Perbedaan Puasa Antara Islam dan Umat Terdahulu - MuhammadiyahNews.com

Sedang Trending 1 tahun yang lalu

MUHAMMADIYAH.OR.ID, SALATIGA—Manusia dipilih Tuhan sebagai wakil-Nya (khalifah Allah) sekaligus hamba-Nya (‘abd Allah). Sebagai seorang hamba, manusia kudu tunduk total pada Tuhan dan menerima secara sempurna semua nan dikehendaki-Nya. Sebagai wakil-Nya, manusia kudu aktif di bumi untuk menjalankan kehendak Tuhan di muka bumi. Menjalankan ibadah puasa, misalnya, merupakan tindakan sebagai hamba sekaligus wakil Allah.

“Semua aliran Islam biasanya menjurus pada dua kegunaan manusia ini. Baik ibadah mahdlah nan ketentuannya telah ditetapkan Allah, maupun ghair mahdlah nan manusia dituntut untuk menggunakan akalnya, pada intinya bermuara pada kegunaan hamba dan khalifah,” terang Zakiyuddin Baidhawy dalam Pengajian PP Muhammadiyah pada Jumat (18/03).

Selain itu, puasa menjadi bagian dari trilogi aliran Islam nan dikenal dengan Islam, Iman, dan Ihsan. Puasa menjadi salah satu dari rukun Islam nan lima. Ibadah puasa merupakan perintah nan secara spesifik diberikan kepada orang-orang beriman. Dalam menjalani ibadah puasa, seorang muslim ditekankan melakukan Ihsan sepanjang hari.

Menurut Zakiyuddin, ibadah puasa saat ini identik dengan aktivitas spiritual nan dijalankan umat Islam. Turunnya QS. Al Baqarah ayat 183 menjadi penegas bahwa umat Islam diwajibkan berpuasa. Sebagaimana tertera dalam Al Quran, puasa telah dipraktekkan jauh sebelum disyariatkan kepada kaum Nabi Muhammad. Bangsa Mesir Kuno, misalnya, mereka telah mengenal puasa untuk menebus dosa kepada Dewa Isis.

“Umat-umat terdahulu sebelum Islam juga mempunyai aliran nan mewajibkan umatnya untuk berpuasa. Namun, dalam menjalani puasa, Islam mempunyai kekhasan nan tidak diserupai bangsa-bangsa terdahulu,” ucap Zakiyuddin.

Salah satu corak kekhasan puasa dalam tradisi Islam adalah puasa bermaksud untuk pengekangan hawa nafsu, bukan pelunasan dosa. Puasa merupakan sarana gimana umat Islam mengendalikan dorongan-dorongan biologis seperti makan, minum, amarah, dan bercinta. Karenanya, karakter puasa dalam Islam itu sangat dekonstruktif terutama terhadap aliran Jahiliyyah nan rakus, tamak, dan suka melakukan kejahatan nan melampaui batas.

“Berpuasa mempunyai karakter dekonstruktif terhadap hal-hal nan melampaui batas. Karena Allah tidak menyukai segala perihal nan melampaui batas, termasuk gairah kita untuk makan dan minum. Kata Rumi, nafsu duniawi adalah tipu daya dari semua berhala,” terang Guru Besar IAIN Salatiga ini.

Di samping sebagai anugrah nan diberikan Allah Swt, nafsu juga dapat menjadi musibah. Semua sumber kejahatan biasanya berasal dari kemauan primitif nan tidak terkendali ini. Kehadiran puasa diharapkan menjadi tembok penghalang dari nafsu hewani sehingga menjadi manusia nan bertakwa.

“Kekhasan dari puasa nan diajarkan Islam itu bukan menghilangkan nafsu melainkan mengendalikan nafsu. Karena manusia tanpa nafsu tidak bakal mempunyai motivasi untuk menjalani hidup, sehingga nan dilakukan Islam adalah gimana langkah mengendalikannya,” ucap Zakiyuddin.

Hits: 0

-->
Sumber Muhammadiyah
Muhammadiyah