yangg handal. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam firman Allah surat ar-Rum (30) ayat 21:

وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً ۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ

”Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya adalah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar Anda condong dan merasa tentram kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan sayang. Sungguh, pada yangg demikian iu betul-betul terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yangg berpikir”.

Suami istri hendaknya mempunyai pandangan yangg sama ialah bahwa hanya kematianlah yangg bakal memisahkan keduanya. Dalam suatu perjanjian alias perikatan, seperti perjanjian jual beli, sewa menyewa, perburuhan, dan perjanjian lain yangg melibatkan dua pihak alias lebih, para pihak yangg terlibat mengharapkan agar perjanjian alias perikatan yangg mereka buat itu kokoh dan kuat. Pernikahan bukan perikatan biasa, selain mengandung nilai ibadah, al-Quran menyebutnya dengan perjanjian yangg sangat kuat (mitsaqan ghalidlan), sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an surat surat an-Nisa’ (4) ayat 21.

Oleh lantaran ikatan suami istri itu sebagai ikatan yangg kokoh, kuat, dan suci, maka tidak selayaknya suami istri begitu mudah memutuskannya dan tidak sepatutnya ada pihak-pihak lain yangg mau merusak dan menghancurkannya.

Namun dalam perjalanan kehidupan berfamili mungkin ditemukan hal-hal yangg tidak memungkinkan antara suami dan istri mencapai tujuan perkawinan, terkadang ada perbedaan karakter alias perbedaan pandangan hidup antara suami dan istri. Tidak sekedar perbedaan, mungkin juga pertentangan yangg prinsipil. Selain itu jiwa manusia bisa berubah. Perbedaaan pandangan hidup dan perubahan hati bisa menimbulkan krisis, merubah rasa cinta dan kasih sayang menjadi benci. Suami alias istri mengabaikan yangg menjadi kewajibannya.

Permasalahannya, jika sekiranya suami istri yangg berbeda prinsip hidupnya dan pertentangannya sudah memuncak, telah merubah rasa cinta menjadi benci, persesuaian menjadi pertikaian, yangg tidak memungkinkan lagi untuk berpadu menjadi satu, apakah tidak terlalu aniaya jika keduanya dipaksa kudu tetap bersatu. Dalam kondisi seperti ini, syari’at Islam mengijinkan suami istri untuk bercerai. Sekalipun demikian, bahwa perceraian hanya sebagai pintu darurat yangg baru dibuka andaikan keadaan memang sangat mendesak dan beragam upaya untuk mempertahankan ikatan perkawinan sudah ditempuh tapi tidak berhasil.

Menurut norma Islam, selain lantaran meninggalnya suami alias istri, pemutusan ikatan perkawinan dapat dilakukan dengan beberapa langkah tergantung dari siapa yangg berkemauan alias berinisiatif memutuskan ikatan perkawinan tersebut. Pertama, perceraian dengan langkah talak ialah perceraian atas inisiatif alias kehendak suami. Talak diartikan dengan “melepas tali perkawinan dan mengakhiri hubungan suami istri” dilakukan oleh suami sebagai pemegang kendali talak dengan alasan-alasan tertentu dan kehendaknya itu dinyatakan melalui ucapan tertentu, alias melalui tulisan alias isyarat bagi suami yangg tidak bisa berbicara. Talak bisa juga dilakukan melalui utusan untuk menyampaikan kepada istrinya bahwa dia telah ditalak.

Kedua, perceraian atas kehendak istri dengan argumen istri tidak sanggup meneruskan perkawinan lantaran ada sesuatu yangg dinilai negatif pada suaminya, sementara suami tidak mau menceraikan alias mentalak istri. Untuk memutuskan perkawinan, istri memberikan sesuatu, berupa materi alias jasa yangg disebut dengan ‘iwad kepada suami dan suami menyetujuinya. Bentuk perceraian yangg inisiatifnya dari istri dengan langkah seperti ini disebut khulu‘ ialah “Suami menceraikan istrinya dengan suatu ‘iwad alias penggantian yangg diterima suami dari istri alias orang lain dengan ucapan tertentu”.

