Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB) di Indonesia rupanya tidak sebebas menentukan pilihan hidup. Jemaah Kristen di Bandar Lampung dilarang beribadah, lantaran diduga tidak mempunyai izin pembangunan gereja.
Kejadian yangg sama juga menimpa jemaat Gereja Protestan di Indonesia Bagian Barat Benowo (GPIB) di Perumahan Cerme Indah, Gresik, Jawa Timur pada Mei 2024. Pun beragam bentrok yangg berangkaian dengan kewenangan KBB turut mewarnai panggung sosial media.
Gambaran bentrok di atas memvalidasi bahwa rupanya kebebasan kepercayaan yangg dicanangkan di Indonesia tidak sebebas sebagaimana yangg kita kira. Hal ini menunjukkan adanya ketegangan antara konsepsi kewenangan atas berakidah dan berkeyakinan dengan izin yangg mengatur kewenangan tersebut. Beragam instrumen yangg tertuang dalam pasal-pasal penegasan kewenangan memeluk kepercayaan dan beribadat sesuai dengan kepercayaan yangg dianutnya merupakan kewenangan asasi yangg rupanya belum terealisasi secara tuntas.
Keberagaman adalah Keniscayaan
Menyikapi perbedaan kepercayaan dan kepercayaan dalam masyarakat, mengharuskan kita untuk mempunyai sikap dan perilaku toleransi. Upaya untuk menjalankan kesatuan dan persatuan memang hanya bisa ditopang dengan nilai dan praktik toleran.
Meski demikian, kesadaran bakal pentingnya toleransi rupanya belum sepenuhnya termanifestasikan dalam laku masyarakat. Padahal, di tengah lingkungan heterogen seperti di Indonesia, dengan beragam latar belakang kepercayaan dan kepercayaan tentu meniscayakan sebuah keberagaman yangg perlu diterima, diberi tempat dan mempunyai kewenangan yangg sama untuk merasakan kondusif dan nyaman.
Di tengah beragam kemajuan dalam kebebasan berakidah dan Hak Asasi Manusia (HAM) seiring dengan gelombang demokrasi, rupanya masyarakat tetap dihadapkan dengan beragam persoalan mengenai tingginya intoleransi. Hal ini kemudian berakibat pada banyaknya peristiwa ketegangan apalagi bentrok yangg terjadi antar agama.
Tahun ke tahun, serangkaian penolakan pendirian rumah ibadah secara berulang terjadi. Rentetan peristiwa sulitnya minoritas memperjuangkan haknya dibarengi dengan bermacam pembenaran untuk tindak intoleransi oleh masyarakat.
Mengutip info dalam penelitian yangg dilakukan International NGO Forum on Indonesian Development (INFID), bahwa kehidupan yangg toleran atas keberagaman dan kebebasan berakidah dan berkeyakinan tetap jauh dari wacana yangg diharapkan. INFID mencatat di tahun 2020, kasus yangg berangkaian dengan kewenangan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB) tetap terhitung cukup tinggi.
***
Banyak golongan minoritas yangg kerap mengalami diskriminasi, stigmatisasi, apalagi hingga kekerasan. Meski motifnya beragam, ketimpangan yangg dialami oleh golongan kepercayaan minoritas menjadi indikasi bahwa Hak KBB belum terpenuhi secara tuntas.
Berdasar penelitian yangg dilakukan oleh Setara Institute (2016, 42 dan 45), tercatat sebanyak 16 tindakan (dari total 98 kasus) yangg masuk dalam kategori pelanggaran KBB bagian pembangunan rumah ibadah. Di era pandemi, Setara Institute (2021) menyebut sebanyak 180 peristiwa dengan 422 tindakan pelanggaran KBB terjadi sepanjang 2020. Aktor pelanggaran terbanyak berasal dari negara (238 tindakan), disusul tokoh non-negara (184 tindakan).
