“Iklim Indonesia yangg belum sadar mengaplikasikan makna perbedaan menjadi tantangan mendasar yangg kudu diselesaikan oleh pemerintah sebelum berbincang tentang pendidikan yangg inklusif”.
Pendidikan inklusif terlihat semakin ditingkatkan sejak adanya Kurikulum Merdeka, tetapi program ini mungkin telah mengabaikan esensial dasar suasana masyarakat di Indonesia. Disebutkan oleh Muqorobin, beberapa tantangan yangg dihadapi dalam penyelenggaraan kurikulum terbaru ini adalah berangkaian dengan sumber daya manusia, terutama guru, baik dalam proses pembelajaran maupun keahlian untuk berjejaring dan kegunaan asesmen pembelajaran.
Padahal salah satu harapan besar dari kurikulum tersebut untuk meningkatkan kesadaran perseorangan tentang perbedaan dalam segala aspek kehidupan, seperti sosial, budaya, agama, fisik, suku dan lain-lain. Namun, masalah ini mungkin tidak bakal terselesaikan jika anak didik tidak diajarkan tentang apa makna dari perbedaan itu sejak dini.
Seperti yangg disebutkan oleh Mercy F Halamury (2022) dalam bukunya yangg berjudul Buku Ajar Teori Belajar dalam Pembelajaran PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini), materi yangg diajarkan oleh anak usia awal kudu sesuai dengan kapasitasnya. Pembelajaran Matematika, sosial, bahasa dan seni diajarkan dengan efektif agar dipahami oleh anak.
Tetapi, dalam prakteknya anak-anak tersebut mungkin hanya diajarkan tentang mengenali tentang materi yangg diajarkan, dan tidak dilatih secara filosofi tentang materi tersebut. Contohnya, materi tentang warna yangg kita kenal sekarang ini ialah merah, kuning, hijau dan sebagainya. Anak hanya diajarkan untuk mengetahui jenis-jenis warna itu, tanpa mengetahui kenapa warnanya berbeda dan apa fungsinya. Sehingga, sejak awal pendidikan kita telah kandas mengajarkan tentang kurikulum pendidikan yangg inklusif.
Belenggu Mayoritas
Meskipun, info survei INFID juga menunjukkan bahwa sekitar 90% gen milenial dan gen Z setuju agar lembaga pendidikan di Indonesia kudu menerima siswa dengan latar belakang apapun. Bahkan mereka juga setuju agar sekolah bisa mengajarkan pengetahuan tentang kepercayaan lain dan mendirikan rumah ibadah untuk golongan minoritas.
Namun, pada prakteknya tetap ada idealisme untuk menjadikan nilai-nilai yangg diadopsi golongan kebanyakan untuk diterapkan di lingkungan pendidikannya. Hal ini dibuktikan dengan kurang lebih 40% gen milenial dan gen Z setuju atas penerapan patokan seragam sekolah sesuai dengan kepercayaan kebanyakan yangg ada di daerahnya. Angka tersebut terasa cukup besar bagi bangsa yangg mempunyai semboyan “Bhineka tunggal ika – meskipun berbeda-beda tetap satu jua”. Dengan artian, bangsa Indonesia layaknya tetap terkekang dengan belenggu “kemayoritasan”, apalagi dalam bumi pendidikan yangg semestinya bisa menjadi laboratorium inklusif di Indonesia.
Kemudian jika berbincang tentang inklusif, patut dibahas adalah tentang pendidikan inklusif bagi penyandang disabilitas. Secara formal, pendidikan yangg inklusif bagi disabilitas sudah diatur dalam pasal 10 Undang-undang nomor 8 Tahun 2016 serta pasal 2 ayat 2 Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2020. Tetapi, banyak persoalan seperti kurang edukasi tentang pendidikan inklusif untuk anak disabilitas, defisit pembimbing unik yangg bisa mengajar mereka dan lingkungan sekolah yangg kurang mendukung.