Sebagaimana sudah dikemukakan di atas, terkadang terjadi keretakan dalam hubungan suami istri, dan keretakan tersebut sudah memuncak, kehidupan suami istri menjadi sedemikian porak poranda dan sudah tidak dapat diperbaiki lagi, syari’at Islam memberikan jalan keluar agar kehidupan rumah tangga tidak semakin hancur lebur. Apabila ketidaksanggupan meneruskan ikatan perkawinan itu datang dari suami, maka untuk mengakhiri ikatan perkawinan itu dilakukan dengan talak.

Apabila ketidaksanggupan meneruskan ikatan perkawinan itu datang dari pihak istri, sementara suami tetap mencintainya, syari’at Islam membolehkan istri untuk melepaskan ikatan suami istri dengan jalan khulu’ ialah dengan langkah istri mengembalikan apa yangg telah diterima dari suami.

Kebolehan khulu’ ini disebutkan dalam al-Qur’an surat al-Baqarah (2) ayat 229 dan juga didasarkan kepada Hadis Nabi riwayat al-Bukhari, sebagai jalan keluar bagi Jamilah ketika dia mengadukan hubungan perkawinan dengan suaminya yangg berjulukan Tsabit bin Qais bin Syams. Jamilah merasa berat untuk meneruskan perkawinan dengan Tsabit. Nabi menanyakan kepada Jamilah apakah bersedia mengembalikan kebun yangg dulu diberikan oleh Tsabit kepada Jamilah sebagai mahar. Setelah Jamilah menyatakan kesediannya untuk mengembalikan kebun tersebut, Nabi mengatakan kepada Tsabit “terimalah kebun itu dan talaqlah dia satu kali”. (H.R. al-Bukhari)

Syari’at Islam menitikberatkan kepada asas keadilan dan kemaslahatan, jangan sampai ada kemadaratan dan penipuan dalam perkawinan. Suami jangan dirugikan oleh istri yangg mencari-cari untung dalam perkawinan, ialah minta dibelikan barang-barang mahal kemudian dia minta cerai, sehingga suami menderita materiil dan moril, menderita lahir dan batin. Demikian halnya, tidak boleh juga suami mengambil untung sepihak. Setelah sukses menikahi istrinya, dan telah menikmati madunya istri, kemudian suami menyengsarakan istri dengan tujuan agar istri minta diceraikan dan suami bakal minta tebusan, lantaran perilaku demikian sebagai perbuatan dhalim. Dilihat dari sisi ini maka perceraian dengan langkah khulu’ dipandang setara andaikan istri mengembalikan sebagian barangbarang pemberian suami ketika istri minta diceraikan sementara suami tetap mencintainya.

Ketiga, perceraian melalui putusan pengadil sebagai pihak ketiga atas kejuaraan salah satu pihak dari suami alias istri dan setelah memandang adanya sesuatu pada suami alias pada istri yangg menunjukkan hubungan perkawinan antara keduanya tidak dapat diteruskan. Putusnya perkawinan corak ini disebut fasakh.

Dalam fikih klasik dijelaskan bahwa selain fasakh, untuk terjadinya perceraian atas inisiatif suami alias atas inisitaif istri, tidak kudu diajukan dan dilakukan dalam sidang pengadilan. Suami dapat menjatuhkan talak sewaktu-waktu, kapanpun dan di manapun. Sekalipun demikian syari’at Islam memberikan pengarahan agar talak itu dijatuhkan secara baik-baik, sebagaimana disebutkan dalam Q.s Baqarah ayat 231. Demikian halnya dengan khulu’, tidak kudu diproses melalui pengadilan. Apabila suami sepakat atas ‘iwad yangg diberikan istri, kemudian suami menceraikan istrinya, maka prceraian dengan langkah khulu’ ini sah.

Adapun perceraian dengan langkah fasakh menurut fikih memang kudu diselesaikan melalui jalur litigasi dan yangg memutuskan antara suami istri boleh berpisah alias tidak adalah pengadilan. Hal ini dikarenakan dalam fasakh terdapat persoalan yangg rumit dan perlu pembuktian, sehingga lembaga yangg berkuasa untuk menanganinya adalah pengadilan.

Contoh perceraian dengan langkah fasakh adalah andaikan suami meninggalkan tempat tinggal dalam waktu yangg lama dan tidak diketahui berada di mana. Apabila istri tidak sabar menunggu suaminya kembali alias istri mendapat kesulitan hidup dengan kepergian suaminya itu lantaran tidak ada yangg memberikan nafkah, istri berkuasa mengusulkan pisah kepada Pengadilan.

