MHH Tolak Perpanjangan Masa Jabatan Pimpinan KPK - MuhammadiyahNews.com

Sedang Trending 1 tahun yang lalu

MHH Tolak Perpanjangan Masa Jabatan Pimpinan KPK

YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah – Mahkamah Konstitusi (MK) kembali membikin kejutan. Kali ini tentang perpanjangan masa kedudukan ketua di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Berdasarkan surat No.112/PUU-XX/2022, MK memutuskan agar kedudukan ketua KPK diubah menjadi 5 tahun yangg sebelumnya hanya 4 tahun. Padahal  dengan menambah 1 tahun masa jabatan, perihal tersebut telah melanggar konstitusi negara, ialah menghilangkan kesempatan masyarakat untuk berperan-serta dalam penyelenggaraan pemerintahan sebagaimana tertuang dalam pasal 28D ayat 3 UUD 1945. Setiap penduduk negara berkuasa memperoleh kesempatan yangg sama dalam pemerintahan.

Putusan tersebut pun menimbulkan perdebatan yangg serius mengenai perspektif konstitusional dan inkonsistensi putusan MK. Menanggapi perihal tersebut Majelis Hukum dan HAM (MHH) Pimpinan Pusat Muhammadiyah berinisiatif melakukan kajian berdasar perspektif hukum, dampaknya secara politik, masyarakat dan pemberantasan korupsi.

Trisno Raharjo, Ketua Majelis Hukum dan HAM Pimpinan Pusat Muhammadiyah menegaskan bahwa bahwa pihaknya menolak putusan tersebut. Menurutnya putusan perpanjangan masa kedudukan ketua KPK tidak dapat diberlakukan lantaran tidak sesuai dengan konstitusi dan penuh dengan kepentingan politik Pemilu 2024. “Dengan ini Majelis Hukum dan HAM Pimpinan Pusat Muhammadiyah menolak perpanjangan masa kedudukan ketua KPK,” ujarnya.

Rahmat Muhajir Nugroho, Wakil Ketua III MHH mengatakan, berdasar kajian yangg telah dilakukan MHH, setidaknya ada lima catatan kritis terhadap putusan yangg dikeluarkan MK tersebut. Pertama, putusan akhir masa kedudukan bukan untuk ketua KPK saat ini. Putusan ini berangkaian dengan bakal berakhirnya masa kedudukan ketua KPK periode 2019-2023 pada November mendatang. Dengan pertimbangan bahwa terdapat lembaga negara independen yangg pimpinannya menjabat 5 tahun, Nurul Gufron mengusulkan permohonan agar masa kedudukan ketua KPK disamakan dengan lembaga negara independen yangg lain.

Kedua, secara open legal policy, putusan MK tersebut melanggar putusannya sendiri. Putusan Nomor 112/PUU-XX/2022 itu menurutnya bertentangan dengan beragam putusan MK sebelumnya mengenai prinsip kebijakan norma terbuka. MK meyakini setiap perintah konstitusi yangg menerapkan kebijakan norma terbuka maka proses pengaturannya diserahkan kepada DPR dan pemerintah untuk membentuk undang-undang yangg baru.

“Putusan MK ini sangat personal, diperuntukkan hanya untuk satu orang ketua KPK. Putusan MK ini seolah seperti bingkisan untuk Nurul Gufron,” tegas Rahmat dalam forum obrolan dan media breafing MHH yangg berjalan di Aula Kantor PP Muhammadiyah Yogyakarta (13/6).

Ketiga, tidak dapat diberlakukan surut (non-retro aktif). Asas norma yangg bertindak universal dalam negara norma adalah melindungi setiap orang dari penerapan norma yangg bertindak surut (retro-active). Keempat, diperuntukkan untuk satu orang dan seleksi tidak ditunda. Mahkamah Konstitusi bukan Pengadilan Tata Usaha Negara yangg memutuskan perkara-perkara konkrit, perseorangan dan final. Mahkamah menguji konstitusional sebuah undang-undang yangg bertindak untuk semua orang. Namun dalam perkara ini MK hanya membuka kewenangan untuk satu orang pemohon saja.

Kelima, pelanggaran administrasi. Dengan tidak diselenggarakannya seleksi ketua KPK maka telah terjadi pelanggaran manajemen dalam proses seleksi ketua KPK. Pimpinan KPK bagaimanapun kudu diseleksi oleh pemerintah dan DPR jika diperpanjang 1 tahun. Artinya ketua KPK tidak diperpanjang atas dasar putusan MK dan putusan presiden. (diko)

-->
Sumber suaramuhammadiyah.id
suaramuhammadiyah.id