Masalah di atas tidaklah mudah untuk diselesaikan, seperti menambah training kepada pembimbing alias menambah jumlah sekolah luar biasa (SLB). Namun, masalah yangg mendasar agar lingkungan sekolah bisa memberikan pendidikan inklusif kepada anak disabilitas adalah dengan meningkatkan keahlian pembimbing dan orang tua untuk memahami filosofi pendidikan anak dan gimana mengartikan anak tentang perbedaan yangg dialami oleh kawan sebayanya. Sehingga, anak dengan disabilitas dapat dipahami dengan baik oleh teman-temannya dan bullying kepada mereka juga dapat dihilangkan.
Beberapa Aspek yangg Perlu ditingkatkan
Maka dari itu, ada beberapa aspek dalam pendidikan yangg kudu ditingkatkan untuk mencapai pendidikan yangg inklusif. Pertama, mengadakan dan meningkatkan pengamalan mata kuliah makulat pendidikan untuk program studi yangg berkaitan. Filsafat pendidikan ini krusial untuk memberikan pemahaman dan meningkatkan daya untuk berpikir kritis dan inklusif bagi calon pembimbing di Indonesia. Dan bagi yangg sudah menjadi guru, dapat meningkatkan kapasitasnya untuk memahami makulat pendidikan melalui diklat dari kementerian yangg bersangkutan.
Dengan demikian, para pendidik tersebut dapat mengimplementasikannya di lingkungan mereka mengajar. Hal ini kemungkinan dapat meningkatkan pemahaman siswa terhadap mata pelajaran yangg diajarkan di sekolah. Dengan kata lain, siswa tidak bakal lagi menghafal materi hanya untuk ujian, tetapi mereka dapat berpikir gimana mengaplikasikan ilmunya dalam proses belajarnya.
Kedua, training pembimbing inklusif yangg mengedepankan anak sebagai subjek pendidikan. Pelatihan ini semestinya diwajibkan kepada seluruh pembimbing di Indonesia, bukan hanya ditujukan untuk pembimbing dari SLB alias pembimbing konseling saja, tetapi kepada seluruh pembimbing yangg mengajar di sekolah. Program ini berfaedah untuk mendukung dan memasifkan pendidikan inklusif di lingkungan sekolah di Indonesia. Maka, pemahaman bakal kebutuhan siswa dari golongan minoritas dapat dipahami dengan baik dan meningkatkan toleransi antar siswa di sekolah.
***
Ketiga, peningkatan prasarana sekolah. Fasilitas sekolah yangg memadai sesuai dengan standar inklusivitas tentu bakal memudahkan dan meningkatkan kualitas pendidikan yangg lebih inklusif. Manfaat lain prasarana yangg inklusif selain memberikan akomodasi bagi minoritas alias penyandang disabilitas, secara langsung juga mengenalkan kegunaan dan faedah sarana sarana tersebut kepada siswa dan siswi. Sehingga, sekolah tidak hanya mengajarkan tentang nilai-nilai inklusif tetapi juga mempraktekan gimana atmosfer lingkungan yangg inklusif kepada seluruh civitas pendidikan.
Keempat, krusial juga untuk mengadakan program pertukaran pelajar dari golongan minoritas dan disabilitas. Program ini berfaedah untuk memberikan pengalaman langsung kepada siswa gimana kebutuhan dan perspektif teman-temannya. Sebaiknya, program ini juga dijalankan secara nasional oleh pemerintah Indonesia agar lebih masif kebermanfaatannya. Dengan begitu, toleransi dan empati peserta bakal semakin tumbuh di dalam program tersebut.
Dengan demikian, sistem pendidikan inklusif tidak hanya memerlukan kurikulum yangg mendukung saja. Namun, lebih jauh dari itu, pendidikan inklusif memerlukan proses yangg cukup komprehensif dimulai dari pemahaman filosofi pendidikan sampai dengan program yangg inspiratif untuk pelajar. Selain itu, untuk mendapatkan hasil yangg optimal, pemerintah kudu ikut andil untuk mengatur dan mendukung penyelenggaraan program pendidikan inklusif di setiap wilayah di Indonesia.
#INFID
#IBTimes.ID
#KitaBikinPaham
#KitaBikinInklusif
#GapapaBeda
Editor: Yafaro