Selanjutnya pengadilan bakal memproses gugatan istri tersebut apakah memang suaminya gaib dan sudah berapa lama, dan apakah kepergian suami tersebut menimbulkan madarat bagi istri. Apabila istri dapat membuktikan gugatannya dan membuktikan bahwa dia menderita lantaran kepergian suaminya, maka dengan kewenangannya pengadil bakal menceraikan istri dari suaminya.

Perceraian dalam Hukum Positif Indonesia

Putusnya perkawinan dalam norma positif Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 9 Tahun 1975 sebagai patokan penyelenggaraan dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Khusus bagi orang Islam ada peraturan tambahan yangg termuat dalam KHI (Kompilasi Hukum Islam di Indonesia).

Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, perceraian diatur dalam Bab VIII dengan titel Putusnya Perkawinan Serta Akibatnya. Bab ini terdiri dari 4 pasal, ialah pasal 38 sampai Pasal 41. Adapun mengenai tatacaranya diatur lebih lanjut dalam PP No. 9 Tahun 1975, dimuat dalam Bab V dengan titel Tatacara Perceraian, mulai Pasal 14 sampai Pasal 36. Dalam KHI, perceraian diatur dalam Bab XVI dengan titel Putusnya Perkawinan, mulai Pasal 113 sampai Pasal 148 disambung dengan Akibat Putusnya Perkawinan, Pasal 149 sampai Pasal 162. Beberapa perihal krusial dari peraturan perundangan di atas mengenai dengan pembahasan ini ialah:

1. Bentuk putusnya perkawinan. Bahwa perkawinan dapat putus karena: kematian, perceraian, dan atas keputusan pengadilan (Pasal 38 UU No.1 Tahun 1974, Pasal 113 KHI). Menurut Pasal 114 KHI, putusnya perkawinan lantaran perceraian dapat terjadi lantaran talak alias berasas gugatan perceraian. Cara berakhirnya perkawinan dalam peraturan perundangan andaikan dibandingkan dengan fikih, maka talak dan khulu’ masuk dalam golongan perceraian, adapun fasakh sama maksudnya dengan perceraian atas putusan pengadilan dan sebagiannya masuk dalam gugatan perceraian. Dengan demikian mengenai langkah berakhirnya perkawinan, secara prinsip tidak ada perbedaan antara peraturan perundangan dengan fikih.

2. Tatacara dan argumen perceraian. Dalam Pasal 39 Undangundang Nomor 1 Tahun 1974 mengatur dua perihal pokok, yaitu:

a. Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yangg berkepentingan berupaya dan tidak sukses mendamaikan kedua belah pihak. Ketentuan ini disebutkan pula dalam Pasal 115 KHI dengan tambahan bahwa Pengadilan adalah Pengadilan Agama. Bunyi Pasal 115 KHI selengkapnya adalah: ” Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama setelah Pengadilan Agama tersebut berupaya dan tidak sukses mendamaikan kedua belah pihak”.

b. Untuk melakukan perceraian kudu ada cukup alasan, bahwa antara suami istri tidak bakal dapat hidup rukun sebagai suami istri. Adapun argumen untuk perceraian diatur dalam Pasal 19 PP No. 9 Tahun 1975 dan dalam Pasal 116 KHI.

Sebagaimana sudah disebutkan bahwa keharusan peceraian di pengadilan, melalui talak alias khulu’ tidak diatur dalam fikih ajaran manapun. Hal ini dikarenakan talak merupakan kewenangan absolut suami dan suami dapat menggunakannya kapan saja, di mana saja, dan untuk itu tidak perlu memberi tahu dan minta izin kepada siapapun.

Demikian hanya dengan khulu’ yangg merupakan haknya istri, sekalipun kudu ada persetujuan dari suami, jika keduanya sepakat, maka khulu’ dapat dilakukan kapan saja dan di mana saja. Adapun mengenai argumen perceraian, seklipun tidak disebutkan secara perincian bakal tetapi al-Quran telah mengisyaratkan suapaya ada argumen yangg cukup bagi suami untuk mentalak istrinya alias untuk melakukan fasakh dan itu dijadikan sebagai langkah terakhir dan tidak bisa dihindarkan.

