Ali bin al Makmun al-Abbasi (anak Khalifah al-Makmun) tinggal di istana nan megah. Semua kebutuhan dunianya tercukupi. Suatu hari, dia melongok ke arah luar dari anjungan istana.
Dia memandang seorang sedang bekerja keras sepanjang hari. Jelang siang, dia berwudlu, lampau salat dua rakaat di pinggiran Sungai Tigris. Saat maghrib tiba, dia pulang kepada keluarganya.
Suatu hari, sang pangeran memanggil orang itu dan menanyakan kondisi sebenarnya. Orang itu mengaku mempunyai seorang istri, dua kerabat perempuan, dan seorang ibu yangg kudu ditanggung biaya hidupnya.
Dia tak punya makanan maupun pemasukan, selain dari yangg dia dapatkan dari pasar. Dia juga berpuasa setiap hari dan berbuka setiap jelang maghrib dari apa yangg didapatkan.
Sang pangeran bertanya, “Apakah engkau mengeluhkan apa yangg engkau alami ini?”
”Tidak. Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam,” jawab laki-laki itu.
Saat itu juga Pangeran Ali meninggalkan istana, jabatan, dan kekuasaannya. Dia pergi menuruti langkah kakinya.
Dia kemudian menjadi seorang tukang kayu yangg bekerja di wilayah Khurasan. Ia memilih pekerjaan itu lantaran mendapatkan kebahagiaan yangg tidak dia dapatkan dalam istana.
***
Kini, seberapa banyak manusia yangg bisa meneladani kisah Ali bin al Makmun al-Abbasi?
Sungguh, bumi dan seisinya memang kerap melenakan manusia. Kekayaan, kecantikan, ketampanan, ketercukupan acap kali membikin kita lupa terhadap Sang Pencipta.
Bahkan, banyak perihal yangg tidak disadari jika kita telah mengindahkan kekuasaan Allah nan Maha Agung. nan memberikan semua angan yangg kita dambakan.
Pernahkah Anda tahu cerita seorang pegawai yangg rela menggadaikan ketauhidannya lantaran takut pundi-pundi pendapatan dan pekerjaannya hilang?
Pernahkah Anda tahu seorang pemimpin yangg rela melakukan jahat terhadap bawahannya lantaran cemas dipecat oleh pemilik perusahaan?
Pernakah Anda tahu, seorang pemilik perusahaan dengan mudahnya berbohong dan memaksa anak buahnya melakukan serupa lantaran mau meraup untung sebesar-besarnya?
Lantas, jika memang Allah yangg menghidupkan dan mematikan, dan yangg memberi rezeki, kenapa kita kudu takut dan resah terhadap perlakuan sesama manusia?
”Cukuplah Allah menjadi penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik pelindung. Maka mereka kembali dengan nikmat dan karunia (yang besar dari) Allah, mereka tidak mendapat musibah apa-apa, mereka mengikuti keridaan Allah. Dan, Allah mempunyai karunia yangg besar).” (DS. Ali Imran:173-174).
La ilhaha illahah, tidak ada yangg layak disembah selain Allah. Allah mempunyai sifat-sifat uluhiyah yangg tidak dimiliki oleh selain-Nya, yakni, sifat-sifat kesempurnaan.
***
Pusaran kehidupan bumi memang kerap membikin mata hati kita terbelenggu. Dunia acap membikin pikiran dipenuhi bayangan-bayangan kekalutan bakal masa depan.
Banyak manusia memberhalakan manusia. Manusia yangg rela tunduk dan pasrah atas perintah sesama.
Mengikuti semua kemauan manusia, meski kudu mendustakan agama. Meski kudu mengorbankan keimanannya.
Sementara, banyak perintah Allah sering diabaikan. Kita sering meremehkan pentingnya salat jamaah. Salat tepat waktu.
Bahkan, kita sering menunda salat hingga melewati pemisah waktunya. Kita nyaris tak pernah menyesali. Kita pun hanya berkilah terlilit kesibukan duniawi.
Begitu juga ketika memandang banyak fakir miskin dan anak terlantar, rupanya tak cukup membikin hati kita tergetar menolongnya.
Ratapan dan tangisan mereka mencari sesuap nasi, mendesir bak angin lalu. Hilang tak berbekas. Lewat bak pesan sponsor dalam televisi.
Kita jarang memikirkan jika kekayaan yangg kita peroleh kudu disisihkan untuk amal dan bersedekah.
Kita lebih mudah menghabiskan kekayaan kita untuk urusan perut, daripada membaginya dengan kaum duafa.
Kita, sesungguhnya, makin dari kesalehan sosial. Komitmen dan emosi kita pasung rapat-rapat.
Batin yangg kosong dari pancaran sinar ilahi. Kita makin rakus memburu dunia, sementara kemuliaan kehidupan sesudah meninggal kelak kita kesampingkan.
Sungguh, sungguh sengsaranya jiwa-jiwa yangg kosong nan terkoyak. Hidup hanya pada sebatas soal perut, piring, rumah, bensin, handphone, dan lain-lain.
Betapa banyak manusia yangg hidupnya sedari pagi hingga petang hanya memburu rupiah.
Berpuluh-puluh tahun dia jadikan anak-anak mereka hanya sebagai pigura di rumah. Tak ada waktu lagi bercengkerama dengan keluarga.
Pagi, dia berangkat bekerja, sementara sang anak lebih dulu pergi ke sekolah. Dinihari dia datang, sedang anak-anaknya terlelap dengan memeluk bantal dan gulingnya. (*)
Penulis: AGUS WAHYUDI, wartawan senior dan personil Majelis Tabligh Muhammadiyah Jawa Timur