Minimnya jumlah pemeluk kepercayaan tertentu nyatanya berakibat pada kebebasan eskpresi terhadap kepercayaan yangg dianut. Banyaknya ganjalan terhadap pendirian rumah ibadah dan pembubaran penyelenggaraan ibadah bagi golongan minoritas menjadi bukti kuat bahwa berita mudahnya izin pendirian rumah ibadah yangg dilontarkan oleh Kementrian Agama beberapa waktu lalu, belum sepenuhnya mantap diterima oleh semua golongan kepercayaan di Indonesia.
Kriminalitas yangg terus meningkat mengenai dengan rumor kewenangan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan sejatinya lahir dari gagalnya negara menciptakan kerukunan antar umat berakidah apalagi antar umat manusia. Padahal, nilai kepercayaan tidak eksklusif hanya sekedar mengatur tentang ibadah ritual semata, melainkan umat berakidah sudah semestinya mengawal nilai-nilai kemanusiaan.
Menyelamatkan Minoritas: Memenuhi Hak KBB
Salah satu relasi antara kepercayaan dan negara adalah masalah izin mendirikan tempat ibadah. Di negara yangg secara konstitusi telah menjamin kebebasan dalam memeluk kepercayaan dan menjamin kebebasan berkeyakinan, golongan minoritas justru belum merdeka menjalankan ibadah.
Gagasan moderasi berakidah dan wacana mudahnya pembangunan tempat ibadah yangg dielu-elukan belum sepenuhnya mendorong masyarakat untuk sadar. Sehingga, kemajemukan penduduk negara tidak sukses dibingkai dengan semangat persaudaraan yangg guyub-rukun, saling mendukung dan saling menghargai.
Ketiadaan rasa kondusif yangg dialami oleh minoritas dalam menjalankan keyakinannya, tidak memenuhi prinsip non diskriminasi dan non kekerasan yangg ada dalam parameter moderasi beragama. Masifnya langkah garang yangg membatasi suatu kelompok, aliran, alias golongan minoritas hanya bakal menciptakan kerukunan semu.
Dikotomi kebanyakan dan minoritas dalam wacana keagamaan di Indonesia memang tetap menjadi sebuah simpul persoalan. Kelompok kebanyakan yangg semestinya turut memberikan perlindungan kepada minoritas justru seringkali menjadi kepala atas terjadinya beragam bentrok berangkaian dengan kewenangan KBB.
Perlu ada langkah taktis dan tersistem untuk menghadirkan tempat yangg tepat bagi golongan minoritas. Kelompok kebanyakan tidak sepantasnya merasa superior terhadap keberadaannya.
Pemerintah yangg semestinya menjadi tameng untuk menekan tindakan intoleran, justru ikut menyudutkan minoritas. Dukungan pendirian rumah ibadah tidak semestinya hanya ditentukan dari aspek support secara kuantitas, melainkan juga perlu mempertimbangkan pendapat penduduk secara kualitatif dan menimbang ada alias tidaknya akibat atas pendirian rumah ibadah tersebut terhadap lingkungan.
Regulasi tersebut justru mengakomodasi masyarakat kebanyakan yangg intoleran untuk mempunyai payung norma yangg kuat dan melegalkan sikap intolerannya. Regulasi yangg kurang tepat, bukannya memberikan perlindungan atas kewenangan berkeyakinan dan beragama, melainkan malah menimbulkan bentrok sosial.
***
Pemenuhan untuk memastikan bahwa setiap individu, tanpa memandang latar belakang sosial, ekonomi, ras budaya, kelamin merupakan komitmen berbareng untuk mewujudkan inklusi sosial. Terutama dalam kebebasan dan berkeyakinan beragama, sudah sepantasnya memberikan keadilan dan ruang bagi golongan minoritas untuk menjalankan keyakinannya secara bebas.
Namun terlepas dari itu semua, KBB di Indonesia tetap menyisakan PR ke depan ialah persepsi dan stigma negatif terhadap golongan tertentu. Khususnya, kesadaran masyarakat terhadap sikap moderat dan toleransi dalam menjamin keamanan dan kenyamanan tempat ibadah bagi semua agama.