Mimpi profetik Nabi Ibrahim betul-betul dilaksanakan dengan baik, sehingga kaum muslimin layak menjadikannya sebagai rujukan dalam menyembelih hewan kurban.
Nabi Ibrahim bukan hanya menghambakan diri kepada Allah, tetapi memberi keteladanan dalam berjuang menegakkan tauhid.
Beliau memperjuangkan tegaknya nilai tauhid hingga menjadi contoh bagi generasi-generasi berikutnya.
Apa yangg dilakukan Nabi Ibrahim, dalam berkurban, merupakan bentuk dari nilai-nilai pengagungan terhadap Sang Khalik.
Hal ini untuk membebaskan manusia dari belenggu kecintaan kepada dunia. Terbelenggunya manusia atas bumi bukan hanya melupakan Tuhan tetapi justru menjadikan kekuatan lain sebagai tuhan.
Inilah posisi paling rendah dan buruk sehingga mengantarkan dirinya ke tempat paling jelek ketika di akhirat.
Penegak Tauhid
Nabi Ibrahim layak dijadikan contoh totalitas dalam menghambakan diri kepada Allah, Namun generasi berikutnya justru melakukan perihal yangg sebaliknya.
Generasi sesudahnya bukan hanya tidak bertauhid, tetapi mengadakan tandingan penyembahan kepada tuhan selain Allah.
Mereka bermohon meminta rizki kepada pohon, gunung alias makam wali. Padahal Allah yangg memberi semua akomodasi kehidupan dan agunan hidupnya.
Bahkan mereka menyisihkan sebagian hartanya kepada sesembahan mereka, bukan bersedekah di jalan Allah.
Hal itu diabadikan Allah sebagaimana firman-Nya:
وَيَجْعَلُوْنَ لِمَا لَا يَعْلَمُوْنَ نَصِيْبًا مِّمَّا رَزَقْنٰهُمْ ۗ تَا للّٰهِ لَـتُسْـئَلُنَّ عَمَّا كُنْتُمْ تَفْتَرُوْنَ
“Dan mereka menyediakan sebagian dari rezeki yangg telah Kami berikan kepada mereka, untuk berhala-berhala yangg mereka tidak mengetahui (kekuasaannya). Demi Allah, Anda pasti bakal ditanyai tentang apa yangg telah Anda ada-adakan.” (QS. An-Nahl : 56)
Perbuatan di atas merupakan penghinaan kepada Allah. Betapa tidak, Allah yangg memberi segalanya kepada mereka, namun perbuatan maksiat justru dipertontonkan.
Rezeki semestinya diperuntukkan memudahkan jalan menuju Allah, tetapi justru dipergunakan untuk menghalangi manusia dari jalan-Nya.
Penyimpangan itu dianggap sebagai jalan yangg mendatangkan manfaat. Namun Allah justru tidak menganggapnya sebagai kebaikan tetapi justru menghapusnya dari daftar perbuatan baik.
Hal ini ditegaskan Allah sebagaimana firman-Nya:
مَثَلُ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا بِرَبِّهِمْ اَعْمَا لُهُمْ كَرَمَا دِ ٱِشْتَدَّتْ بِهِ الرِّيْحُ فِيْ يَوْمٍ عَا صِفٍ ۗ لَا يَقْدِرُوْنَ مِمَّا كَسَبُوْا عَلٰى شَيْءٍ ۗ ذٰلِكَ هُوَ الضَّلٰلُ الْبَعِيْدُ
“Perumpamaan orang yangg ingkar kepada Tuhannya, perbuatan mereka seperti abu yangg ditiup oleh angin keras pada suatu hari yangg berangin kencang.
Mereka tidak kuasa (mendatangkan manfaat) sama sekali dari apa yangg telah mereka usahakan (di dunia). nan demikian itu adalah kesesatan yangg jauh.” (QS. Ibrahim : 18)
Banyak di antara mereka mengira bahwa jalan yangg ditempuh bakal mendatangkan kebaikan dan kemaslahatan, tetapi Allah menganggapnya sebagai debu yangg tertiup angin kencang.
Allah tidak bakal memberi jawaban kebaikan di akherat. Allah hanya membalasnya saat di dunia, seperti kesuksesan hidup, mendapatkan pujian dan popularitas.
Penghambaan Total
Bagi mereka yangg percaya akhirat, bakal mengagungkan Allah secara benar, dan perihal itu ditunjukkan dengan ibadah kebaikan.