Perceraian di Luar Sidang Pengadilan Menurut Fatwa Majelis Tarjih

Sebagaimana sudah disebutkan bahwa Fatwa Tarjih mengenai perceraian di luar sidang pengadilan difatwakan lantaran ada pertanyaan dari penduduk masyarakat, dalam perihal ini dari salah satu pengurus BPH Amal Usaha di lingkungan Persyarikatan Muhammadiyah. Pertanyaan dari penanya sebagai berikut: ”Menurut peraturan perundangan yangg bertindak di negara kita talak kudu diikrarkan di depan sidang pengadilan. Pada perihal sering timbul pertanyaan tentang masalah talak yangg diucapkan suami di luar sidang pengadilan, apakah talaknya jatuh? Mohon penjelasan dari Majelis Tarjih dan Tajdid.

Untuk menjawab pertanyaan di atas, Majelis Tarjih dan Tajdid di bawah koordinasi bagian Fatwa telah mengadakan Sidang Fatwa pada hari Jumat, 8 Jumadal Ula 1428 H bertepatan dengan tanggal 25 Mei 2007 M. Adapun hasil sidang fatwa untuk menjawab pertanyaan di atas, selengkapnya sebagai berikut:

Menurut pasal 39 UU No. 1/1974 tentang Perkawinan dan pasal 65 UU No. 9/1989 tentang Peradilan Agama, perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan setelah Pengadilan yangg bersagkutan berupaya dan tidak sukses mendamaikan kedua belah pihak. Perceraian dapat terjadi lantaran permohonan suami kepada Pengadilan untuk menyaksikan janji talak yangg disebut pisah talak alias lantaran gugatan istri yangg disebut pisah gugat. Untuk melakukan perceraian kudu ada argumen yangg cukup.

Meskipun termasuk ke dalam wilayah norma privat, persoalan pisah sesungguhnya juga menyangkut kepentingan luas, ialah ketentraman rumah tangga, nasib anak-anak yangg orang tuanya bercerai, apalagi menyangkut kepentingan lebih luas lagi, ialah tentang kepastian dalam masyarakat apakah suatu pasangan telah berpisah alias tetap dalam ikatan perkawinan. Oleh lantaran itu perceraian tidak dapat dilakukan secara serampangan. Sebaliknya kudu dilakukan pengaturan sedemikian rupa agar terwujud kemaslahatan dan ketertiban di dalam masyarakat.

Dalam sabda Nabi saw dinyatakan bahwa perceraian itu adalah suatu perihal yangg legal tetapi sangat dibenci oleh Allah. Nabi saw bersabda, Artinya: “Suatu yangg legal yangg paling dibenci oleh Allah SWT adalah talak”. (HR. Abu Dawud dan al-Baihaqi)

Ini artinya perceraian jangan dianggap enteng dan dipermudahmudah lantaran peceraian itu sangat dibenci oleh Allah meskipun halal. Wujud dari tidak mengenteng-entengkan perceraian itu adalah bahwa dia hanya dapat dilakukan jika telah terpenuhi alasan-alasan norma yangg cukup untuk melakukannya. Di samping itu kudu dilakukan melalui pemeriksaan pengadilan untuk membuktikan apakah alasannya sudah terpenuhi alias belum.

Oleh lantaran itulah ijtihad norma Islam modern, seperti tertuang dalam Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (ps. 115) misalnya, mewajibkan prosedur perceraian itu melalui pengadilan; dan bahwa perceraian terjadi terhitung sejak saat perceraian itu dinyatakan di depan sidang Pengadilan (KHI, ps. 123).

Memang dalam fikih klasik, suami diberi kewenangan yangg luas untuk menjatuhkan talak, sehingga kapan dan di manapun dia mengucapkannya, talak itu jatuh seketika. Keadaan seperti ini dipandang dari perspektif pemeliharaan kepentingan keluarga, kepastian norma dan ketertiban masyarakat tidak mewujudkan maslahat apalagi banyak merugikan terutama bagi kaum wanita (istri).