Sebaliknya bagi mereka yangg tidak percaya akhirat, kebaikan kebaikan biasanya diorientasikan untuk mendapatkan kepentingan duniawi, seperti ketenaran alias agar dikenal sebagai orang baik.
Aisyah binti Abu Bakar pernah bertanya kepada Rasulullah tentang ibadah kebaikan Abdullah bin Jud’an, apakah mendatangkan faedah bagi dirinya ketika di akhirat.
Rasulullah pun menjawab bahwa ibadah Abdullah bin Jud’an tidak memberi faedah apa-apa pada dirinya lantaran dia tidak pernah mengagungkan Allah selama hidupnya.
Apa yangg dilakukan Abdullah bin Jud’an didorong oleh tradisi yangg telah melangkah tanpa dipandu oleh nilai-nilai ilahiyah. Artinya, dalam melakukan kebaikan tidak dibimbing wahyu yangg datang dari langit.
Di sinilah pentingnya mengenal nilai-nilai agung yangg berasal dari Sang Maha Pencipta sehingga mengarahkan manusia untuk melakukan kebaikan, sehingga berbalas kebaikan.
Sebaliknya mereka yangg melakukan kebaikan tanpa pengarahan justru bakal mendatangkan penyesalan yangg banget mendalam
Hal ini ditegaskan Allah sebagaimana firman-Nya:
لِلَّذِيْنَ اسْتَجَا بُوْا لِرَبِّهِمُ الْحُسْنٰى ۗ وَا لَّذِيْنَ لَمْ يَسْتَجِيْبُوْا لَهٗ لَوْ اَنَّ لَهُمْ مَّا فِى الْاَ رْضِ جَمِيْعًا وَّمِثْلَهٗ مَعَهٗ لَا فْتَدَوْا بِهٖ ۗ اُولٰٓئِكَ لَهُمْ سُوْٓءُ الْحِسَا بِ ۙ وَمَأْوٰٮهُمْ جَهَـنَّمُ ۗ وَبِئْسَ الْمِهَا دُ
“Bagi orang-orang yangg memenuhi seruan Tuhan, mereka (disediakan) jawaban yangg baik. Dan orang-orang yangg tidak memenuhi seruan-Nya, sekiranya mereka mempunyai semua yangg ada di bumi dan (ditambah) sebanyak itu lagi, niscaya mereka bakal menebus dirinya dengan itu.
Orang-orang itu mendapat hisab (perhitungan) yangg jelek dan tempat kediaman mereka Jahanam, dan itulah seburuk-buruk tempat kediaman.” (QS. Ar-Ra’d : 18)
Petunjuk dari Allah dipastikan bakal melahirkan perbuatan baik dan bakal memproduksi kebaikan, dan itu merupakan hikmah paling besar.
Sebaliknya, bagi mereka yangg melakukan kebaikan kebaikan tanpa pengarahan petunjuk, terancam terlempar dalam kebinasaan.
Hal ini ditegaskan Allah sebagaimana nfirman-Nya:
ذٰلِكَ مِمَّاۤ اَوْحٰۤى اِلَيْكَ رَبُّكَ مِنَ الْحِكْمَةِ ۗ وَلَا تَجْعَلْ مَعَ اللّٰهِ اِلٰهًا اٰخَرَ فَتُلْقٰى فِيْ جَهَنَّمَ مَلُوْمًا مَّدْحُوْرًا
“Itulah sebagian hikmah yangg diwahyukan Tuhan kepadamu (Muhammad). Dan janganlah engkau mengadakan tuhan yangg lain di samping Allah, kelak engkau dilemparkan ke dalam neraka dalam keadaan tercela dan dijauhkan (dari rahmat Allah).” (QS. Al-Isra’ : 39)
Nabi Ibrahim merupakan sosok teladan yangg melakukan apa pun berasas petunjuk Allah. Menyembelih hewan kurban merupakan salah satu ibadah yangg disyariatkan bagi umat Islam, dan Nabi Ibrahim telah memandu kita dalam berkurban secara benar.
Pantas andaikan Allah menganugerahi beliau sebagai khalilullah lantaran penghambaan total kepada-Nya, sehingga tak tergoda oleh kepentingan bumi yangg menghambakan diri kepada selain-Nya. (*)
Baca juga: Nabi Ibrahim dan Mimpi Profetik (1)