Oleh lantaran itu demi terwujudnya kemaslahatan, maka perceraian kudu diproses melalui pengadilan. Jadi di sini memang ada perubahan hukum, ialah dari kebolehan suami menjatuhkan talak kapan dan di manapun menjadi keharusan menjatuhkannya di depan sidang pengadilan. Perubahan norma semacam ini adalah sah sesuai dengan norma fiqhiyah yangg berbunyi: “Tidak diingkari perubahan norma lantaran perubahan zaman” [Qawaid al-Fiqh, hlm. 113]. Ibnu al-Qayyim menyatakan, “Perubahan fatwa dan perbedaannya terjadi menurut perubahan zaman, tempat, keadaan, niat dan budaya istiadat” [I’lam al-Muwaqqi’in, Juz III, hlm. 3]. Para filosof syariah telah menyepakati bahwa tujuan syariah adalah untuk mewujudkan kemaslahatan. Menurut asy-Syatibi, dasarnya adalah:

وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ

Artinya: Tiadalah Kami mengutus engkau melainkan untuk menjadi rahmat bagi semesta alam [QS. al-Anbiya’ (21): 107] [asySyatibi, al-Muwafaqat, Juz II, hlm. 142].

Dalam kaitan ini penjatuhan talak di depan sidang pengadilan bermaksud untuk mewujudkan kemaslahatan berupa perlindungan terhadap lembaga family dan perwujudan kepastian norma dimana perkawinan tidak dengan begitu mudah diputuskan. Pemutusan kudu didasarkan kepada penelitian apakah alasan-alasannya sudah terpenuhi. Dengan demikian talak yangg dijatuhkan di depan pengadilan berfaedah talak tersebut telah melalui pemeriksaan terhadap alasanalasannya melalui proses sidang pengadilan.

K.H. Ahmad Azhar Basyir (mantan Ketua Majelis Tarjih dan Ketua PP Muhammadiyah), mengenai masalah ini, menyatakan: ”Perceraian yangg dilakukan di muka pengadilan lebih menjamin persesuaiannya dengan pedoman Islam tentang perceraian, karena sebelum ada keputusan terlebih dulu diadakan penelitian tentang apakah alasanalasannya cukup kuat untuk terjadi perceraian antara suami-istri. Kecuali itu dimungkinkan pula pengadilan bertindak sebagai hakam sebelum mengambil keputusan berpisah antara suami dan istri.” [Hukum Perkawinan Islam, h. 83-84].

Pada bagian lain dalam kitab yangg sama K.H. Ahmad Azhar menjelaskan lebih lanjut,

”Untuk menjaga agar perceraian jangan terlalu mudah terjadi, dengan pertimbangan “maslahat mursalah” tidak ada keberatannya andaikan diambil ketentuan dengan jalan undang-undang bahwa setiap perceraian apapun bentuknya diharuskan melalui pengadilan”. [Hukum Perkawinan Islam, h. 85].

Selain dari itu dapat pula ditegaskan bahwa penjatuhan talak di luar sidang pengadilan, mengingat mudarat yangg ditimbulkannya, kudu dilarang dan dinyatakan tidak sah berasas prinsip sadduz-zari‘ah [menutup pintu yangg membawa kepada kemudaratan].

Dari apa yangg dikemukakan di atas dapat diambil konklusi bahwa, (1) perceraian kudu dilakukan melalui proses pemeriksaan pengadilan: pisah talak dilakukan dengan langkah suami mengikrarkan talaknya di depan sidang pengadilan, dan pisah gugat diputuskan oleh hakim; (2) perceraian yangg dilakukan di luar sidang pengadilan dinyatakan tidak sah. Wallahu a’lam bish-shawab.

Fatwa di atas sudah sangat gamblang menjelaskan kenapa perceraian kudu dilakukan melalui proses pemeriksaan pengadilan. Perlu ditegaskan bahwa yangg dimaksud dengan perceraian dalam fatwa di atas, adalah semua jenis perceraian, yangg dalam fikih meliputi talak, khulu’ dan fasakh, alias dalam peraturan perundangan disebut dengan pisah talak, pisah gugat, dan pisah dengan putusan pengadilan. Fatwa di atas andaikan diringkas, ada beberapa prinsip yangg dijadikan pegangan, yaitu:

(a) Prinsip menghilangkan kemadaratan dan menarik kemaslahatan. Ketika talak dinyatakan sebagai kewenangan absolut suami dan untuk melaksanakan haknya itu suami tidak perlu memberitahukan alias meminta izin kepada siapapun, bisa terjadi suami dalam menjatuhkan talak berperilaku sewenang-wenang. Istri salah sedikit saja, suami menjadi emosional, dan tanpa berpikir panjang dia talak istrinya.

Setelah suami kembali tenang dan bisa berpikir dengan jernih, muncul penyesalan, tetapi terlambat, talak sudah terlanjur dijatuhkan. Akibat dari perilaku suami yangg demikian maka istri menjadi korban. Dengan demikian ekses dari talak alias perceraian bukan hanya menimpa suami alias suami dan istri, tetapi berkapak kepada pihak lain, terutama anak-anak yangg belum dewasa. Mereka bakal menjadi orang-orang yangg broken home. Kondisi demikian andaikan dikaitkan dengan kehidupan bermasyarakat, maka ketentraman hidup masyarakat juga bakal terganggu.

Oleh lantaran perceraian menyangkut banyak pihak maka layak andaikan pertimbangan dalam menjatuhkan talak alias berpisah bukan hanya diserahkan kepada suami, kepada istri, tetapi kepada pihak lain yangg posisinya netral, ialah hakim. Pengadilan bakal menilai apakah suami alias istri untuk layak untuk berpisah untuk melepas benang kusut yangg mengikat suami istri ataukah perkawinan itu kudu dipertahankan, permintaan berpisah kudu ditolak, lantaran jika berpisah bakal menimbulkan kerusakan yangg lebih besar lagi, di antaranya anak-anak yangg belum dewasa menjadi terlantar.

Terkait dengan langkah menjatuhkan talak alias langkah bercerai, waktu untuk bercerai, al-Quran sebenarnya sudah mengemukakan sekalipun secara singkat, ialah sebagaimana disebutkan dalam Q.s al-Baqarah ayat 229, yangg artinya: “… alias melepaskan (istri) dengan baik”.

Kata bi ihsan dalam ayat di atas mengandung makna istri diceraikan dengan argumen yangg kuat, istri diceraikan dalam kondisi dan waktu yangg sesuai dengan tuntunan Nabi saw sehingga masuk dalam kriteri talak sunni bukan talak bid’i yangg tidak dibenarkan menurut norma Islam. Dengan demikian maka proses perceraian melalui peradilan bakal lebih membawa kemaslahatan daripada diserahkan kepada suami alias suami istri.

(b) Prinsip kepastian hukum. Ketika talak alias perceraian dijatuhkan di luar pengadilan, tidak ada kepastian hukum. Bisa jadi suami mengatakan kepada istrinya “kamu saya talak” lain waktu diulanginya lagi agar lebih puas menyatakan kehendak untuk berpisah kepada istrinya. Hal ini bakal menjadi persoalan, ucapan talak manakah yangg dipandang jatuh, ataukah semua dipandang jatuh, maka berapa talak yangg sudah dijatuhkan suami kepada istrinya.

Ini krusial untuk menentukan, apakah talaknya itu talak raj’i, ataukah talak ba’in, sehingga suami istri kudu melakukan janji nikah lagi jika keduanya mau kembali. Lain halnya jika perceraian itu melalui proses peradilan, maka ada kepastian hukum. Ketika suami mengusulkan permohonan pisah talak dan keinginannya untuk berpisah diizinkan oleh Pengadilan lantaran ada argumen yangg kuat, jatuhnya talak adalah ketika suami mengikrarkan talak di muka sidang pengadilan.

Ucapan talak yangg diucapkan suami sebelumnya dipandang tidak jatuh. Demikian juga andaikan istri mengusulkan gugatan pisah dengan argumen yangg kuat dan setelah disidangkan Pengadilan menilai gugatan istri bisa diterima, maka putusnya perkawinan adalah sejak pengadilan menyatakan putus perkawinan alias menceraikan istri dari suaminya. Kepastian itu bakal didukung oleh perangkat bukti yangg kuat ialah Penetapan alias Putusan Pengadilan yangg bisa digunakan oleh yangg berkepentingan sebagai perangkat bukti bahwa mereka sudah bercerai. [6/17]

*Penulis adalah Sekretaris Divisi Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah dan sebagai staf pengajar pada Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

-->
Sumber suaraaisyiyah.id
suaraaisyiyah.id